Menimang Capres Negarawan

 
0
145
Menimang Capres Negarawan
Cover Berita Indonesia 92

[OPINI] – CATATAN KILAS – Catatan: Ch. Robin Simanullang | Pada Pemilu 2014, akankah muncul pasangan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang negarawan? Dari sederet nama tokoh yang telah digadang-gadang dan ditimang-timang bakal menjadi Capres dan Cawapres oleh berbagai elemen, terutama oleh partai politik peserta Pemilu 2014, siapakah di antara mereka yang memiliki integritas negarawan?

Sebelum menyebut sederet nama yang digadang-gadang dan ditimang-timang bakal Capres dan Cawapres tersebut, eloklah lebih dulu menimbang apa atau siapa itu negarawan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bahwa negarawan (nomina) adalah ahli dalam kenega­ra­an; ahli dalam menjalankan nega­ra (pemerintahan); pemimpin poli­tik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau menge­lola masalah negara dengan kebijak­sanaan dan kewibawaan: beliau me­rupakan pahlawan besar dan agung. Dijelaskan pula, kenegara­wan­an adalah hal yang berhubung­an de­ngan orang-orang yang meng­u­rus suatu negara: sikap kenegara­wan­an amat diperlukan dalam meng­­ha­dapi persoalan kemasyarakatan.

Cukup jelas! Negarawan itu adalah ahli dan/atau pemimpin politik yang taat asas menyusun dan menjalan­kan kebijakan negara dengan visi yang jauh ke depan. Pemahaman ini mengandung makna, bahwa politik (partai politik) adalah salah satu jalan (sarana) idealisme bagi sese­orang (politisi, cendekiawan, ula­ma, pengusaha dan lain-lain) untuk mengabdikan diri sebagai pemim­pin politik yang negarawan.

Apa yang dikemukakan dalam artikel ini adalah fakta-fakta kecenderungan, belum menjadi fakta kenyataan. Artikel ini juga tidak menjustifikasi siapa di antara para bakal Capres dan Cawapres yang telah digadang-gadang tersebut yang bersosok negarawan. Rekam jejak mereka masing-masinglah yang membukti­kan (menyatakan) apakah mereka pemimpin politik yang negarawan atau tidak. Dan, pilihan, ada di tangan setiap orang secara bebas dan rahasia!

Sejarah membuktikan bahwa o­rang-orang yang menjadi nega­ra­wan itu memang adalah para ahli (idealis dan visioner) yang me­nem­puh jalan politik (pemimpin politik) se­bagai sarana pengabdiannya demi ke­pen­tingan (kejayaan) bangsa dan ne­ga­ranya, bukan demi kepen­ting­an diri dan kelompoknya sendiri. Ji­ka kita mau belajar dari sejarah, hal demi­ki­an inilah yang mengalir da­lam jejak rekam para founding fathers bangsa ini: HOS Tjokroa­mi­noto, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Ha­djar Dewantara, Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim, Syah­rir, dan Kyai Wahid Hasyim dan lain-lain. Mereka sungguh tulus meng­abdi­kan diri untuk kepentingan bang­sa dan negaranya di atas ke­pen­tingan diri dan kelompoknya sendiri.

Mereka adalah para pemimpin politik pada zamannya. Mereka bu­kan sekadar politisi, ulama atau cen­dekiawan tetapi pemimpin poli­tik yang negarawan. Apa yang mem­­be­dakan politisi (politikus) dengan negarawan? Ada ucapan James Freeman Clarke yang amat terkenal tentang hal ini: “A politician thinks of the next election, but a statesman, of the next generation.” Poli­tisi memikirkan pemilu mendatang, tetapi negarawan memikirkan gene­rasi yang akan datang.

Mantan Ketua Umum Muhamma­diyah Prof. Syafi’i Ma’arif mengata­kan negarawan adalah seorang yang bervisi ke depan untuk kebesaran bangsa dan negara jauh melampaui usianya. Kekuasaan baginya hanya­lah sebuah wahana untuk mewujud­kan cita-cita mulia politiknya demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan bersama, dan untuk tujuan itu dia sangat rela menderita. Seorang negarawan, sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Sebaliknya, kata Prof. Syafi’i Ma’­arif, politisi adalah seorang pragma­tis yang pada umumnya tunavisi, tetapi syahwatnya terhadap kekua­sa­an demikian dahsyat. “Dengan kekuasaan di tangan, banyak kenik­mat­an duniawi yang dapat diper­oleh. Nyaris tak ada kepedulian terhadap tegaknya keadilan dan ter­ciptanya kesejahteraan umum bagi semua,” kata Syafi’i Ma’arif, seka­li­gus mengungkapkan kerisau­an­nya melihat kenyataan terkini.

