Menimang Capres Negarawan

[OPINI] – CATATAN KILAS – Catatan: Ch. Robin Simanullang | Pada Pemilu 2014, akankah muncul pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang negarawan? Dari sederet nama tokoh yang telah digadang-gadang dan ditimang-timang bakal menjadi Capres dan Cawapres oleh berbagai elemen, terutama oleh partai politik peserta Pemilu 2014, siapakah di antara mereka yang memiliki integritas negarawan?
Sebelum menyebut sederet nama yang digadang-gadang dan ditimang-timang bakal Capres dan Cawapres tersebut, eloklah lebih dulu menimbang apa atau siapa itu negarawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bahwa negarawan (nomina) adalah ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan: beliau merupakan pahlawan besar dan agung. Dijelaskan pula, kenegarawanan adalah hal yang berhubungan dengan orang-orang yang mengurus suatu negara: sikap kenegarawanan amat diperlukan dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan.
Cukup jelas! Negarawan itu adalah ahli dan/atau pemimpin politik yang taat asas menyusun dan menjalankan kebijakan negara dengan visi yang jauh ke depan. Pemahaman ini mengandung makna, bahwa politik (partai politik) adalah salah satu jalan (sarana) idealisme bagi seseorang (politisi, cendekiawan, ulama, pengusaha dan lain-lain) untuk mengabdikan diri sebagai pemimpin politik yang negarawan.
Apa yang dikemukakan dalam artikel ini adalah fakta-fakta kecenderungan, belum menjadi fakta kenyataan. Artikel ini juga tidak menjustifikasi siapa di antara para bakal Capres dan Cawapres yang telah digadang-gadang tersebut yang bersosok negarawan. Rekam jejak mereka masing-masinglah yang membuktikan (menyatakan) apakah mereka pemimpin politik yang negarawan atau tidak. Dan, pilihan, ada di tangan setiap orang secara bebas dan rahasia!
Sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang menjadi negarawan itu memang adalah para ahli (idealis dan visioner) yang menempuh jalan politik (pemimpin politik) sebagai sarana pengabdiannya demi kepentingan (kejayaan) bangsa dan negaranya, bukan demi kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Jika kita mau belajar dari sejarah, hal demikian inilah yang mengalir dalam jejak rekam para founding fathers bangsa ini: HOS Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hadjar Dewantara, Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Syahrir, dan Kyai Wahid Hasyim dan lain-lain. Mereka sungguh tulus mengabdikan diri untuk kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan diri dan kelompoknya sendiri.
Mereka adalah para pemimpin politik pada zamannya. Mereka bukan sekadar politisi, ulama atau cendekiawan tetapi pemimpin politik yang negarawan. Apa yang membedakan politisi (politikus) dengan negarawan? Ada ucapan James Freeman Clarke yang amat terkenal tentang hal ini: “A politician thinks of the next election, but a statesman, of the next generation.” Politisi memikirkan pemilu mendatang, tetapi negarawan memikirkan generasi yang akan datang.
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Prof. Syafi’i Ma’arif mengatakan negarawan adalah seorang yang bervisi ke depan untuk kebesaran bangsa dan negara jauh melampaui usianya. Kekuasaan baginya hanyalah sebuah wahana untuk mewujudkan cita-cita mulia politiknya demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan bersama, dan untuk tujuan itu dia sangat rela menderita. Seorang negarawan, sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Sebaliknya, kata Prof. Syafi’i Ma’arif, politisi adalah seorang pragmatis yang pada umumnya tunavisi, tetapi syahwatnya terhadap kekuasaan demikian dahsyat. “Dengan kekuasaan di tangan, banyak kenikmatan duniawi yang dapat diperoleh. Nyaris tak ada kepedulian terhadap tegaknya keadilan dan terciptanya kesejahteraan umum bagi semua,” kata Syafi’i Ma’arif, sekaligus mengungkapkan kerisauannya melihat kenyataan terkini.
Memang, inilah yang menjadi kerisauan kita hari-hari ini: Semakin banyak para politisi, penyelenggara negara, bahkan cendekia dan ulama yang memikirkan (berorientasi) mengejar elektabilitas. Tidak berorientasi kinerja dan pengabdian. Elektabilitas telah menjadi tujuan. Paling tidak dalam sepuluh tahun terakhir, bangsa ini telah dijejali dengan politik pencitraan, tebar pesona untuk mengejar tingkat elektabilitas. Orientasi pencitraan itu tidak hanya merasuki penyelenggara negara dalam jabatan politik (eksekutif dan legislatif), tetapi juga dalam jabatan peradilan (tak kecuali KPK), bahkan jabatan kependidikan dan keagamaan.
Bersamaan dengan itu, semakin banyak pula orang yang menempuh jalan politik tanpa idealisme dan tanpa taat asas (Pancasila dan UUD 1945) demi kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Mereka pun menempuh jalan politik (jabatan politik, penyelenggara negara) untuk memperkaya diri. Tak kecuali, birokrat, politisi, para cendekiawan, kalangan profesional, hakim dan pengusaha memasuki gelanggang politik untuk memperkaya diri. Selain karena didorong oleh ketamakan, juga sebagai konsekuensi dari marak dan mahalnya politik pencitraan yang berorientasi (memikirkan) pemilu mendatang. Sangat sedikit yang sungguh-sungguh memikirkan kepentingan rakyat dan generasi mendatang.
Para politisi dan pejabat negara saat ini seolah-olah sudah sepakat menganggap gelanggang politik dan jabatan sebagai kesempatan untuk meraih kekayaan untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Jika pada era Orba sebagian para politisi nyaris tak punya hati nurani dan idealisme, pada era reformasi ini ditambah lagi tanpa rasa kebangsaan dan amat rakus tanpa rasa malu.
Tampaknya sebagian mereka, menjadi anggota parlemen dan pejabat negara, tanpa bekal pemahaman seluk-beluk politik dan masalah kenegaraan dengan baik. Politik uang pun merajalela. Korupsi (atau sejenisnya) tak lagi didominasi eksekutif tetapi telah mengganas di lembaga legislatif dan yudikatif.
Jika kondisi masing-masing elit politik mementingkan diri dan kelompoknya sendiri, itu berlangsung makin masif, maka bakal sempurnalah kebusukan moral bangsa ini. Kondisi ini, jika dibiarkan, akan menyebabkan bangsa ini terjerumus dalam kesulitan yang akhirnya mencekik leher sendiri: Mati bunuh diri! Mungkin, hal inilah yang mendorong beberapa LSM menghadirkan gerakan antipolitisi busuk. Untuk mencegah semakin sempurnanya kebusukan moral dan ketamakan sebagian elit politik (pejabat negara) bangsa ini.
Seyogyanya, reformasi (demokratisasi) menjadi suatu kesempatan baik untuk melahirkan politisi, cendekia dan ulama (pemimpin politik) negarawan di negeri ini. Pemimpin politik yang tulus, profesional, punya idealisme dan fatsoen politik untuk mengabdikan diri dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negaranya di atas kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompoknya sendiri.
Pertanyaan, apakah masih ada politisi atau elit bangsa ini yang negarawan? Tentu tidak bijaksana bila selalu apatis dan pesimistis. Sesungguhnya masih banyak di antara anak bangsa ini kader-kader negarawan. Bahkan terlalu panjang jika namanya dituliskan satu-persatu dalam kolom ini. Kendati harus pula dimaklumi bak kata pepatah: Tak ada gading yang tak retak: Tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan manusia (politisi) hanyalah pada intensitas proses upayanya (kegigihannya) secara berkesinambungan untuk menjadi selalu lebih baik, lebih sempurna (negarawan). Hal ini dapat terlihat dari jejak rekamnya!
Lalu, bagaimana agar masyarakat dapat menemukan sosok negarawan dalam Pemilu 2014 yang sudah di ambang pintu? Jawaban sederhananya: Cermati jejak rekamnya! Cermati proses kesungguhannya menjadi seorang negarawan! Baca biografinya!
Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dalam sebuah forum diskusi mengatakan syarat hadirnya negarawan sebetulnya tidaklah sulit. Dia menyebut tiga hal: Pertama, sosok negarawan hanya bisa lahir kalau ia benar-benar memahami sejarah, memahami Pancasila dan UUD 1945, memahami nature masyarakatnya yang plural, serta setia terhadap NKRI. Ini merupakan syarat ideologis.
Kedua, pemimpin tersebut memberikan inspirasi dan mampu menggelorakan kembali kebanggaan sebagai bangsa melalui pembangunan karakter kebangsaan. Harus berdiri kokoh di atas keanekaragaman sebagai bangsa. Falsafah Bhinneka Tunggal Ika mestinya dapat merasuk dalam kepribadian bangsa dan menjadi dasar menghargai berbagai perbedaan.
Ketiga, pemimpin negarawan adalah state building, kemampuan mengurus negara dan rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional. Di sinilah kepemimpinan dan manajemen bangsa sangat diperlukan. Ini bukan hal yang bersifat teknis. Kepemimpinan dan manajemen bangsa dimulai dari hal ideologis, yakni memberi arah yang jelas atau visioner.
Lalu, mengapa kita ini justru semakin mudah terkoyakkan oleh perbedaan agama dan suku? Menurut saya, kata Megawati, tiadanya kepemimpinan yang efektif dan lemahnya penegakan hukum adalah akar pokok persoalan ini. Oleh karena itu, menurut Megawati, siapapun Presiden Republik Indonesia nantinya adalah orang yang harus berdiri tegak melaksanakan perintah konstitusi. Tanpa pernah sejenak pun ragu meskipun berhadapan dengan jutaan massa!
Jadi, negarawan itu adalah pemimpin yang taat kepada konstitusi, bukan kepada konstituen atau kelompok massa tertentu. Itulah secara singkat sosok negarawan yang diimpikan (dinantikan) bangsa ini, yang momentumnya kiranya bisa ditemukan dan terpilih pada Pemilu 2014.
Siapa Capres Negarawan itu?
Siapakah mereka para negarawan, terutama Capres dan Cawapres, yang dinantikan akan terpilih pada Pemilu 2014 nanti? Jawaban pertanyaan ini, sangat tergantung (diawali) pada Parpol sebagai lembaga yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres yang berhak ikut Pilpres.
Publik bisa melihatnya (menimang dan mencermati) siapa tokoh yang bakal diajukan oleh 12 Parpol peserta pemilu nasional menjadi Capres dan Cawapres tersebut. Undang-undang menyaratkan hanya Parpol atau gabungan Parpol yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara nasional yang berhak mengajukan pasangan Capres dan Cawapres. Maka, kendati telah banyak Parpol yang telah menggadang-gadang Capres dan Cawapresnya, kepastiannya baru bisa diwujudkan seusai Pemilu Legislatif (Pileg).
Pemilu Legislatif (Pemilu DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) itu sudah di ambang pintu (tepatnya, 9 April 2014). Setelah itu, segera akan disusul Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Saat itu proses pencapresan dapat terukur. Partai mana atau gabungan partai mana yang memenuhi syarat mengajukan Capres/Cawapres.
Kendati demikian, beberapa Parpol telah sejak lama menggadang-gadang bakal Capres dan Cawapresnya. Bahkan beberapa kelompok masyarakat juga menggadang-gadang nama Capres alternatif, kendati undang-undang hanya memberi kewenangan kepada partai politik untuk mengajukan Capres-Cawapres. Belum ada ruang bagi calon alternatif apalagi calon independen.
Capres Golkar, Gerindra dan Hanura
Partai Golkar telah menggadang-gadang Ketua Umumnya Aburizal Bakrie (ARB) sebagai bakal Capresnya dan juga bermanuver menyebut-nyebut beberapa nama yang mungkin menjadi Cawapres pendampingnya, di antaranya Pramono Edhie Wibowo, ipar Presiden SBY, yang secara internal di Partai Demokrat diunggulkan jadi pemenang konvensi Capres PD. Aburizal sendiri sudah beberapa tahun belakangan ini terlihat seperti tak kenal lelah terus berusaha meningkatkan elektabilitasnya dengan tak sungkan-sungkan menggunakan media miliknya Viva Grup (TvOne, ANTV, Vivanews, dan Koran Jakarta) sebagai media promosi. Tiada hari tanpa iklan dan pidato ARB di TvOne. Iklan-iklan tersebut diskenario untuk memacu elektabilitasnya dengan seringkali mempromosikannya seperti sosok negarawan.
Begitu pula Partai Gerindra, bahkan telah lebih awal menetapkan (harga mati) Prabowo Subianto menjadi Capres. Jika pencapresan Aburizal masih terkadang mendapat ‘ancaman’ dari internal Golkar, dan diwarnai ‘pembelotan’ Jusuf Kalla yang telah menyatakan siap dicalonkan partai lain; berbeda dengan Prabowo yang sudah harga mati sebagai satu-satunya Capres Partai Gerindra. Pemberitaan cacat masa lalunya, tak menjadi penghalang bagi Prabowo untuk maju sebagai Capres. Terlihat dari iklan-iklan yang menggambarkan ’kenegarawanannya’ yang secara berkala ditayangkan sejak beberapa tahun terakhir ini. Dan, tampaknya publik juga banyak yang tidak mau tahu (atau gampang lupa) atas pemberitaan jejak rekamnya yang terkait penculikan aktivis dan ‘pembiaran’ kerusuhan (tragedi) Mei 1998. Setidaknya hal ini terlihat dari hasil survei berbagai lembaga survei yang konsisten menempatkannya di posisi dua dan tiga teratas. Bahkan jika Joko Widodo (Jokowi) tidak diikutkan dalam survei, Prabowo menempati posisi teratas.
Beberapa nama juga telah dilirik-lirik bakal jadi Cawapresnya. Semula, Gerindra tampak berharap bisa menggaet Puan Maharani atau Jokowi (PDIP). Tapi kemungkinan ini tampaknya semakin jauh, akibat ’traumatis’ PDIP pada proses pengusungan pasangan Capres-Cawapres pada Pilpres 2009 lalu, hal mana PDIP merasa terlalu didikte partai yang lebih kecil. Kecuali Gerindra bisa mengungguli PDIP dalam Pileg. Suatu hal yang tampaknya sangat sulit. Maka, pantas mulai terlihat kecenderungan Gerindra akan berkoalisi dengan PAN dan PD, mengusung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa atau Pramono. Atau koalisi Gerindra-PKS, dimana Prabowo akan disandingkan dengan salah satu bakal Capres PKS yang telah ditetapkan Dewan Surya PKS yakni Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan, menjadi Cawapres.
Begitu pula Partai Hanura yang belakangan seperti bangkit kembali dari kelesuan setelah adanya tambahan darah baru dengan masuknya pemilik Grup Media MNC Hary Tanoesoedibyo. Bahkan Hanura telah dengan percaya diri mendeklarasikan pasangan Capres/Cawapres sendiri Wiranto-Hary Tanoe. Suatu ‘keberanian’ yang sempat dianggap beberapa pihak sebagai tindakan bunuh diri. Namun, tampaknya Hanura justru amat percaya diri, akan dapat meraih 20% kursi DPR, sebagai syarat untuk bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres sendiri.
Kepercayaan diri Hanura mengusung Wiranto-Hary Tanoe (Win-HT) tersebut terlihat juga dari iklan-iklan pasangan ini di beberapa media yang dimiliki Hary Tanoe, MNC Grup, di antaranya RCTI, Global, MNC (TPI), Indovision, Okezone dan Koran/ Majalah Sindo. Hampir sama seperti Aburizal (TvOne) dan Surya Paloh (MetroTv), Win-HT juga tak sungkan mengiklankan diri dengan memosisikan diri sebagai tokoh partai yang amat peduli pada rakyat dan berjiwa negarawan. Masa lalu Wiranto yang terkesan ‘membiarkan’ terjadinya Tragedi Mei 1998 dan menggerakkan Pamswakarsa yang kemudian bermetamorfosa menjadi ormas keagamaan radikal, tampaknya tidak jadi penghalang bagi duet Win-HT untuk memosisikan diri dalam iklan-iklannya sebagai negarawan. Dan ternyata, elektabilitas Hanura dan Wiranto memang cenderung naik. Kendati berbagai survei masih menempatkan elektabilitas Hanura dengan perolehan suara di kisaran 7-12%.
Jika melihat beberapa hasil survei tersebut, kemungkinan Hanura tidak bisa mengusung Capres-Cawapres dari internal partai sendiri. Harus berkoalisi dengan partai lain. Jika perolehan suara Hanura mendekati satu digit, kemungkinan akan mampu menggalang koalisi dengan beberapa partai menengah dan kecil yang perolehan suaranya di bawah 7%. Wiranto sendiri memiliki kedekatan dengan beberapa petinggi PKS, sehingga sangat membuka kemungkinan akan mengajak PKS berkoalisi. Juga partai-partai berbasis massa Islam lainnya kemungkinan akan diajak bergabung, seperti PAN, PPP dan PBB. Tapi, hal ini masih menyimpan pertanyaan pelik: Apakah HT juga akan mengerahkan kekuatan materinya jika dia tidak jadi diusung sebagai Cawapres? Rasanya, amat muskil! Seorang pengusaha (yang belum negarawan) sudah terbiasa melihat sesuatu dari sudut untung-rugi.
Capres Partai Berbasis Islam
Di sisi lain, partai-partai berbasis massa Islam, PPP, PAN, PKB, PKS dan PBB, juga telah ‘mendeklarasikan’ Capresnya masing-masing. PPP telah secara bulat dalam Mukernas di Bandung (9/2/2014) lalu meminta kesediaan kader terbaiknya (ketua umumnya) Suryadharma Ali menjadi Capres atau Cawapres. Jauh sebelumnya, PAN telah menetapkan ketua umumnya Hatta Rajasa sebagai Capres. Begitu pula PBB dengan teguh akan mengusung Yusril Ihza Mahendra. Tak ketinggalan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah bermanuver dengan menggadang-gadang tiga nama bakal Capres yakni raja dangdut Rhoma Irama, mantan Wapres Jusuf Kalla dan mantan Ketua MK Mahfud Md.
Terdengar pula wacana di kalangan partai berbasis massa Islam untuk membangun koalisi semacam ‘poros tengah’. Perolehan partai mana yang terbesar, itulah yang akan berhak mengajukan Capres dan yang kedua mengajukan Cawapres. Kemungkinan ‘poros tengah’ ini bisa saja terjadi kendati berbagai pihak melihatnya sangat sulit. Pertanyaannya, siapa figur yang bisa mewujudkan koalisi partai berbasis massa Islam tersebut?
Suryadharma Ali (SDA) dan/atau Hatta Rajasa (HR) mungkin bisa diandalkan. Tapi itu masih sangat tergantung seberapa besar perolehan suara partainya dalam Pileg. Jika perolehan suara PPP mendekati 10% mungkin tidak begitu sulit bagi SDA untuk mambangun koalisi partai berbasis Islam tersebut. Apalagi SDA telah dengan yakin mengusung jargon: Merah Putih, Bisa! Maka untuk melengkapi (memperkuat) koalisi dengan jargon ‘Merah Putih, Bisa’ tersebut, kemungkinan akan mengajak PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) yang dipimpin Sutiyoso untuk ikut bergabung. Bahkan bisa saja mengajak dan menyepakati Sutiyoso (Bang Yos) sebagai Cawapres mendampingi SDA.
Tapi, bisa saja justru Jusuf Kalla (JK) yang akan memersatukan partai-partai berbasis massa Islam tersebut. Hal ini memungkinkan jika PKB benar-benar serius mau mengusungnya sebagai Capres dan perolehan suara PKB juga signifikan, paling tidak berada di urutan atas partai-partai berbasis Islam tersebut. Kemungkinan ini bisa saja terjadi, jika JK dan jaringannya menggelontorkan dana triliunan untuk mendapatkan tiket tersebut.
Tapi jika tidak, amat sulit menerka entah siapa nanti yang jadi diusung PKB sebagai Capres dari ketiga nama yang kini tengah digadang-gadangnya. Jangan-jangan satu pun dari ketiga nama itu (Jusuf Kalla, Rhoma Irama dan Mahfud Md), tidak jadi dicalonkan. Sebab sampai saat ini tidak ada mekanisme yang jelas tentang proses pencapresan PKB tersebut. Maka, kemungkinan (atau justru sudah diskenariokan), dari antara ketiga nama tersebut tidak ada yang jadi diusung sebagai Capres, dengan alasan perolehan suara Pileg PKB tidak memungkinkan mengusung Capres sendiri.
Bahkan kemungkinan PKB juga tidak mau berkoalisi denga partai-partai berbasis Islam lainnya (PPP, PAN, PKS dan PBB). Justru akan berkoalisi dengan partai lain (Gerindra atau Golkar atau PD atau PDIP), dengan mengajukan Cawapres, yakni Ketua Umumnya Muhaimin Iskandar. Sangat kecil kemungkinan Muhaimin Iskandar mau menyerahkan tongkat Cawapres kepada tiga nama yang telah digadang-gadang sebagai bakal Capres tersebut. Dengan dalih mereka dijanjikan menjadi Capres bukan Cawapres. Apalagi menyerahkan dengan gratis kepada Jusuf Kalla (kader dan mantan Ketua Umum Golkar) atau pedangdut Rhoma Irama. Mahfud Md sedikit berpeluang akan menjadi Cawapres dari PKB jika mendapat mandat dan desakan kuat dari para ulama PKB. Walau kemungkinan ini juga sangat kecil, selain karena ‘kegagalan’ Mahfud Md memimpin ‘hanya delapan’ hakim MK dan mengingat jejak politik Muhaimin Iskandar: Jangankan Mahfud Md, Gus Dur yang paman dan guru politiknya saja didepak!
Capres PD, PKPI dan Nasdem
Sementara Partai Demokrat (PD) tampaknya semakin tertatih-tatih setelah adanya suara para pemuka agama yang menyatakan antikebohongan, disusul terbongkarnya keterlibatan beberapa kader intinya dalam beberapa kejahatan luar biasa tindak pidana korupsi. Ditambah lagi dengan konflik internal yang ditandai desakan mundurnya Anas Urbaningrum dari kursi Ketua Umum yang didasari atas turunnya elektabilitas PD dan dibocorkannya Sprindik Anas oleh oknum KPK. Anas digantikan langsung oleh Presiden SBY yang merangkap Ketua Umum dan beberapa jabatan penting di PD. Semula diharapkan, dengan tampilnya SBY jadi Ketua Umum, elektabilitas PD akan terdongkrak naik. Tapi, kenyataan justru sebaliknya, terus merosot. Tampaknya sudah tidak sedikit orang yang jenuh atau muak atas kepemimpinan SBY yang terkesan amat mementingkan pencitraan.
Di tengah keterpurukan itu, PD bermanuver meningkatkan elektabilitas dengan menggelar Konvensi Capres yang diikuti 11 tokoh peserta, yakni Ali Maskur Musa (Anggota BPK), Anies Rasyid Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), Dahlan Iskan (Menteri BUMN), Dino Patti Djalal (mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat), Jenderal (Purn) TNI Endriartono Sutarto (mantan Ketua Dewan Pertimbangan Partai NasDem), Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan, mundur), Hayono Isman (Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat), Irman Gusman (Ketua DPD), Marzuki Alie (Ketua DPR), Jenderal (Purn) TNI Pramono Edhie Wibowo (mantan Kasad), dan Sinyo Harry Sarundajang (Gubernur Sulawesi Utara). Namun, elektabilitas kesebelas tokoh ini masih sangat rendah. Tampaknya, publik belum melihat potensi kenegarawanan mereka.
Kesebelas tokoh ini berpeluang untuk lolos jadi pemenang konvensi. Namun belum tentu mereka jadi diajukan sebagai Capres. Sangat tergantung pada perolehan suara PD pada Pileg. Perolehan suara PD, dari berbagai survei, terus terjun bebas, bahkan dikuatirkan pada Pileg nanti akan berada di bawah 5% atau jangan-jangan tidak lolos PT 3,5%. Jika perolehan suara PD hanya di bawah 5%, kemungkinan hanya akan mengajukan Cawapres berkoalisi dengan partai lain, dengan Golkar, atau Gerindra dengan mengusung Pramono (adik ipar SBY) sebagai Cawapres. Atau berkoalisi dengan PAN, PKB, PBB dan PKPI dengan mengusung Suryadharma Ali atau Hatta Rajasa sebagai Capres dan Pramono sebagai Cawapres.
Para elit PD tampaknya sangat menyadari, jika mereka tersingkir dari pusat kekuasaan akan sangat membahayakan kelangsungan hidup PD. Mengingat mulai makin terungkapnya beberapa kasus korupsi selama pemerintahan Presiden SBY, di antaranya Hambalang, SKK Migas dan Bank Century. Maka diperkirakan, PD akan gigih memperjuangkan posisi Wapres dalam koalisi pemerintahan, paling tidak ikut dalam pemerintahan dengan dua-tiga jabatan menteri.
Bagaimana dengan PKPI (Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia)? Partai ini sejak kongres 2010, telah menyatakan akan mengusung Ketua Umumnya Sutiyoso sebagai Capres. Tapi, Sutiyoso sendiri mengatakan tidak ngoyo menjadi Capres. Kalau perolehan suara PKPI signifikan, paling tidak lolos Parliamentary Threshold 3,5%, barulah dia akan maju sebagai Capres. Sutiyoso sendiri yakin, PKPI akan memeroleh 6% suara Pileg. Keyakinan itu bercermin dari perolehan suara Pemilu 2009 tigabelas partai politik yang tidak lolos jadi peserta Pemilu 2014 dan bergabung dalam pencalegan di PKPI. Dengan modal 6% suara, kemungkinan PKPI bisa menggalang koalisi dengan partai-partai menengah dan kecil yang perolehan suaranya di bawah 6% (Hanura, Nasdem, PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB). Atau mungkin saja Sutiyoso akan menjadi Cawapres dalam koalisi dengan PD, Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB dan PKS).
Sementara itu, Partai Nasdem belum secara terbuka menyebut nama bakal Capres atau Cawapresnya. Mereka berdalih, lebih fokus dulu pada pemenangan Pileg. Partai Nasdem menyatakan jika memeroleh suara signifikan dan berada di urutan ketiga teratas, barulah akan mengajukan Capres. Sebuah optimisme yang bisa saja jadi kenyataan. Tapi melihat kenyataan lapangan yang juga tercermin dalam beberapa survei, posisi ketiga itu amat sulit diraih Nasdem. Lolos parliamentary threshold 3,5% saja sudah syukur.
Perihal siapa capres Nasdem, sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum melihat kecenderungan politik, bahwa Nasdem akan mengusung Surya Paloh sebagai Capres atau Cawapres. Hal ini terlihat juga dari iklan-iklan dan pidato-pidato Surya Paloh yang disiarkan MetroTv dan Media Indonesia kepunyaan Surya Paloh sendiri. Sama seperti ARB dan Win-HT, Surya Paloh juga tak sungkan mengiklankan diri saban hari di media publik miliknya itu untuk meningkatkan elektabilitas. Lalu, dengan siapa Nasdem kemungkinan akan berkoalisi? Kecenderungan, Nasdem akan lebih memilih berkoalisi dengan PDIP dan Golkar, atau PPP, PKB, PAN dan PKPI.
Capres PDI Perjuangan
Sementara, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baru saja (14/3/2014) telah mengumumkan siapa Capresnya, yakni Jokowi (Joko Widodo). Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang mendapat mandat dari Kongres dan Munas ternyata legowo menetapkan dan menyerahkan mandat kepada Jokowi sebagai Capres yang akan diusung PDIP. Sebelumnya, berbagai pihak agak meragukan keikhlasan Megawati melepas peluang Capres tersebut. Walaupun dalam internal PDIP, sumber Berita Indonesia mengaku tidak pernah mewacanakan duet Megawati-Jokowi. Sumber Berita Indonesia menyatakan, Megawati akan menjadi Queen Maker yang negarawan untuk menetapkan pasangan Capres-Cawapres PDIP.
PDIP menargetkan perolehan suara 27% untuk bisa mengusung sendiri pasangan Capres dan Cawapres. Mereka mengaku kapok didikte partai kecil yang mereka ajak koalisi seperti pengalaman Pilpres 2009 lalu, hanya karena kekurangan 3-4% untuk bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres sendiri.
Berbagai hasil survei memang menempatkan PDIP bakal tampil sebagai pemenang Pileg 2014 bersaing ketat dengan Partai Golkar. Begitu pula, elektabilitas Jokowi jauh di atas elektabilitas Capres dari partai lain, termasuk jauh melampaui Megawati sendiri. Hal ini pastilah menjadi salah satu pertimbangan Megawati sehingga legowo mengajukan Jokowi sebagai Capres.
Yang belum kelihatan kecenderungannya adalah siapa Cawapres pendamping Jokowi, apakah dari internal PDIP atau dari partai lain yang diajak berkoalisi. Namun, demi Indonesia Hebat, kecenderungan PDIP akan mengajak partai politik lain bergabung (bersatu, koalisi), mungkin dengan parpol berbasis kebangsaan dan/atau berbasis keagamaan (Islam). Jika PDIP akhirnya memilih parpol berbasis keagamaan, kecenderungannya akan menggandeng PPP dan/atau PKB.
Bisa saja Jokowi akan berpasangan dengan Suryadharma Ali atau Mahfud Md (bukan Muhaimin Iskandar) atas desakan NU. Tetapi kemungkinan Muhaimin akan melakukan perlawanan. Maka kecenderungan yang lebih nyata adalah koalisi PDIP-PPP mengusung Jokowi-SDA, sama seperti Megawati-Hamzah Haz pada 2001-2004 lalu. Pengalaman kebersamaan 2001-2004 itu akan menjadi daya pendorong atas kecenderungan tersebut. Perihal ini, sumber Berita Indonesia menyatakan bahwa kecenderungan ini bukan isapan jempol. Sebab sudah ada lobi-lobi atas kemungkinan itu. Disebutkan, Hamzah Haz sendiri telah ‘bergerilya’ melakukan pendekatan baik kepada Megawati maupun Jokowi.
Kendati sebagian pihak meragukan chemistry koalisi PDIP-PPP tersebut, jika dilihat dari perbedaan ideologi kedua partai tersebut. PDIP berasas dan berpegang teguh pada ideologi Pancasila dan nasionalisme (kebangsaan). Sementara PPP berasas Islam dan religius (Islam). Namun, dari sisi lain, ada pihak yang tidak melihat perbedaan asas kedua partai tersebut secara hitam putih. Sebab, kendati PDIP nasionalis bukan berarti tidak religius. Demikian pula PPP, kendati religius bukan berarti tidak nasionalis. Maka, justru lebih melihat perbedaan itu dari sudut pandang kebhinneka tunggal ikaan dan realitas keindonesiaan. Apalagi, kendati PPP berasas Islam, tetapi telah dengan tegas menyatakan Pancasila sebagai ideologi negara yang sudah bersifat final. Selain itu, Sekjen PPP M Romahurmuziy menyatakan PPP sudah berpengalaman berkoalisi dengan PDIP. Dia melihat duat Jokowi-SDA akan lebih menstabilkan politik nasional.
Di samping itu, SDA pun dengan yakin telah menerima pencapresannya (Capres atau Cawapres) dengan memilih jargon: Merah Putih, Bisa! Jargon ini dinilai orang-orang yang mulai mengendus adanya pendekatan koalisi PDIP-PPP sebagai sinyal yang kuat untuk mempertemukan kedua partai tersebut, untuk: Bukan Indonesiaku atau Indonesiamu, tetapi Indonesia Kita; Bukan Merah Putihku atau Merah Putihmu, tetapi Merah Putih Kita! Sementara, PDIP sendiri mengusung jargon: Indonesia Hebat! Bukankah itu sinyal yang kuat akan kecenderungan terjadinya koalisi ideologis Pancasila dan Islam, kebangsaan dan religius, dalam keberagaman yang bhinneka tunggal ika dari dua partai politik tersebut? Indonesia Hebat dan Merah Putih, Bisa!
Apa yang dikemukakan di atas adalah fakta-fakta kecenderungan, belum menjadi fakta kenyataan. Artikel ini juga tidak menjustifikasi siapa di antara para bakal Capres dan Cawapres yang telah digadang-gadang tersebut yang bersosok negarawan. Rekam jejak mereka masing-masinglah yang membuktikan (menyatakan) apakah mereka pemimpin politik yang negarawan atau tidak. Dan, pilihan, ada di tangan setiap orang secara bebas dan rahasia! Catatan: Ch. Robin Simanullang | Diterbitkan sebagai Berita Utama Majalah BERINDO (Berita Indonesia) Edisi 92 |
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA