Kabut Kelam Revolusi Mental
Catatan Runtuhnya Revolusi Mental (3)
Catatan Runtuhnya Gerakan Revolusi Mental
Revolusi Mental (Nawacita Kedelapan): Kolom ‘Revolusi Mental’ Jokowi dan Inpres Gerakan Revolusi Mental, sempat membangkitkan semangat penguatan karakter rakyat dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tangguh, maju dan sejahtera. Apalagi, Presiden Jokowi sendiri menegaskan, bahwa nilai akademis sempurna tidak akan berguna bagi seseorang jika tidak memiliki budi pekerti dan moral yang baik. “Tidak ada gunanya nilai sekolah 10, tidak ada gunanya kalau moralnya 0 (nol), kalau budi pekertinya tidak baik,” kata Jokowi (19/8/2023).[1]
Namun, gerakan semangat penguatan karakter (kualitas batin, mental, etika dan moral) rakyat dan bangsa Indonesia itu secara tiba-tiba seperti menguap ke kegelapan kabut kelam angkasa primordial atau tenggelam ke dalam lumpur hitam gulita samudera kosmik. Berhubung perubahan haluan dan sikap politik pragmatis (candu kekuasaan) Presiden Jokowi sendiri sebagai pemimpin gerakan revolusi mental tersebut; sebagai bagian tak terpisahkan (elemen fundamental) dari visi Trisakti dan program aksi Nawacita Presiden Jokowi sendiri.
Nawacita dan Revolusi Mental tiba-tiba kehilangan suara dan semangat (roh). Mati suri dikhianati oleh penggeraknya sendiri. Ratusan guru besar dari puluhan universitas ternama, serta sejumlah tokoh masyarakat sipil dan para mahasiswa menyuarakan keprihatinan menyoroti sikap pragmatis Jokowi menjelang Pemilu 2024,[2] yang ‘berubah haluan’ meninggalkan dan melawan partai politik (PDI Perjuangan) di mana dia bernaung dan membesarkannya dari tukang (pengusaha) kayu menjadi walikota, gubernur hingga Presiden di bawah semangat Trisakti dan Nawacita. Perubahan haluan dan kecanduan kekuasaan yang dinilai sangat meruntuhkan nilai-nilai etika dan moral Pancasila. Para guru besar itu meminta Pemilu 2024 digelar secara demokratis, dan Presiden berhenti cawe-cawe atau ikut campur untuk memenangkan putranya sendiri yang tampil sebagai Cawapres melalui perubahan syarat oleh Mahkamah Konstitusi dan penetapan KPU yang dinilai cacat etik berat.[3]
Diawali sejumlah guru besar dan sivitas akademika Univesitas Gadjah Mada (UGM), almamater Presiden Jokowi sendiri, mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi yang dianggap telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang di tengah proses penyelenggaraan negara Republik Indonesia (RI). Dalam ‘Petisi Bulaksumur’ yang dibacakan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Prof. Koentjoro, mereka menyatakan telah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir. “Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” bunyi Petisi Bulaksumur yang dibacakan di Balairung UGM, Sleman, DIY, Rabu (31/1/2024) tersebut.[4]
Relevan, apa dikemukakan Mark Rutland (2005) dalam Character Matters, suatu negara yang telah menyia-nyiakan karakternya mungkin telah merusak dirinya sendiri sehingga upaya reklamasi menjadi sia-sia. Namun, jauh sebelum keruntuhan terakhir tersebut, benteng-benteng pertahanan dapat dibangun dan ditopang untuk melawan pasukan penyerang malam itu. Kebajikan dapat ditinjau kembali, dipikirkan kembali, dan diajarkan kembali.[5]
Anak-anak bisa diajari lagi keberanian. Para eksekutif, yang terjerumus dalam keserakahan Gordon Gecko, dapat diingatkan akan kejujuran dan berhemat. Kesopanan dapat dipelajari, dihargai dan dijalani dimana suatu bangsa akan menemukan suaranya dan mengajarkannya sekali lagi. Saat ini kita sedang menuai hasil pahit berupa kehancuran karakter, namun ini belum terlambat.[6]
Persis seperti disuarakan para Guru Besar dan social society serta para mahasiswa. Kini kita membutuhkan lebih banyak politisi yang rendah hati, pemimpin yang lebih lemah lembut, eksekutif yang jujur, dan pekerja yang lebih rajin. Sebuah karakter bangsa yang baru, baru dalam pandangan sejarah yang paling sempit, dapat dan harus diukir. Granit kita, yang sudah usang dan bopeng, masih dapat menerima stylus yang dipandu dengan baik. Karakter itu penting, dan sekaranglah waktunya.[7]
Pertanyaan sebenarnya adalah, bagaimana karakter Pancasila dapat ditambahkan kembali ke dalam jiwa kita yang terombang-ambing di lautan relativisme postmodern dan post-truth? Ketika jalan raya sejarah kita dipenuhi sampah, terutama oleh presidennya sendiri. Sekarang hanya sedikit, jika ada, yang diperbaiki, sepenuhnya salah atau sepenuhnya benar. Kemampuan kita, sebagai manusia Indonesia, untuk merasa tersinggung oleh apa pun sedang disia-siakan.
Mark Rutland mengatakan, bukan filmnya, bukan seninya, bukan musiknya, atau sastranya, tapi karakter suatu budayalah yang menjadi penentu hubungan, yang menyatukannya, tempat di mana semua titik terhubung dan menjadikannya seperti apa adanya. Ketika karakter suatu budaya kehilangan pegangannya pada nilai-nilai penting yang mendasari semua hal, skandal masih terjadi, namun budaya tersebut tidak lagi menimbulkan kemarahan.[8]
Karakter, kekuatan moral batin suatu bangsa, merupakan faktor dari segala hal yang dicintai, dikagumi, dibenci, dan diajarkan kepada generasi mudanya. Suatu budaya bertumpu pada kebajikannya, dan kebajikan dapat diajarkan. Belum terlambat bagi kita untuk kembali mengajarkan karakter. Memang benar, di tengah hiruk-pikuk ocehan yang mengejek nilai-nilai terbesar dari budaya sejarah kita, saya mendengar suara yang meninggi yang mengatakan, “Karakter itu penting.”[9]
Negarawan (Presiden, politisi dan pejabat tinggi negara) membangun platformnya di atas landasan kebenaran mendasar yang kokoh dan tidak berubah. Ini adalah hal-hal yang dia yakini pada intinya, filosofinya yang menyeluruh. Seperti halnya fondasi sebuah rumah, badai dapat menerpa strukturnya, pertentangan dan tantangan mungkin muncul, zaman akan berubah, namun fondasinya tetap kokoh. Dalam hal ini, seorang negarawan dapat mengubah rincian kebijakannya dan metodenya untuk mencapai kebijakan tersebut, namun hanya sejauh taktik kemanfaatan jangka pendek tersebut dapat berfungsi untuk memajukan landasan prinsip-prinsipnya dalam jangka panjang.[10]
Sir Henry Taylor mengatakan, jika perjuangan kebenaran pada umumnya harus dikorbankan dengan membedakan antara kewajiban terhadap kebenaran dalam urusan pribadi dan politik, maka saya tidak akan ragu-ragu: karena perjuangan kebenaran pada umumnya dan masyarakat sipil adalah satu dan sama, tidak dapat dibagi: namun bagi saya, sebaliknya, tujuan kebenaran pada umumnya dikorbankan, bukan dengan mengambil pembedaan, namun dengan mengacaukan pembedaan tersebut. Karena ketika seorang anggota pemerintahan, yang menganjurkan tindakan tertentu namun tidak dengan tulus dia setujui, diyakini oleh dirinya sendiri, atau oleh orang lain, melakukan pelanggaran yang sama terhadap prinsip kebenaran seolah-olah dia mengatakan kebohongan dalam kehidupan pribadi, maka sesungguhnya dia sendirilah yang menanggung kesalahan atas kepalsuan tersebut dan kerusakan hati nurani yang menyertainya, dan perjuangan kebenaran menderita karena keteladanannya dan impunitasnya.[11]
Menurutnya, kepalsuan tidak lagi menjadi kepalsuan ketika semua pihak memahami bahwa kebenaran tidak diharapkan untuk diungkapkan. Oleh karena itu, sudah pasti bahwa upaya kebenaran didiskreditkan secara besar-besaran, baik di satu sisi melalui serangan yang dilakukan secara seragam atau secara umum oleh orang-orang yang semuanya mempunyai posisi penting dalam kehidupan, dan beberapa di antara mereka mempunyai reputasi moral yang tinggi; atau, sebaliknya, dengan menyebutnya sebagai prinsip kebenaran yang mereka langgar secara seragam atau umum.[12]
Tentu saja, seorang negarawan terlibat dalam bidang tindakan yang merupakan salah satu bahaya besar bagi kejujuran dan ketulusan. Hati nuraninya berjalan, juga seperti hantu hati nurani, dalam kegelapan atau senja. Namun sifat moralnya tidak akan menjadi lebih baik jika dia diajar untuk berpikir bahwa bentuk kepalsuan itu sama dengan roh, dan bahwa ketika dia telah melakukan apa yang tidak bisa tidak dilakukannya, sebagai seorang negarawan yang sedang menjabat, maka dia tidak lagi memiliki kebenaran moral apa pun untuk dipertahankan atau hilang.[13] Ya, begitulah situasi aktualnya di negeri ini.
Catatan Kilas: Ch. Robin Simanullang. TokohIndonesia.com (Tokoh.id)
Catatan Kilas:
Footnotes:
[1] CNBC Indonesia, 19/08/2023. Tegas! Jokowi: Tak Ada Gunanya Nilai Sekolah 10, Moralnya 0. https://www.cnbcindonesia.com/news/20230819154522-4-464326/tegas-jokowi-tak-ada-gunanya-nilai-sekolah-10-moralnya-0
[2] Kompas.com, 04/02/2024.Gelombang Kritik Para Guru Besar soal Pemilu 2024 dan Tanda Tanya Sikap Jokowi… https://nasional.kompas.com/read/2024/02/04/08381211/gelombang-kritik-para-guru-besar-soal-pemilu-2024-dan-tanda-tanya-sikap?page=all.
[3] MKRI.id, 07/11/2023. MKMK Berhentikan Anwar Usman dari Jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19751&menu=2
[4] CNN Indonesia, 31/01/2024. Petisi Guru-guru Besar UGM Kritik Jokowi: Kembali ke Koridor Demokrasi. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240131172528-617-1056851/petisi-guru-guru-besar-ugm-kritik-jokowi-kembali-ke-koridor-demokrasi.
[5] Rutland, Mark, 2005. Character Matters. Nine Essential Traits You Need to Succeed. Florida: Charisma House, p. 1.
[6] Rutland, Mark, 2005. Character Matters, p. 1.
[7] Rutland, Mark, 2005. Character Matters, p. 2.
[8] Rutland, Mark, 2005. Character Matters, p. 2.
[9] Rutland, Mark, 2005. Character Matters, p. 2.
[10] Brett & Kate McKay, January 30, 2012 (Last updated: June 4, 2021). The 4 Qualities of a True Statesman. https://www.artofmanliness.com/career-wealth/leadership/the-4-qualities-of-a-true-statesman/
[11] Taylor, Henry, Sir, 1836. The Statesman. London: Longman, Rees, Orme, Brown, Green, & Longman, Paternoster-Row, p. 112-114.
[12] Taylor, Sir Henry, 1836. The Statesman, p. 115-116.
[13] Taylor, Sir Henry, 1836. The Statesman, p. 117.