Memang, inilah yang menjadi kerisauan kita hari-hari ini: Semakin banyak para politisi, penyelenggara negara, bahkan cendekia dan ulama yang memikirkan (berorientasi) me­ng­ejar elektabilitas. Tidak bero­ri­en­tasi kinerja dan pengabdian. Elek­tabilitas telah menjadi tujuan. Paling tidak dalam sepuluh tahun ter­akhir, bangsa ini telah dijejali de­ngan politik pencitraan, tebar pe­sona untuk mengejar tingkat elek­tabilitas. Orientasi pencitraan itu tidak hanya merasuki penye­leng­gara negara dalam jabatan politik (eksekutif dan legislatif), tetapi juga dalam jabatan peradilan (tak ke­cua­li KPK), bahkan jabatan ke­pen­di­di­kan dan keagamaan.

Bersamaan dengan itu, semakin banyak pula orang yang menempuh jalan politik tanpa idealisme dan tanpa taat asas (Pancasila dan UUD 1945) demi kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Mereka pun menempuh jalan politik (jabatan politik, penyelenggara negara) un­tuk memperkaya diri. Tak kecuali, birokrat, politisi, para cendekiawan, kalangan profesional, hakim dan pengusaha memasuki gelanggang politik untuk memperkaya diri. Selain karena didorong oleh keta­makan, juga sebagai konsekuensi dari marak dan mahalnya politik pencitraan yang berorientasi (me­mi­kir­kan) pemilu mendatang. Sa­ngat sedikit yang sungguh-sungguh memikirkan kepentingan rakyat dan generasi mendatang.

Para politisi dan pejabat negara sa­at ini seolah-olah sudah sepakat meng­anggap gelanggang politik dan ja­batan sebagai kesempatan untuk me­raih kekayaan untuk kepenting­an diri dan kelompoknya sendiri. Ji­ka pada era Orba sebagian para po­litisi nyaris tak punya hati nurani dan idealisme, pada era reformasi ini ditambah lagi tanpa rasa kebang­sa­an dan amat rakus tanpa rasa malu.

Advertisement

Tampaknya sebagian mereka, menjadi anggota parlemen dan pejabat negara, tanpa bekal pema­haman seluk-beluk politik dan masa­lah kenegaraan dengan baik. Politik uang pun merajalela. Korupsi (atau sejenisnya) tak lagi didominasi eksekutif tetapi telah mengganas di lembaga legislatif dan yudikatif.

Jika kondisi masing-masing elit politik mementingkan diri dan ke­lom­poknya sendiri, itu berlangsung makin masif, maka bakal sempur­nalah kebusukan moral bangsa ini. Kondisi ini, jika dibiarkan, akan me­nyebabkan bangsa ini terjeru­mus dalam kesulitan yang akhirnya men­cekik leher sendiri: Mati bunuh diri! Mungkin, hal inilah yang men­do­rong beberapa LSM menghadir­kan gerakan antipolitisi busuk. Untuk mencegah semakin sempur­na­nya kebusukan moral dan keta­makan sebagian elit politik (pejabat negara) bangsa ini.

Seyogyanya, reformasi (demo­kra­tisasi) menjadi suatu kesempatan baik untuk melahirkan politisi, cen­dekia dan ulama (pemimpin politik) negarawan di negeri ini. Pemimpin politik yang tulus, profe­sio­nal, pu­nya idealisme dan fatsoen politik untuk mengabdikan diri dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negaranya di atas ke­pen­tingan diri sendiri dan kepen­ting­an kelom­pok­nya sendiri.

Pertanyaan, apakah masih ada politisi atau elit bangsa ini yang negarawan? Tentu tidak bijaksana bila selalu apatis dan pesimistis. Sesungguhnya masih banyak di an­tara anak bangsa ini kader-kader negarawan. Bahkan terlalu panjang jika namanya dituliskan satu-per­satu dalam kolom ini. Kendati harus pula dimaklumi bak kata pepatah: Tak ada gading yang tak retak: Tidak ada yang sempurna. Kesempurnaan manusia (politisi) hanyalah pada intensitas proses upayanya (kegi­gih­annya) secara berkesinambung­an untuk menjadi selalu lebih baik, lebih sempurna (negarawan). Hal ini dapat terlihat dari jejak rekamnya!

Lalu, bagaimana agar masyarakat dapat menemukan sosok negarawan dalam Pemilu 2014 yang sudah di ambang pintu? Jawaban sederha­na­nya: Cermati jejak rekamnya! Cer­mati proses kesungguhannya men­ja­di seorang negarawan! Baca bio­gra­finya!

Presiden RI ke-5 Megawati Soe­kar­noputri dalam sebuah forum diskusi mengatakan syarat hadirnya negarawan sebetulnya tidaklah su­lit. Dia menyebut tiga hal: Per­tama, sosok negarawan hanya bisa lahir kalau ia benar-benar memahami sejarah, memahami Pancasila dan UUD 1945, memahami nature ma­sya­rakatnya yang plural, serta setia terhadap NKRI. Ini merupakan syarat ideologis.

Kedua, pemimpin tersebut mem­beri­kan inspirasi dan mampu meng­gelorakan kembali kebanggaan se­ba­gai bangsa melalui pembangunan karakter kebangsaan. Harus berdiri kokoh di atas keanekaragaman seba­gai bangsa. Falsafah Bhinneka Tung­gal Ika mestinya dapat merasuk dalam kepribadian bangsa dan men­jadi dasar menghargai berbagai per­bedaan.

Ketiga, pemimpin negarawan ada­lah state building, kemampuan me­ngurus negara dan rakyat untuk me­wujudkan tujuan nasional. Di sinilah kepemimpinan dan mana­jemen bang­sa sangat diperlukan. Ini bukan hal yang bersifat teknis. Ke­pe­mim­pin­an dan manajemen bang­sa di­mu­lai dari hal ideologis, yakni mem­beri arah yang jelas atau visio­ner.

Lalu, mengapa kita ini justru semakin mudah terkoyakkan oleh perbedaan agama dan suku? Menu­rut saya, kata Megawati, tiadanya kepemimpinan yang efektif dan le­mah­nya penegakan hukum adalah akar pokok persoalan ini. Oleh ka­rena itu, menurut Megawati, siapa­pun Presiden Republik Indonesia nantinya adalah orang yang harus berdiri tegak melaksanakan perin­tah konstitusi. Tanpa pernah seje­nak pun ragu meskipun berha­dapan dengan jutaan massa!

Jadi, negarawan itu adalah pe­mimpin yang taat kepada konsti­tusi, bukan kepada konstituen atau kelompok massa tertentu. Itulah secara singkat sosok negarawan yang diimpikan (dinantikan) bangsa ini, yang momentumnya kiranya bisa ditemukan dan terpilih pada Pemilu 2014.

Siapa Capres Negarawan itu?

Siapakah mereka para negarawan, terutama Capres dan Cawapres, yang dinantikan akan terpilih pada Pemilu 2014 nanti? Jawaban perta­nyaan ini, sangat tergantung (dia­wal­i) pada Parpol sebagai lembaga yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan pasangan Capres-Cawapres yang berhak ikut Pilpres.

Publik bisa melihatnya (menimang dan mencermati) siapa tokoh yang bakal diajukan oleh 12 Parpol peser­ta pemilu nasional menjadi Capres dan Cawapres tersebut. Undang-undang menyaratkan hanya Parpol atau gabungan Parpol yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara nasional yang berhak mengajukan pasangan Capres dan Cawapres. Maka, kendati telah banyak Parpol yang telah menggadang-gadang Ca­pres dan Cawapresnya, kepastian­nya baru bisa diwujudkan seusai Pemilu Legislatif (Pileg).

Pemilu Legislatif (Pemilu DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) itu sudah di am­bang pintu (tepatnya, 9 April 2014). Setelah itu, segera akan disusul Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Saat itu proses pencapresan dapat ter­ukur. Partai mana atau gabungan partai mana yang memenuhi syarat mengajukan Capres/Cawapres.

Kendati demikian, beberapa Parpol telah sejak lama menggadang-gadang bakal Capres dan Cawapresnya. Bah­kan beberapa kelompok masya­ra­kat juga menggadang-gadang na­ma Capres alternatif, kendati un­dang-undang hanya memberi kewe­nangan kepada partai politik untuk mengajukan Capres-Cawapres. Be­lum ada ruang bagi calon alternatif apalagi calon independen.

Capres Golkar, Gerindra dan Hanura

Partai Golkar telah menggadang-gadang Ketua Umumnya Aburizal Bakrie (ARB) sebagai bakal Capres­nya dan juga bermanuver menye­but-nyebut beberapa nama yang mungkin menjadi Cawapres pen­dam­pingnya, di antaranya Pramono Edhie Wibowo, ipar Presiden SBY, yang secara internal di Partai Demo­krat diunggulkan jadi pemenang konvensi Capres PD. Aburizal sen­diri sudah beberapa tahun belakang­an ini terlihat seperti tak kenal lelah terus berusaha meningkatkan elek­ta­bi­li­tasnya dengan tak sungkan-sungkan menggunakan media milik­nya Viva Grup (TvOne, ANTV, Viva­news, dan Koran Jakarta) sebagai media promosi. Tiada hari tanpa iklan dan pidato ARB di TvOne. Iklan-iklan tersebut diskenario untuk memacu elektabilitasnya de­ngan seringkali mempromosikan­nya seperti sosok negarawan.

Begitu pula Partai Gerindra, bah­kan telah lebih awal menetapkan (harga mati) Prabowo Subianto menjadi Capres. Jika pencapresan Aburizal masih terkadang mendapat ‘ancaman’ dari internal Golkar, dan diwarnai ‘pembelotan’ Jusuf Kalla yang telah menyatakan siap dicalon­kan partai lain; berbeda dengan Prabowo yang sudah harga mati sebagai satu-satunya Capres Partai Gerindra. Pemberitaan cacat masa lalunya, tak menjadi penghalang bagi Prabowo untuk maju sebagai Capres. Terlihat dari iklan-iklan yang menggambarkan ’kenegarawan­an­nya’ yang secara berkala ditayang­kan sejak beberapa tahun terakhir ini. Dan, tampaknya publik juga banyak yang tidak mau tahu (atau gampang lupa) atas pemberitaan je­jak rekamnya yang terkait pencu­lik­an aktivis dan ‘pembiaran’ keru­suhan (tragedi) Mei 1998. Setidak­nya hal ini terlihat dari hasil survei berbagai lembaga survei yang kon­sis­ten menempatkannya di posisi dua dan tiga teratas. Bahkan jika Joko Widodo (Jokowi) tidak diikut­kan dalam survei, Prabowo menem­pati posisi teratas.

Beberapa nama juga telah dilirik-lirik bakal jadi Cawapresnya. Semu­la, Gerindra tampak berharap bisa menggaet Puan Maharani atau Joko­wi (PDIP). Tapi kemungkinan ini tampaknya semakin jauh, akibat ’traumatis’ PDIP pada proses peng­usungan pasangan Capres-Cawa­pres pada Pilpres 2009 lalu, hal mana PDIP merasa terlalu didikte partai yang lebih kecil. Kecuali Ge­rin­dra bisa mengungguli PDIP da­lam Pileg. Suatu hal yang tampak­nya sangat sulit. Maka, pantas mulai terlihat kecenderungan Gerindra akan berkoalisi dengan PAN dan PD, mengusung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa atau Pramono. Atau koalisi Gerindra-PKS, dimana Pra­bowo akan disandingkan dengan salah satu bakal Capres PKS yang telah ditetapkan Dewan Surya PKS yakni Hidayat Nur Wahid, Anis Matta dan Ahmad Heryawan, men­ja­di Cawapres.

Begitu pula Partai Hanura yang belakangan seperti bangkit kembali dari kelesuan setelah adanya tam­bahan darah baru dengan masuk­nya pemilik Grup Media MNC Hary Tanoesoedibyo. Bahkan Hanura te­lah dengan percaya diri mendekla­ra­sikan pasangan Capres/Cawapres sendiri Wiranto-Hary Tanoe. Suatu ‘keberanian’ yang sempat dianggap beberapa pihak sebagai tindakan bunuh diri. Namun, tampaknya Ha­nura justru amat percaya diri, akan dapat meraih 20% kursi DPR, seba­gai syarat untuk bisa mengusung pasangan Capres-Cawapres sendiri.

Kepercayaan diri Hanura mengu­sung Wiranto-Hary Tanoe (Win-HT) tersebut terlihat juga dari iklan-iklan pasangan ini di beberapa media yang dimiliki Hary Tanoe, MNC Grup, di antaranya RCTI, Global, MNC (TPI), Indovision, Okezone dan Koran/ Majalah Sindo. Ham­pir sama seperti Aburizal (TvOne) dan Surya Paloh (MetroTv), Win-HT juga tak sungkan mengiklankan diri dengan me­mo­sisikan diri seba­gai tokoh partai yang amat peduli pada rakyat dan berjiwa negarawan. Masa lalu Wiranto yang terkesan ‘membiarkan’ terjadinya Tragedi Mei 1998 dan menggerakkan Pam­swa­karsa yang kemudian ber­meta­morfosa menjadi ormas keaga­maan radikal, tampaknya tidak jadi peng­halang bagi duet Win-HT untuk memosisikan diri dalam iklan-iklan­nya sebagai negarawan. Dan ter­nyata, elektabilitas Hanura dan Wi­ran­to memang cenderung naik. Ken­­dati berbagai survei masih me­nem­­patkan elektabilitas Hanura dengan perolehan suara di kisaran 7-12%.

Jika melihat beberapa hasil survei tersebut, kemungkinan Hanura ti­dak bisa mengusung Capres-Cawa­pres dari internal partai sendiri. Harus berkoalisi dengan partai lain. Jika perolehan suara Hanura men­de­kati satu digit, kemungkinan akan mampu menggalang koalisi dengan beberapa partai menengah dan kecil yang perolehan suaranya di bawah 7%. Wiranto sendiri memiliki kede­katan dengan beberapa petinggi PKS, sehingga sangat membuka kemungkinan akan mengajak PKS berkoalisi. Juga partai-partai berba­sis massa Islam lainnya kemungkin­an akan diajak bergabung, seperti PAN, PPP dan PBB. Tapi, hal ini masih menyimpan pertanyaan pe­lik: Apakah HT juga akan menge­rahkan kekuatan materinya jika dia tidak jadi diusung sebagai Cawa­pres? Rasanya, amat muskil! Seo­rang pengusaha (yang belum nega­ra­wan) sudah terbiasa melihat sesuatu dari sudut untung-rugi.

Capres Partai Berbasis Islam

Di sisi lain, partai-partai berbasis massa Islam, PPP, PAN, PKB, PKS dan PBB, juga telah ‘mendeklarasi­kan’ Capresnya masing-masing. PPP telah secara bulat dalam Mukernas di Bandung (9/2/2014) lalu memin­ta kesediaan kader terbaiknya (ke­tua umumnya) Suryadharma Ali men­jadi Capres atau Cawapres. Jauh sebelumnya, PAN telah mene­tap­kan ketua umumnya Hatta Ra­jasa sebagai Capres. Begitu pula PBB dengan teguh akan mengusung Yus­ril Ihza Mahendra. Tak ketinggalan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah bermanuver dengan mengga­dang-gadang tiga nama bakal Ca­pres yakni raja dangdut Rhoma Irama, mantan Wapres Jusuf Kalla dan mantan Ketua MK Mahfud Md.

Terdengar pula wacana di kalang­an partai berbasis massa Islam untuk membangun koalisi semacam ‘poros tengah’. Perolehan partai mana yang terbesar, itulah yang akan berhak mengajukan Capres dan yang kedua mengajukan Cawa­pres. Kemungkinan ‘poros tengah’ ini bisa saja terjadi kendati berbagai pihak melihatnya sangat sulit. Per­ta­nyaannya, siapa figur yang bisa mewujudkan koalisi partai berbasis massa Islam tersebut?

Suryadharma Ali (SDA) dan/atau Hatta Rajasa (HR) mungkin bisa di­an­dalkan. Tapi itu masih sangat ter­gantung seberapa besar peroleh­an sua­ra partainya dalam Pileg. Jika per­olehan suara PPP mendekati 10% mungkin tidak begitu sulit bagi SDA untuk mambangun koalisi par­tai berbasis Islam tersebut. Apalagi SDA telah dengan yakin mengusung jargon: Merah Putih, Bisa! Maka untuk melengkapi (memperkuat) koa­lisi dengan jargon ‘Merah Putih, Bisa’ tersebut, kemungkinan akan meng­ajak PKPI (Partai Keadilan dan Per­satuan Indonesia) yang dipim­pin Sutiyoso untuk ikut bergabung. Bahkan bisa saja mengajak dan me­nye­pakati Sutiyoso (Bang Yos) seba­gai Cawapres mendampingi SDA.

Tapi, bisa saja justru Jusuf Kalla (JK) yang akan memersatukan par­tai-partai berbasis massa Islam ter­sebut. Hal ini memungkinkan jika PKB benar-benar serius mau meng­usungnya sebagai Capres dan pero­lehan suara PKB juga signifikan, pa­ling tidak berada di urutan atas partai-partai berbasis Islam terse­but. Kemungkinan ini bisa saja terjadi, jika JK dan jaringannya menggelontorkan dana triliunan untuk mendapatkan tiket tersebut.

Tapi jika tidak, amat sulit menerka entah siapa nanti yang jadi diusung PKB sebagai Capres dari ketiga nama yang kini tengah digadang-gadangnya. Jangan-jangan satu pun dari ketiga nama itu (Jusuf Kalla, Rhoma Irama dan Mahfud Md), tidak jadi dicalonkan. Sebab sampai saat ini tidak ada mekanisme yang jelas tentang proses pencapresan PKB tersebut. Maka, kemungkinan (atau justru sudah diskenariokan), dari antara ketiga nama tersebut tidak ada yang jadi diusung sebagai Capres, dengan alasan peroleh­an suara Pileg PKB tidak memung­kin­kan mengusung Capres sendiri.

Bahkan kemungkinan PKB juga tidak mau berkoalisi denga partai-partai berbasis Islam lainnya (PPP, PAN, PKS dan PBB). Justru akan berkoalisi dengan partai lain (Gerin­dra atau Golkar atau PD atau PDIP), dengan mengajukan Cawapres, yak­ni Ketua Umumnya Muhaimin Is­kan­dar. Sangat kecil kemungkinan Muhaimin Iskandar mau menyerah­kan tongkat Cawapres kepada tiga nama yang telah digadang-gadang sebagai bakal Capres tersebut. De­ngan dalih mereka dijanjikan menja­di Capres bukan Cawapres. Apalagi menyerahkan dengan gratis kepada Jusuf Kalla (kader dan mantan Ketua Umum Golkar) atau pedang­dut Rhoma Irama. Mahfud Md sedi­kit berpeluang akan menjadi Cawa­pres dari PKB jika mendapat mandat dan desakan kuat dari para ulama PKB. Walau kemungkinan ini juga sangat kecil, selain karena ‘kegagal­an’ Mahfud Md memimpin ‘hanya delapan’ hakim MK dan mengingat jejak politik Muhaimin Iskandar: Jangankan Mahfud Md, Gus Dur yang paman dan guru politiknya saja didepak!

Capres PD, PKPI dan Nasdem

Sementara Partai Demokrat (PD) tampaknya semakin tertatih-tatih setelah adanya suara para pemuka agama yang menyatakan antike­bo­hongan, disusul terbong­karnya ke­ter­libatan beberapa kader intinya dalam beberapa kejahatan luar biasa tindak pidana korupsi. Ditam­bah lagi dengan konflik internal yang ditandai desakan mundurnya Anas Urbaningrum dari kursi Ketua Umum yang didasari atas turunnya elektabilitas PD dan dibocorkannya Sprindik Anas oleh oknum KPK. Anas digantikan langsung oleh Pre­si­­den SBY yang merangkap Ketua Umum dan beberapa jabatan pen­ting di PD. Semula diharapkan, dengan tampilnya SBY jadi Ketua Umum, elektabilitas PD akan ter­dong­krak naik. Tapi, kenyataan justru sebaliknya, terus merosot. Tampaknya sudah tidak sedikit o­rang yang jenuh atau muak atas kepemimpinan SBY yang terkesan amat me­men­tingkan pencitraan.

Di tengah keterpurukan itu, PD bermanuver meningkatkan elekta­bi­li­tas dengan menggelar Konvensi Capres yang diikuti 11 tokoh peser­ta, yakni Ali Maskur Musa (Anggota BPK), Anies Rasyid Baswedan (Rek­tor Universitas Paramadina), Dah­lan Iskan (Menteri BUMN), Dino Patti Djalal (mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat), Jenderal (Purn) TNI Endriartono Sutarto (mantan Ketua Dewan Per­tim­bangan Partai NasDem), Gita Wirjawan (Menteri Perda­gang­an, mundur), Hayono Isman (Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat), Irman Gusman (Ketua DPD), Mar­zuki Alie (Ketua DPR), Jenderal (Purn) TNI Pramono Edhie Wibowo (mantan Kasad), dan Sinyo Harry Sarundajang (Gubernur Sulawesi Utara). Namun, elektabilitas kese­be­las tokoh ini masih sangat rendah. Tampaknya, publik belum melihat potensi kenegarawanan mereka.

Kesebelas tokoh ini berpeluang untuk lolos jadi pemenang konven­si. Namun belum tentu mereka jadi diajukan sebagai Capres. Sangat tergantung pada perolehan suara PD pada Pileg. Perolehan suara PD, dari berbagai survei, terus terjun bebas, bahkan dikuatirkan pada Pileg nanti akan berada di bawah 5% atau ja­ngan-jangan tidak lolos PT 3,5%. Jika perolehan suara PD hanya di bawah 5%, kemungkinan hanya akan mengajukan Cawapres berkoa­lisi dengan partai lain, dengan Gol­kar, atau Gerindra dengan mengu­sung Pramono (adik ipar SBY) seba­gai Cawapres. Atau berkoalisi de­ngan PAN, PKB, PBB dan PKPI dengan mengusung Suryadharma Ali atau Hatta Rajasa sebagai Capres dan Pramono sebagai Cawapres.

Para elit PD tampaknya sangat menyadari, jika mereka tersingkir dari pusat kekuasaan akan sangat membahayakan kelangsungan hi­dup PD. Mengingat mulai makin terungkapnya beberapa kasus ko­rup­si selama pemerintahan Presi­den SBY, di antaranya Hambalang, SKK Migas dan Bank Century. Maka diperkira­kan, PD akan gigih mem­per­juangkan posisi Wapres dalam koalisi peme­rin­tahan, paling tidak ikut dalam pemerintahan dengan dua-tiga ja­bat­an menteri.

Bagaimana dengan PKPI (Partai Persatuan dan Keadilan Indonesia)? Partai ini sejak kongres 2010, telah menyatakan akan mengusung Ketua Umumnya Sutiyoso sebagai Capres. Tapi, Sutiyoso sendiri me­nga­takan tidak ngoyo menjadi Ca­pres. Kalau perolehan suara PKPI signifikan, paling tidak lolos Parliamentary Threshold 3,5%, barulah dia akan maju sebagai Capres. Suti­yoso sen­diri yakin, PKPI akan me­me­roleh 6% suara Pileg. Keyakinan itu ber­cer­min dari perolehan suara Pemilu 2009 tigabelas partai politik yang tidak lolos jadi peserta Pemilu 2014 dan bergabung dalam penca­legan di PKPI. Dengan modal 6% suara, kemungkinan PKPI bisa meng­galang koalisi dengan partai-partai me­ne­ngah dan kecil yang perolehan sua­ranya di bawah 6% (Hanura, Nas­dem, PPP, PKB, PAN, PKS dan PBB). Atau mungkin saja Sutiyoso akan menjadi Cawapres dalam koa­lisi dengan PD, Golkar, PDIP, PPP, PAN, PKB dan PKS).

Sementara itu, Partai Nasdem belum secara terbuka menye­but nama bakal Capres atau Cawa­pres­nya. Mereka berdalih, lebih fo­kus dulu pada pemenangan Pileg. Partai Nasdem menyatakan jika memero­leh suara signifikan dan berada di urutan ketiga teratas, barulah akan mengajukan Capres. Sebuah opti­mis­me yang bisa saja jadi kenyata­an. Tapi melihat kenya­ta­an lapang­an yang juga tercermin dalam bebe­ra­pa survei, posisi keti­ga itu amat sulit diraih Nasdem. Lo­los parliamentary threshold 3,5% saja sudah syukur.

Perihal siapa capres Nasdem, se­sung­guhnya sudah menjadi rahasia umum melihat kecenderungan poli­tik, bahwa Nasdem akan mengusung Surya Paloh sebagai Capres atau Cawapres. Hal ini terlihat juga dari iklan-iklan dan pidato-pidato Surya Paloh yang disiarkan MetroTv dan Media Indonesia kepunyaan Surya Paloh sendiri. Sama seperti ARB dan Win-HT, Surya Paloh juga tak sung­kan mengiklankan diri saban hari di media publik miliknya itu untuk meningkatkan elektabilitas. Lalu, dengan siapa Nasdem kemungkinan akan berkoalisi? Kecenderungan, Nasdem akan lebih memilih berkoa­lisi dengan PDIP dan Golkar, atau PPP, PKB, PAN dan PKPI.

Capres PDI Perjuangan

Sementara, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baru saja (14/3/2014) telah mengumumkan siapa Capresnya, yakni Jokowi (Joko Widodo). Ketua Umum PDIP Megawati Soekar­no­pu­tri yang men­da­pat mandat dari Kongres dan Munas ternyata legowo menetap­kan dan menyerah­kan mandat kepa­da Jokowi sebagai Capres yang akan diusung PDIP. Sebelumnya, berba­gai pihak agak meragukan keikhla­san Megawati melepas peluang Ca­pres tersebut. Walaupun da­lam in­ter­­nal PDIP, sum­ber Berita Indonesia mengaku tidak pernah mewa­cana­kan duet Megawati-Joko­wi. Sum­ber Berita Indonesia menya­takan, Me­ga­wati akan menjadi Queen Maker yang negara­wan un­tuk mene­tapkan pasangan Capres-Ca­wapres PDIP.

PDIP menargetkan perolehan sua­ra 27% untuk bisa mengusung sen­diri pa­sang­an Capres dan Cawa­pres. Mere­ka mengaku kapok didik­te par­tai kecil yang mereka ajak koalisi seperti pengalaman Pilpres 2009 lalu, hanya karena kekurang­an 3-4% un­tuk bisa mengusung pasangan Ca­p­res-Cawapres sendiri.

Berbagai hasil survei memang menempatkan PDIP bakal tampil sebagai pemenang Pileg 2014 ber­saing ketat dengan Partai Golkar. Begitu pula, elektabilitas Jokowi jauh di atas elektabilitas Capres dari partai lain, termasuk jauh melampa­ui Megawati sendiri. Hal ini pastilah menjadi salah satu pertimbangan Megawati sehingga legowo me­ngajukan Jokowi sebagai Capres.

Yang belum kelihatan kecende­rung­an­nya adalah siapa Cawapres pendamping Jokowi, apa­kah dari internal PDIP atau dari partai lain yang diajak berkoalisi. Namun, demi Indonesia Hebat, kecenderungan PDIP akan menga­jak partai politik lain bergabung (bersatu, koalisi), mungkin dengan parpol berbasis kebangsaan dan/atau berbasis kea­gama­an (Islam). Jika PDIP akhirnya memilih parpol berbasis keagama­an, kecende­rung­an­nya akan meng­gan­deng PPP dan/atau PKB.

Bisa saja Jokowi akan berpasang­an dengan Suryadharma Ali atau Mahfud Md (bukan Muhaimin Is­kan­dar) atas desakan NU. Tetapi kemungkinan Muhaimin akan mela­kukan perlawanan. Maka kecende­rungan yang lebih nyata adalah koalisi PDIP-PPP mengusung Joko­wi-SDA, sama seperti Megawati-Hamzah Haz pada 2001-2004 lalu. Pengalaman kebersamaan 2001-2004 itu akan menjadi daya pendo­rong atas kecenderungan tersebut. Perihal ini, sumber Berita Indonesia menyatakan bahwa kecende­rung­an ini bukan isapan jempol. Sebab sudah ada lobi-lobi atas kemungkinan itu. Disebutkan, Ham­zah Haz sendiri telah ‘bergerilya’ melakukan pendekatan baik kepada Megawati maupun Jokowi.

Kendati sebagian pihak meragu­kan chemistry koalisi PDIP-PPP tersebut, jika dilihat dari perbedaan ideologi kedua partai tersebut. PDIP berasas dan berpegang teguh pada ideologi Pancasila dan nasionalisme (kebangsaan). Sementara PPP bera­sas Islam dan religius (Islam). Na­mun, dari sisi lain, ada pihak yang tidak melihat perbedaan asas kedua partai tersebut secara hitam putih. Sebab, kendati PDIP nasionalis bukan berarti tidak religius. Demiki­an pula PPP, kendati religius bukan berarti tidak nasionalis. Maka, jus­tru lebih melihat perbedaan itu dari sudut pandang kebhinneka tunggal ikaan dan realitas keindonesiaan. Apalagi, kendati PPP berasas Islam, tetapi telah dengan tegas menyata­kan Pancasila sebagai ideologi nega­ra yang sudah bersifat final. Selain itu, Sekjen PPP M Roma­hur­muziy menyatakan PPP sudah berpenga­laman berkoalisi dengan PDIP. Dia melihat duat Jokowi-SDA akan lebih menstabilkan politik nasional.

Di samping itu, SDA pun dengan yakin telah menerima pencapresan­nya (Capres atau Cawapres) dengan memilih jargon: Merah Putih, Bisa! Jargon ini dinilai orang-orang yang mulai mengendus adanya pende­kat­an koalisi PDIP-PPP sebagai sinyal yang kuat untuk memperte­mu­kan kedua partai tersebut, un­tuk: Bukan Indonesiaku atau Indo­ne­siamu, tetapi Indonesia Kita; Bukan Merah Putihku atau Merah Putihmu, tetapi Merah Putih Kita! Sementara, PDIP sendiri meng­usung jargon: Indonesia Hebat! Bukankah itu sinyal yang kuat akan kecende­rungan terjadinya koalisi ideologis Pancasila dan Islam, kebangsaan dan religius, dalam keberagaman yang bhinneka tunggal ika dari dua partai politik tersebut? Indonesia Hebat dan Merah Putih, Bisa!

Apa yang dikemukakan di atas adalah fakta-fakta kecenderungan, belum menjadi fakta kenyataan. Artikel ini juga tidak menjustifikasi siapa di antara para bakal Capres dan Cawapres yang telah digadang-gadang tersebut yang bersosok negarawan. Rekam jejak mereka masing-masinglah yang membukti­kan (menyatakan) apakah mereka pemimpin politik yang negarawan atau tidak. Dan, pilihan, ada di tangan setiap orang secara bebas dan rahasia! Catatan: Ch. Robin Simanullang | Diterbitkan sebagai Berita Utama Majalah BERINDO (Berita Indonesia) Edisi 92 |

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

 

Tokoh Terkait: Aburizal Bakrie, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, Din Syamsuddin, Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Irman Gusman, Jimly Asshiddiqie, Joko Widodo, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Prabowo Subianto, Puan Maharani, Surya Paloh, Suryadharma Ali, Sutiyoso, Yusril Ihza Mahendra, | Kategori: Opini – CATATAN KILAS | Tags: Negarawan, Cawapres, Capres, pemilu, Pileg, Pilpres

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini