Menimang Capres Negarawan

[OPINI] – CATATAN KILAS – Catatan: Ch. Robin Simanullang | Pada Pemilu 2014, akankah muncul pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang negarawan? Dari sederet nama tokoh yang telah digadang-gadang dan ditimang-timang bakal menjadi Capres dan Cawapres oleh berbagai elemen, terutama oleh partai politik peserta Pemilu 2014, siapakah di antara mereka yang memiliki integritas negarawan?
Sebelum menyebut sederet nama yang digadang-gadang dan ditimang-timang bakal Capres dan Cawapres tersebut, eloklah lebih dulu menimbang apa atau siapa itu negarawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bahwa negarawan (nomina) adalah ahli dalam kenegaÂraÂan; ahli dalam menjalankan negaÂra (pemerintahan); pemimpin poliÂtik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengeÂlola masalah negara dengan kebijakÂsanaan dan kewibawaan: beliau meÂrupakan pahlawan besar dan agung. Dijelaskan pula, kenegaraÂwanÂan adalah hal yang berhubungÂan deÂngan orang-orang yang mengÂuÂrus suatu negara: sikap kenegaraÂwanÂan amat diperlukan dalam mengÂÂhaÂdapi persoalan kemasyarakatan.
Cukup jelas! Negarawan itu adalah ahli dan/atau pemimpin politik yang taat asas menyusun dan menjalanÂkan kebijakan negara dengan visi yang jauh ke depan. Pemahaman ini mengandung makna, bahwa politik (partai politik) adalah salah satu jalan (sarana) idealisme bagi seseÂorang (politisi, cendekiawan, ulaÂma, pengusaha dan lain-lain) untuk mengabdikan diri sebagai pemimÂpin politik yang negarawan.
Apa yang dikemukakan dalam artikel ini adalah fakta-fakta kecenderungan, belum menjadi fakta kenyataan. Artikel ini juga tidak menjustifikasi siapa di antara para bakal Capres dan Cawapres yang telah digadang-gadang tersebut yang bersosok negarawan. Rekam jejak mereka masing-masinglah yang membuktiÂkan (menyatakan) apakah mereka pemimpin politik yang negarawan atau tidak. Dan, pilihan, ada di tangan setiap orang secara bebas dan rahasia!
Sejarah membuktikan bahwa oÂrang-orang yang menjadi negaÂraÂwan itu memang adalah para ahli (idealis dan visioner) yang meÂnemÂpuh jalan politik (pemimpin politik) seÂbagai sarana pengabdiannya demi keÂpenÂtingan (kejayaan) bangsa dan neÂgaÂranya, bukan demi kepenÂtingÂan diri dan kelompoknya sendiri. JiÂka kita mau belajar dari sejarah, hal demiÂkiÂan inilah yang mengalir daÂlam jejak rekam para founding fathers bangsa ini: HOS TjokroaÂmiÂnoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki HaÂdjar Dewantara, Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, SyahÂrir, dan Kyai Wahid Hasyim dan lain-lain. Mereka sungguh tulus mengÂabdiÂkan diri untuk kepentingan bangÂsa dan negaranya di atas keÂpenÂtingan diri dan kelompoknya sendiri.
Mereka adalah para pemimpin politik pada zamannya. Mereka buÂkan sekadar politisi, ulama atau cenÂdekiawan tetapi pemimpin poliÂtik yang negarawan. Apa yang memÂÂbeÂdakan politisi (politikus) dengan negarawan? Ada ucapan James Freeman Clarke yang amat terkenal tentang hal ini: “A politician thinks of the next election, but a statesman, of the next generation.†PoliÂtisi memikirkan pemilu mendatang, tetapi negarawan memikirkan geneÂrasi yang akan datang.
Mantan Ketua Umum MuhammaÂdiyah Prof. Syafi’i Ma’arif mengataÂkan negarawan adalah seorang yang bervisi ke depan untuk kebesaran bangsa dan negara jauh melampaui usianya. Kekuasaan baginya hanyaÂlah sebuah wahana untuk mewujudÂkan cita-cita mulia politiknya demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan bersama, dan untuk tujuan itu dia sangat rela menderita. Seorang negarawan, sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Sebaliknya, kata Prof. Syafi’i Ma’Âarif, politisi adalah seorang pragmaÂtis yang pada umumnya tunavisi, tetapi syahwatnya terhadap kekuaÂsaÂan demikian dahsyat. “Dengan kekuasaan di tangan, banyak kenikÂmatÂan duniawi yang dapat diperÂoleh. Nyaris tak ada kepedulian terhadap tegaknya keadilan dan terÂciptanya kesejahteraan umum bagi semua,†kata Syafi’i Ma’arif, sekaÂliÂgus mengungkapkan kerisauÂanÂnya melihat kenyataan terkini.
Memang, inilah yang menjadi kerisauan kita hari-hari ini: Semakin banyak para politisi, penyelenggara negara, bahkan cendekia dan ulama yang memikirkan (berorientasi) meÂngÂejar elektabilitas. Tidak beroÂriÂenÂtasi kinerja dan pengabdian. ElekÂtabilitas telah menjadi tujuan. Paling tidak dalam sepuluh tahun terÂakhir, bangsa ini telah dijejali deÂngan politik pencitraan, tebar peÂsona untuk mengejar tingkat elekÂtabilitas. Orientasi pencitraan itu tidak hanya merasuki penyeÂlengÂgara negara dalam jabatan politik (eksekutif dan legislatif), tetapi juga dalam jabatan peradilan (tak keÂcuaÂli KPK), bahkan jabatan keÂpenÂdiÂdiÂkan dan keagamaan.
Bersamaan dengan itu, semakin banyak pula orang yang menempuh jalan politik tanpa idealisme dan tanpa taat asas (Pancasila dan UUD 1945) demi kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Mereka pun menempuh jalan politik (jabatan politik, penyelenggara negara) unÂtuk memperkaya diri. Tak kecuali, birokrat, politisi, para cendekiawan, kalangan profesional, hakim dan pengusaha memasuki gelanggang politik untuk memperkaya diri. Selain karena didorong oleh ketaÂmakan, juga sebagai konsekuensi dari marak dan mahalnya politik pencitraan yang berorientasi (meÂmiÂkirÂkan) pemilu mendatang. SaÂngat sedikit yang sungguh-sungguh memikirkan kepentingan rakyat dan generasi mendatang.
Para politisi dan pejabat negara saÂat ini seolah-olah sudah sepakat mengÂanggap gelanggang politik dan jaÂbatan sebagai kesempatan untuk meÂraih kekayaan untuk kepentingÂan diri dan kelompoknya sendiri. JiÂka pada era Orba sebagian para poÂlitisi nyaris tak punya hati nurani dan idealisme, pada era reformasi ini ditambah lagi tanpa rasa kebangÂsaÂan dan amat rakus tanpa rasa malu.
Tampaknya sebagian mereka, menjadi anggota parlemen dan pejabat negara, tanpa bekal pemaÂhaman seluk-beluk politik dan masaÂlah kenegaraan dengan baik. Politik uang pun merajalela. Korupsi (atau sejenisnya) tak lagi didominasi eksekutif tetapi telah mengganas di lembaga legislatif dan yudikatif.
Jika kondisi masing-masing elit politik mementingkan diri dan keÂlomÂpoknya sendiri, itu berlangsung makin masif, maka bakal sempurÂnalah kebusukan moral bangsa ini. Kondisi ini, jika dibiarkan, akan meÂnyebabkan bangsa ini terjeruÂmus dalam kesulitan yang akhirnya menÂcekik leher sendiri: Mati bunuh diri! Mungkin, hal inilah yang menÂdoÂrong beberapa LSM menghadirÂkan gerakan antipolitisi busuk. Untuk mencegah semakin sempurÂnaÂnya kebusukan moral dan ketaÂmakan sebagian elit politik (pejabat negara) bangsa ini.
Seyogyanya, reformasi (demoÂkraÂtisasi) menjadi suatu kesempatan baik untuk melahirkan politisi, cenÂdekia dan ulama (pemimpin politik) negarawan di negeri ini. Pemimpin politik yang tulus, profeÂsioÂnal, puÂnya idealisme dan fatsoen politik untuk mengabdikan diri dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negaranya di atas keÂpenÂtingan diri sendiri dan kepenÂtingÂan kelomÂpokÂnya sendiri.
Pertanyaan, apakah masih ada politisi atau elit bangsa ini yang negarawan? Tentu tidak bijaksana bila selalu apatis dan pesimistis. Sesungguhnya masih banyak di anÂtara anak bangsa ini kader-kader negarawan. Bahkan terlalu panjang jika namanya dituliskan satu-perÂsatu dalam kolom ini. Kendati harus pula dimaklumi bak kata pepatah: Tak ada gading yang tak retak: Tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan manusia (politisi) hanyalah pada intensitas proses upayanya (kegiÂgihÂannya) secara berkesinambungÂan untuk menjadi selalu lebih baik, lebih sempurna (negarawan). Hal ini dapat terlihat dari jejak rekamnya!
Lalu, bagaimana agar masyarakat dapat menemukan sosok negarawan dalam Pemilu 2014 yang sudah di ambang pintu? Jawaban sederhaÂnaÂnya: Cermati jejak rekamnya! CerÂmati proses kesungguhannya menÂjaÂdi seorang negarawan! Baca bioÂgraÂfinya!
Presiden RI ke-5 Megawati SoeÂkarÂnoputri dalam sebuah forum diskusi mengatakan syarat hadirnya negarawan sebetulnya tidaklah suÂlit. Dia menyebut tiga hal: PerÂtama, sosok negarawan hanya bisa lahir kalau ia benar-benar memahami sejarah, memahami Pancasila dan UUD 1945, memahami nature maÂsyaÂrakatnya yang plural, serta setia terhadap NKRI. Ini merupakan syarat ideologis.
Kedua, pemimpin tersebut memÂberiÂkan inspirasi dan mampu mengÂgelorakan kembali kebanggaan seÂbaÂgai bangsa melalui pembangunan karakter kebangsaan. Harus berdiri kokoh di atas keanekaragaman sebaÂgai bangsa. Falsafah Bhinneka TungÂgal Ika mestinya dapat merasuk dalam kepribadian bangsa dan menÂjadi dasar menghargai berbagai perÂbedaan.
Ketiga, pemimpin negarawan adaÂlah state building, kemampuan meÂngurus negara dan rakyat untuk meÂwujudkan tujuan nasional. Di sinilah kepemimpinan dan manaÂjemen bangÂsa sangat diperlukan. Ini bukan hal yang bersifat teknis. KeÂpeÂmimÂpinÂan dan manajemen bangÂsa diÂmuÂlai dari hal ideologis, yakni memÂberi arah yang jelas atau visioÂner.
Lalu, mengapa kita ini justru semakin mudah terkoyakkan oleh perbedaan agama dan suku? MenuÂrut saya, kata Megawati, tiadanya kepemimpinan yang efektif dan leÂmahÂnya penegakan hukum adalah akar pokok persoalan ini. Oleh kaÂrena itu, menurut Megawati, siapaÂpun Presiden Republik Indonesia nantinya adalah orang yang harus berdiri tegak melaksanakan perinÂtah konstitusi. Tanpa pernah sejeÂnak pun ragu meskipun berhaÂdapan dengan jutaan massa!
Jadi, negarawan itu adalah peÂmimpin yang taat kepada konstiÂtusi, bukan kepada konstituen atau kelompok massa tertentu. Itulah secara singkat sosok negarawan yang diimpikan (dinantikan) bangsa ini, yang momentumnya kiranya bisa ditemukan dan terpilih pada Pemilu 2014.
Siapa Capres Negarawan itu?
Siapakah mereka para negarawan, terutama Capres dan Cawapres, yang dinantikan akan terpilih pada Pemilu 2014 nanti? Jawaban pertaÂnyaan ini, sangat tergantung (diaÂwalÂi) pada Parpol sebagai lembaga yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres yang berhak ikut Pilpres.
Publik bisa melihatnya (menimang dan mencermati) siapa tokoh yang bakal diajukan oleh 12 Parpol peserÂta pemilu nasional menjadi Capres dan Cawapres tersebut. Undang-undang menyaratkan hanya Parpol atau gabungan Parpol yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara nasional yang berhak mengajukan pasangan Capres dan Cawapres. Maka, kendati telah banyak Parpol yang telah menggadang-gadang CaÂpres dan Cawapresnya, kepastianÂnya baru bisa diwujudkan seusai Pemilu Legislatif (Pileg).
Pemilu Legislatif (Pemilu DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) itu sudah di amÂbang pintu (tepatnya, 9 April 2014). Setelah itu, segera akan disusul Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Saat itu proses pencapresan dapat terÂukur. Partai mana atau gabungan partai mana yang memenuhi syarat mengajukan Capres/Cawapres.
Kendati demikian, beberapa Parpol telah sejak lama menggadang-gadang bakal Capres dan Cawapresnya. BahÂkan beberapa kelompok masyaÂraÂkat juga menggadang-gadang naÂma Capres alternatif, kendati unÂdang-undang hanya memberi keweÂnangan kepada partai politik untuk mengajukan Capres-Cawapres. BeÂlum ada ruang bagi calon alternatif apalagi calon independen.
Capres Golkar, Gerindra dan Hanura
Partai Golkar telah menggadang-gadang Ketua Umumnya Aburizal Bakrie (ARB) sebagai bakal CapresÂnya dan juga bermanuver menyeÂbut-nyebut beberapa nama yang mungkin menjadi Cawapres penÂdamÂpingnya, di antaranya Pramono Edhie Wibowo, ipar Presiden SBY, yang secara internal di Partai DemoÂkrat diunggulkan jadi pemenang konvensi Capres PD. Aburizal senÂdiri sudah beberapa tahun belakangÂan ini terlihat seperti tak kenal lelah terus berusaha meningkatkan elekÂtaÂbiÂliÂtasnya dengan tak sungkan-sungkan menggunakan media milikÂnya Viva Grup (TvOne, ANTV, VivaÂnews, dan Koran Jakarta) sebagai media promosi. Tiada hari tanpa iklan dan pidato ARB di TvOne. Iklan-iklan tersebut diskenario untuk memacu elektabilitasnya deÂngan seringkali mempromosikanÂnya seperti sosok negarawan.
Begitu pula Partai Gerindra, bahÂkan telah lebih awal menetapkan (harga mati) Prabowo Subianto menjadi Capres. Jika pencapresan Aburizal masih terkadang mendapat ‘ancaman’ dari internal Golkar, dan diwarnai ‘pembelotan’ Jusuf Kalla yang telah menyatakan siap dicalonÂkan partai lain; berbeda dengan Prabowo yang sudah harga mati sebagai satu-satunya Capres Partai Gerindra. Pemberitaan cacat masa lalunya, tak menjadi penghalang bagi Prabowo untuk maju sebagai Capres. Terlihat dari iklan-iklan yang menggambarkan ’kenegarawanÂanÂnya’ yang secara berkala ditayangÂkan sejak beberapa tahun terakhir ini. Dan, tampaknya publik juga banyak yang tidak mau tahu (atau gampang lupa) atas pemberitaan jeÂjak rekamnya yang terkait pencuÂlikÂan aktivis dan ‘pembiaran’ keruÂsuhan (tragedi) Mei 1998. SetidakÂnya hal ini terlihat dari hasil survei berbagai lembaga survei yang konÂsisÂten menempatkannya di posisi dua dan tiga teratas. Bahkan jika Joko Widodo (Jokowi) tidak diikutÂkan dalam survei, Prabowo menemÂpati posisi teratas.
Beberapa nama juga telah dilirik-lirik bakal jadi Cawapresnya. SemuÂla, Gerindra tampak berharap bisa menggaet Puan Maharani atau JokoÂwi (PDIP). Tapi kemungkinan ini tampaknya semakin jauh, akibat ’traumatis’ PDIP pada proses pengÂusungan pasangan Capres-CawaÂpres pada Pilpres 2009 lalu, hal mana PDIP merasa terlalu didikte partai yang lebih kecil. Kecuali GeÂrinÂdra bisa mengungguli PDIP daÂlam Pileg. Suatu hal yang tampakÂnya sangat sulit. Maka, pantas mulai terlihat kecenderungan Gerindra akan berkoalisi dengan PAN dan PD, mengusung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa atau Pramono. Atau koalisi Gerindra-PKS, dimana PraÂbowo akan disandingkan dengan salah satu bakal Capres PKS yang telah ditetapkan Dewan Surya PKS yakni Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan, menÂjaÂdi Cawapres.
Begitu pula Partai Hanura yang belakangan seperti bangkit kembali dari kelesuan setelah adanya tamÂbahan darah baru dengan masukÂnya pemilik Grup Media MNC Hary Tanoesoedibyo. Bahkan Hanura teÂlah dengan percaya diri mendeklaÂraÂsikan pasangan Capres/Cawapres sendiri Wiranto-Hary Tanoe. Suatu ‘keberanian’ yang sempat dianggap beberapa pihak sebagai tindakan bunuh diri. Namun, tampaknya HaÂnura justru amat percaya diri, akan dapat meraih 20% kursi DPR, sebaÂgai syarat untuk bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres sendiri.
Kepercayaan diri Hanura menguÂsung Wiranto-Hary Tanoe (Win-HT) tersebut terlihat juga dari iklan-iklan pasangan ini di beberapa media yang dimiliki Hary Tanoe, MNC Grup, di antaranya RCTI, Global, MNC (TPI), Indovision, Okezone dan Koran/ Majalah Sindo. HamÂpir sama seperti Aburizal (TvOne) dan Surya Paloh (MetroTv), Win-HT juga tak sungkan mengiklankan diri dengan meÂmoÂsisikan diri sebaÂgai tokoh partai yang amat peduli pada rakyat dan berjiwa negarawan. Masa lalu Wiranto yang terkesan ‘membiarkan’ terjadinya Tragedi Mei 1998 dan menggerakkan PamÂswaÂkarsa yang kemudian berÂmetaÂmorfosa menjadi ormas keagaÂmaan radikal, tampaknya tidak jadi pengÂhalang bagi duet Win-HT untuk memosisikan diri dalam iklan-iklanÂnya sebagai negarawan. Dan terÂnyata, elektabilitas Hanura dan WiÂranÂto memang cenderung naik. KenÂÂdati berbagai survei masih meÂnemÂÂpatkan elektabilitas Hanura dengan perolehan suara di kisaran 7-12%.
Jika melihat beberapa hasil survei tersebut, kemungkinan Hanura tiÂdak bisa mengusung Capres-CawaÂpres dari internal partai sendiri. Harus berkoalisi dengan partai lain. Jika perolehan suara Hanura menÂdeÂkati satu digit, kemungkinan akan mampu menggalang koalisi dengan beberapa partai menengah dan kecil yang perolehan suaranya di bawah 7%. Wiranto sendiri memiliki kedeÂkatan dengan beberapa petinggi PKS, sehingga sangat membuka kemungkinan akan mengajak PKS berkoalisi. Juga partai-partai berbaÂsis massa Islam lainnya kemungkinÂan akan diajak bergabung, seperti PAN, PPP dan PBB. Tapi, hal ini masih menyimpan pertanyaan peÂlik: Apakah HT juga akan mengeÂrahkan kekuatan materinya jika dia tidak jadi diusung sebagai CawaÂpres? Rasanya, amat muskil! SeoÂrang pengusaha (yang belum negaÂraÂwan) sudah terbiasa melihat sesuatu dari sudut untung-rugi.
Capres Partai Berbasis Islam
Di sisi lain, partai-partai berbasis massa Islam, PPP, PAN, PKB, PKS dan PBB, juga telah ‘mendeklarasiÂkan’ Capresnya masing-masing. PPP telah secara bulat dalam Mukernas di Bandung (9/2/2014) lalu meminÂta kesediaan kader terbaiknya (keÂtua umumnya) Suryadharma Ali menÂjadi Capres atau Cawapres. Jauh sebelumnya, PAN telah meneÂtapÂkan ketua umumnya Hatta RaÂjasa sebagai Capres. Begitu pula PBB dengan teguh akan mengusung YusÂril Ihza Mahendra. Tak ketinggalan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah bermanuver dengan menggaÂdang-gadang tiga nama bakal CaÂpres yakni raja dangdut Rhoma Irama, mantan Wapres Jusuf Kalla dan mantan Ketua MK Mahfud Md.
Terdengar pula wacana di kalangÂan partai berbasis massa Islam untuk membangun koalisi semacam ‘poros tengah’. Perolehan partai mana yang terbesar, itulah yang akan berhak mengajukan Capres dan yang kedua mengajukan CawaÂpres. Kemungkinan ‘poros tengah’ ini bisa saja terjadi kendati berbagai pihak melihatnya sangat sulit. PerÂtaÂnyaannya, siapa figur yang bisa mewujudkan koalisi partai berbasis massa Islam tersebut?
Suryadharma Ali (SDA) dan/atau Hatta Rajasa (HR) mungkin bisa diÂanÂdalkan. Tapi itu masih sangat terÂgantung seberapa besar perolehÂan suaÂra partainya dalam Pileg. Jika perÂolehan suara PPP mendekati 10% mungkin tidak begitu sulit bagi SDA untuk mambangun koalisi parÂtai berbasis Islam tersebut. Apalagi SDA telah dengan yakin mengusung jargon: Merah Putih, Bisa! Maka untuk melengkapi (memperkuat) koaÂlisi dengan jargon ‘Merah Putih, Bisa’ tersebut, kemungkinan akan mengÂajak PKPI (Partai Keadilan dan PerÂsatuan Indonesia) yang dipimÂpin Sutiyoso untuk ikut bergabung. Bahkan bisa saja mengajak dan meÂnyeÂpakati Sutiyoso (Bang Yos) sebaÂgai Cawapres mendampingi SDA.
Tapi, bisa saja justru Jusuf Kalla (JK) yang akan memersatukan parÂtai-partai berbasis massa Islam terÂsebut. Hal ini memungkinkan jika PKB benar-benar serius mau mengÂusungnya sebagai Capres dan peroÂlehan suara PKB juga signifikan, paÂling tidak berada di urutan atas partai-partai berbasis Islam terseÂbut. Kemungkinan ini bisa saja terjadi, jika JK dan jaringannya menggelontorkan dana triliunan untuk mendapatkan tiket tersebut.
Tapi jika tidak, amat sulit menerka entah siapa nanti yang jadi diusung PKB sebagai Capres dari ketiga nama yang kini tengah digadang-gadangnya. Jangan-jangan satu pun dari ketiga nama itu (Jusuf Kalla, Rhoma Irama dan Mahfud Md), tidak jadi dicalonkan. Sebab sampai saat ini tidak ada mekanisme yang jelas tentang proses pencapresan PKB tersebut. Maka, kemungkinan (atau justru sudah diskenariokan), dari antara ketiga nama tersebut tidak ada yang jadi diusung sebagai Capres, dengan alasan perolehÂan suara Pileg PKB tidak memungÂkinÂkan mengusung Capres sendiri.
Bahkan kemungkinan PKB juga tidak mau berkoalisi denga partai-partai berbasis Islam lainnya (PPP, PAN, PKS dan PBB). Justru akan berkoalisi dengan partai lain (GerinÂdra atau Golkar atau PD atau PDIP), dengan mengajukan Cawapres, yakÂni Ketua Umumnya Muhaimin IsÂkanÂdar. Sangat kecil kemungkinan Muhaimin Iskandar mau menyerahÂkan tongkat Cawapres kepada tiga nama yang telah digadang-gadang sebagai bakal Capres tersebut. DeÂngan dalih mereka dijanjikan menjaÂdi Capres bukan Cawapres. Apalagi menyerahkan dengan gratis kepada Jusuf Kalla (kader dan mantan Ketua Umum Golkar) atau pedangÂdut Rhoma Irama. Mahfud Md sediÂkit berpeluang akan menjadi CawaÂpres dari PKB jika mendapat mandat dan desakan kuat dari para ulama PKB. Walau kemungkinan ini juga sangat kecil, selain karena ‘kegagalÂan’ Mahfud Md memimpin ‘hanya delapan’ hakim MK dan mengingat jejak politik Muhaimin Iskandar: Jangankan Mahfud Md, Gus Dur yang paman dan guru politiknya saja didepak!
Capres PD, PKPI dan Nasdem
Sementara Partai Demokrat (PD) tampaknya semakin tertatih-tatih setelah adanya suara para pemuka agama yang menyatakan antikeÂboÂhongan, disusul terbongÂkarnya keÂterÂlibatan beberapa kader intinya dalam beberapa kejahatan luar biasa tindak pidana korupsi. DitamÂbah lagi dengan konflik internal yang ditandai desakan mundurnya Anas Urbaningrum dari kursi Ketua Umum yang didasari atas turunnya elektabilitas PD dan dibocorkannya Sprindik Anas oleh oknum KPK. Anas digantikan langsung oleh PreÂsiÂÂden SBY yang merangkap Ketua Umum dan beberapa jabatan penÂting di PD. Semula diharapkan, dengan tampilnya SBY jadi Ketua Umum, elektabilitas PD akan terÂdongÂkrak naik. Tapi, kenyataan justru sebaliknya, terus merosot. Tampaknya sudah tidak sedikit oÂrang yang jenuh atau muak atas kepemimpinan SBY yang terkesan amat meÂmenÂtingkan pencitraan.
Di tengah keterpurukan itu, PD bermanuver meningkatkan elektaÂbiÂliÂtas dengan menggelar Konvensi Capres yang diikuti 11 tokoh peserÂta, yakni Ali Maskur Musa (Anggota BPK), Anies Rasyid Baswedan (RekÂtor Universitas Paramadina), DahÂlan Iskan (Menteri BUMN), Dino Patti Djalal (mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat), Jenderal (Purn) TNI Endriartono Sutarto (mantan Ketua Dewan PerÂtimÂbangan Partai NasDem), Gita Wirjawan (Menteri PerdaÂgangÂan, mundur), Hayono Isman (Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat), Irman Gusman (Ketua DPD), MarÂzuki Alie (Ketua DPR), Jenderal (Purn) TNI Pramono Edhie Wibowo (mantan Kasad), dan Sinyo Harry Sarundajang (Gubernur Sulawesi Utara). Namun, elektabilitas keseÂbeÂlas tokoh ini masih sangat rendah. Tampaknya, publik belum melihat potensi kenegarawanan mereka.
Kesebelas tokoh ini berpeluang untuk lolos jadi pemenang konvenÂsi. Namun belum tentu mereka jadi diajukan sebagai Capres. Sangat tergantung pada perolehan suara PD pada Pileg. Perolehan suara PD, dari berbagai survei, terus terjun bebas, bahkan dikuatirkan pada Pileg nanti akan berada di bawah 5% atau jaÂngan-jangan tidak lolos PT 3,5%. Jika perolehan suara PD hanya di bawah 5%, kemungkinan hanya akan mengajukan Cawapres berkoaÂlisi dengan partai lain, dengan GolÂkar, atau Gerindra dengan menguÂsung Pramono (adik ipar SBY) sebaÂgai Cawapres. Atau berkoalisi deÂngan PAN, PKB, PBB dan PKPI dengan mengusung Suryadharma Ali atau Hatta Rajasa sebagai Capres dan Pramono sebagai Cawapres.
Para elit PD tampaknya sangat menyadari, jika mereka tersingkir dari pusat kekuasaan akan sangat membahayakan kelangsungan hiÂdup PD. Mengingat mulai makin terungkapnya beberapa kasus koÂrupÂsi selama pemerintahan PresiÂden SBY, di antaranya Hambalang, SKK Migas dan Bank Century. Maka diperkiraÂkan, PD akan gigih memÂperÂjuangkan posisi Wapres dalam koalisi pemeÂrinÂtahan, paling tidak ikut dalam pemerintahan dengan dua-tiga jaÂbatÂan menteri.
Bagaimana dengan PKPI (Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia)? Partai ini sejak kongres 2010, telah menyatakan akan mengusung Ketua Umumnya Sutiyoso sebagai Capres. Tapi, Sutiyoso sendiri meÂngaÂtakan tidak ngoyo menjadi CaÂpres. Kalau perolehan suara PKPI signifikan, paling tidak lolos Parliamentary Threshold 3,5%, barulah dia akan maju sebagai Capres. SutiÂyoso senÂdiri yakin, PKPI akan meÂmeÂroleh 6% suara Pileg. Keyakinan itu berÂcerÂmin dari perolehan suara Pemilu 2009 tigabelas partai politik yang tidak lolos jadi peserta Pemilu 2014 dan bergabung dalam pencaÂlegan di PKPI. Dengan modal 6% suara, kemungkinan PKPI bisa mengÂgalang koalisi dengan partai-partai meÂneÂngah dan kecil yang perolehan suaÂranya di bawah 6% (Hanura, NasÂdem, PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB). Atau mungkin saja Sutiyoso akan menjadi Cawapres dalam koaÂlisi dengan PD, Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB dan PKS).
Sementara itu, Partai Nasdem belum secara terbuka menyeÂbut nama bakal Capres atau CawaÂpresÂnya. Mereka berdalih, lebih foÂkus dulu pada pemenangan Pileg. Partai Nasdem menyatakan jika memeroÂleh suara signifikan dan berada di urutan ketiga teratas, barulah akan mengajukan Capres. Sebuah optiÂmisÂme yang bisa saja jadi kenyataÂan. Tapi melihat kenyaÂtaÂan lapangÂan yang juga tercermin dalam bebeÂraÂpa survei, posisi ketiÂga itu amat sulit diraih Nasdem. LoÂlos parliamentary threshold 3,5% saja sudah syukur.
Perihal siapa capres Nasdem, seÂsungÂguhnya sudah menjadi rahasia umum melihat kecenderungan poliÂtik, bahwa Nasdem akan mengusung Surya Paloh sebagai Capres atau Cawapres. Hal ini terlihat juga dari iklan-iklan dan pidato-pidato Surya Paloh yang disiarkan MetroTv dan Media Indonesia kepunyaan Surya Paloh sendiri. Sama seperti ARB dan Win-HT, Surya Paloh juga tak sungÂkan mengiklankan diri saban hari di media publik miliknya itu untuk meningkatkan elektabilitas. Lalu, dengan siapa Nasdem kemungkinan akan berkoalisi? Kecenderungan, Nasdem akan lebih memilih berkoaÂlisi dengan PDIP dan Golkar, atau PPP, PKB, PAN dan PKPI.
Capres PDI Perjuangan
Sementara, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baru saja (14/3/2014) telah mengumumkan siapa Capresnya, yakni Jokowi (Joko Widodo). Ketua Umum PDIP Megawati SoekarÂnoÂpuÂtri yang menÂdaÂpat mandat dari Kongres dan Munas ternyata legowo menetapÂkan dan menyerahÂkan mandat kepaÂda Jokowi sebagai Capres yang akan diusung PDIP. Sebelumnya, berbaÂgai pihak agak meragukan keikhlaÂsan Megawati melepas peluang CaÂpres tersebut. Walaupun daÂlam inÂterÂÂnal PDIP, sumÂber Berita Indonesia mengaku tidak pernah mewaÂcanaÂkan duet Megawati-JokoÂwi. SumÂber Berita Indonesia menyaÂtakan, MeÂgaÂwati akan menjadi Queen Maker yang negaraÂwan unÂtuk meneÂtapkan pasangan Capres-CaÂwapres PDIP.
PDIP menargetkan perolehan suaÂra 27% untuk bisa mengusung senÂdiri paÂsangÂan Capres dan CawaÂpres. MereÂka mengaku kapok didikÂte parÂtai kecil yang mereka ajak koalisi seperti pengalaman Pilpres 2009 lalu, hanya karena kekurangÂan 3-4% unÂtuk bisa mengusung pasangan CaÂpÂres-Cawapres sendiri.
Berbagai hasil survei memang menempatkan PDIP bakal tampil sebagai pemenang Pileg 2014 berÂsaing ketat dengan Partai Golkar. Begitu pula, elektabilitas Jokowi jauh di atas elektabilitas Capres dari partai lain, termasuk jauh melampaÂui Megawati sendiri. Hal ini pastilah menjadi salah satu pertimbangan Megawati sehingga legowo meÂngajukan Jokowi sebagai Capres.
Yang belum kelihatan kecendeÂrungÂanÂnya adalah siapa Cawapres pendamping Jokowi, apaÂkah dari internal PDIP atau dari partai lain yang diajak berkoalisi. Namun, demi Indonesia Hebat, kecenderungan PDIP akan mengaÂjak partai politik lain bergabung (bersatu, koalisi), mungkin dengan parpol berbasis kebangsaan dan/atau berbasis keaÂgamaÂan (Islam). Jika PDIP akhirnya memilih parpol berbasis keagamaÂan, kecendeÂrungÂanÂnya akan mengÂganÂdeng PPP dan/atau PKB.
Bisa saja Jokowi akan berpasangÂan dengan Suryadharma Ali atau Mahfud Md (bukan Muhaimin IsÂkanÂdar) atas desakan NU. Tetapi kemungkinan Muhaimin akan melaÂkukan perlawanan. Maka kecendeÂrungan yang lebih nyata adalah koalisi PDIP-PPP mengusung JokoÂwi-SDA, sama seperti Megawati-Hamzah Haz pada 2001-2004 lalu. Pengalaman kebersamaan 2001-2004 itu akan menjadi daya pendoÂrong atas kecenderungan tersebut. Perihal ini, sumber Berita Indonesia menyatakan bahwa kecendeÂrungÂan ini bukan isapan jempol. Sebab sudah ada lobi-lobi atas kemungkinan itu. Disebutkan, HamÂzah Haz sendiri telah ‘bergerilya’ melakukan pendekatan baik kepada Megawati maupun Jokowi.
Kendati sebagian pihak meraguÂkan chemistry koalisi PDIP-PPP tersebut, jika dilihat dari perbedaan ideologi kedua partai tersebut. PDIP berasas dan berpegang teguh pada ideologi Pancasila dan nasionalisme (kebangsaan). Sementara PPP beraÂsas Islam dan religius (Islam). NaÂmun, dari sisi lain, ada pihak yang tidak melihat perbedaan asas kedua partai tersebut secara hitam putih. Sebab, kendati PDIP nasionalis bukan berarti tidak religius. DemikiÂan pula PPP, kendati religius bukan berarti tidak nasionalis. Maka, jusÂtru lebih melihat perbedaan itu dari sudut pandang kebhinneka tunggal ikaan dan realitas keindonesiaan. Apalagi, kendati PPP berasas Islam, tetapi telah dengan tegas menyataÂkan Pancasila sebagai ideologi negaÂra yang sudah bersifat final. Selain itu, Sekjen PPP M RomaÂhurÂmuziy menyatakan PPP sudah berpengaÂlaman berkoalisi dengan PDIP. Dia melihat duat Jokowi-SDA akan lebih menstabilkan politik nasional.
Di samping itu, SDA pun dengan yakin telah menerima pencapresanÂnya (Capres atau Cawapres) dengan memilih jargon: Merah Putih, Bisa! Jargon ini dinilai orang-orang yang mulai mengendus adanya pendeÂkatÂan koalisi PDIP-PPP sebagai sinyal yang kuat untuk memperteÂmuÂkan kedua partai tersebut, unÂtuk: Bukan Indonesiaku atau IndoÂneÂsiamu, tetapi Indonesia Kita; Bukan Merah Putihku atau Merah Putihmu, tetapi Merah Putih Kita! Sementara, PDIP sendiri mengÂusung jargon: Indonesia Hebat! Bukankah itu sinyal yang kuat akan kecendeÂrungan terjadinya koalisi ideologis Pancasila dan Islam, kebangsaan dan religius, dalam keberagaman yang bhinneka tunggal ika dari dua partai politik tersebut? Indonesia Hebat dan Merah Putih, Bisa!
Apa yang dikemukakan di atas adalah fakta-fakta kecenderungan, belum menjadi fakta kenyataan. Artikel ini juga tidak menjustifikasi siapa di antara para bakal Capres dan Cawapres yang telah digadang-gadang tersebut yang bersosok negarawan. Rekam jejak mereka masing-masinglah yang membuktiÂkan (menyatakan) apakah mereka pemimpin politik yang negarawan atau tidak. Dan, pilihan, ada di tangan setiap orang secara bebas dan rahasia! Catatan: Ch. Robin Simanullang | Diterbitkan sebagai Berita Utama Majalah BERINDO (Berita Indonesia) Edisi 92 |
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA




















