Gibran Pembuka Topeng Jokowi

Gibran Rakabuming Raka adalah putra sulung Joko Widodo. Secara biologis mereka sangat mirip. Dalam hal karakter juga mirip. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Walaupun mereka pasti punya perbedaan. Perbedaan yang menjadi pembuka topeng Jokowi.
Jokowi berasal dan dibesarkan dari keluarga sangat sederhana. Sementara, Gibran dan Kaesang adalah anak seorang pengusaha yang menjadi penguasa. Pengusaha mebel yang menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden RI. Telah menjadi penguasa selama 20-an tahun, yang semuanya diusung, diperjuangkan dan dikawal PDIP Perjuangan pimpinan petugas partai Megawati Soekarnoputri, selaku Ketua Umum.
Dalam persepsi publik, kesederhanaan adalah karakter awal Jokowi. Kesederhanaan itulah kekuatan utama yang menjadi daya tarik mengharumkan nama Jokowi. Kesederhanaan itu masih menonjol saat dia menjabat Walikota hingga menjabat Gubernur. Masih santun memperlakukan Megawati sebagai ibu dan mentor politiknya; bahkan hingga menjabat Presiden periode pertama (2014-2019). Yang kemudian pada periode kedua, mulai terlihat indikasi terkontaminasi atau tertular candu kekuasaan yang dicekoki para penikmat kekuasaan yang menyanjung dan mengelilinginya di singgasana kepresidenannya.
Addicted to power (kecanduan kekuasaan) yang kemudian sangat terekspresikan dari tampilan dan karakter Gibran. Yang berpuncak pada penghianatannya kepada PDI Perjuangan, ketika dia meloncat ‘melangkahi kepala’ para elit Golkar yang jauh merosot dari kewajaran nalar politik dengan mencalonkannya menjadi Cawapres Prabowo. Lompatan aneh luar biasa yang menjadi pembuka topeng Jokowi yang sebelumnya telah melakoni berbagai trik kepura-puraan dan kepalsuan serta cawe-cawe abuse of power, yang sering secara terbuka selalu dibantahnya.
Namun kata pepatah, “Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga.” Terkuak aroma bau busuk kepalsuan dan kecanduan kekuasaan. Candu kekuasaan bertopeng kesederhanaan. Kesan tersebut bisa lebih didalami dari rekam jejak Jokowi dan lompatan proses pencawapresan Gibran, juga adiknya Kaesang yang tiba-tiba menjadi Ketum partai.
Jokowi meniti karier politik dengan kekuatan kesederhanaannya yang ketika itu masih terlihat orisinal. Di bawah naungan PDI Perjuangan, dia ‘menjadi orang’ dalam dunia politik. Demikian juga Gibran, menjadi walikota setelah mengantongi KTA PDI Perjuangan. Eh, lalu kemudian Gibran memperdaya dan menghianati PDI Perjuangan. Dia melompat menjadi Cawapres partai lain. Lompatan menerabas atas kekuatan kekuasaan, abuse of power, kepalsuan, dan ketidaksetiaan yang dibalut dengan kesederhanaan palsu. Gibran meloncati karpet merah berbau abuse of power menjadi Cawapres bagi Prabowo yang pernah menikmati candu kekuasaan Orde Baru. Demikian pula, Kaesang telah terlebih dahulu tiba-tiba terbang tinggi menjadi ketua umum partai.
Publik terperangah. Tak menyangka Jokowi dan keluarga mengingkari kesahajaannya. Tak sangka mereka sudah terjangkit candu kekuasaan sampai sejauh itu. Sangat disayangkan jika mereka benar-benar menjadi pecandu kekuasaan. Ketika kesederhanaan mereka menjadi diwarnai kepalsuan, lupa kacang pada kulitnya, penghianatan pada partai yang membesarkannya, dan abuse of power, yang menghalalkan berbagai cara untuk melanggengkan kekuasaan, politik dinasti candu kekuasaan.
Kasihan, mereka adalah korban candu kekuasaan. Dan, ironisnya lagi, jika mereka benar-benar menikmati (mabuk) candu kekuasaan itu bertopeng kesederhanaan dan retorika pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Akan semakin gelap pula masa depan demokrasi di negeri ini, apabila masih ada yang bertahan mengidolakannya setelah topengnya terbuka.
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang