Lagak Pendiri Partai

[OPINI] – CATATAN KILAS – Beberapa peristiwa politik yang terjadi belakangan ini memerlihatkan lagak para pendiri partai politik yang salah kaprah. Beberapa pendiri (inisiator) parpol memeragakan seolah mereka pemilik parpol, baik dalam ucapan, maupun sikap dan tindakan. Seolah-olah parpol itu seperti badan usaha perseroan atau komanditer dimana pendiri (pemegang saham) sebagai pemilik.|| Ch. Robin Simanullang
Peristiwa politik terbaru yang sangat kuat mengindikasikan perilaku pendiri partai yang salah kaprah dan terbilang arogan lagaknya (layaknya, setidaknya terkesan) sebagai pemilik partai tersebut diperagakan oleh inisiator (pendiri) Partai NasDem dan Partai Demokrat. Padahal kedua partai ini menyatakan diri sebagai partai modern pengusung perubahan dan/atau restorasi. Memang, perlu digarisbawahi bahwa lagak pendiri seolah pemilik partai bukan hanya oleh kedua partai ini.
Kesan publik atas lagak pendiri partai tersebut semakin kuat dengan mencuatnya tindakan dan reaksi internal kedua partai tersebut. Ratusan elit Partai Nasdem, termasuk Ketua Dewan Pakar dan Sekjen DPP, memilih keluar karena menilai sikap dan tindakan pendiri yang memakai baju Ketua Dewan Pertimbangan Partai tidak sesuai dengan visi dan konstitusi partai. Begitu pula ketika inisiator Partai Demokrat yang menggenggam sejumlah jabatan tinggi partai mulai dari Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Komisi Pengawas), dengan gayanya mengambil-alih kewenangan Ketua Umum.
Inilah yang menunjukkan bahwa sebuah partai belum layak disebut partai modern, cerdas dan santun. Apalagi jika partai itu dipenuhi nafsu nepotisme dan otoritarianisme. Sering dilupakan, bahwa hakikatnya berpolitik atau berorganisasi (etika) adalah kesediaan untuk berbagi, berbagi pemikiran, kepentingan dan kekuasaan.
Beberapa kader partai tersebut memprotes, bahwa pendiri partai atau majelis tinggi partai tidak bisa seenaknya mengambilalih kewenangan Ketua Umum dengan melanggar etika dan AD/ART partai.
Sekali lagi, peristiwa politik yang dimainkan pendiri kedua partai tersebut (Nasdem dan Demokrat) hanyalah sebagai contoh terbaru. Beberapa pendiri partai lain tidak sepi dari lagak pemilik partai tersebut. Walaupun sudah ada satu-dua partai yang sudah merdeka dari bayang-bayang kekuasaan sebagai pemilik oleh pendirinya.
Pendiri partai, tentulah mesti dihargai dan dihormati. Sepantasnyalah dicatat (diabadikan) dalam sejarah partai. Ajaran, saran dan pendapat mereka yang sesuai dengan visi, misi dan konstitusi partai dan negara, juga sepantasnya dihormati dan dikembangkan. Tetapi, inisiator, pendiri atau apapun sebutannya bukanlah pemegang saham atau pemilik partai.
Partai itu bukan badan usaha, seperti perseroan apalagi badan usaha komanditer. Partai politik itu adalah badan publik. Badan Publik itu adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, atau organisasi nonpemerintah, bukan hanya partai politik, juga LSM, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Kendati dalam UU Partai Politik terbaru sekali pun (UU No.2 Tahun 2011) tidak ada penyebutan secara eksplisit tentang parpol adalah badan publik (milik publik), tetapi dari posisi (eksistensi), fungsi dan pendanaannya, sangat terang keberadaannya sebagai badan publik. Dalam konteks undang-undang keterbukaan informasi publik pun, parpol termasuk badan publik, hal mana setiap badan publik wajib menginformasikan kinerjanya kepada masyarakat, termasuk soal laporan keuangan.
Dalam UU Parpol disebut Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara suka rela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Jadi, Parpol itu adalah milik publik, bukan hanya milik kader (anggota), pengurus atau pendiri. Mereka adalah (hanyalah) sebagai pengelola, bukan saja (hanya) untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, tetapi untuk memperjuangkan dan membela kepentingan masyarakat, bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Silakan simak! Publik, yang bukan anggota partai, mempunyai hak untuk memilih dan memberi dukungan, baik sumbangan dana maupun pikiran dan tenaga kepada parpol. Makanya, kebesaran atau keberhasilan sebuah partai sangat tergantung dari sebesar apa dukungan dan sumbangan publik kepada partai tersebut. Bahkan boleh dibilang publik adalah nafas partai.
Maka sangat ironis manakala ada elit partai bersuara melarang orang lain (publik) supaya jangan mencampuri urusan partainya. Hal ini justru menunjukkan arogansi, setidaknya kekurangpahaman, para elit politik tersebut tentang keberadaan parpol sebagai badan milik publik. Sama ironis dan buruknya dengan sikap beberapa pendiri partai yang berlagak sebagai pemilik partai. Inilah yang menunjukkan bahwa sebuah partai belum layak disebut partai modern, cerdas dan santun. Apalagi jika partai itu dipenuhi nafsu nepotisme dan otoritarianisme. Sering dilupakan, bahwa hakikatnya berpolitik atau berorganisasi (etika) adalah kesediaan untuk berbagi, berbagi pemikiran, kepentingan dan kekuasaan. (Visi Berita, Majalah Berita Indonesia • BERINDO • Edisi 87, Maret 2013). Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |