Anak Nakal Tak Butuh Barak
Karakter Tumbuh dari Kepercayaan, Bukan Ketakutan

Mereka disebut nakal. Tapi jarang ada yang bertanya kenapa. Anak-anak itu lahir dari ruang-ruang retak — keluarga yang tak utuh, sekolah yang tak mendengar, lingkungan yang hanya menilai. Lalu negara datang, bukan membawa pendampingan, tapi barak. Bukan ruang pulang, tapi ruang perintah. Ironinya, untuk membentuk karakter, kita justru memilih menertibkan, bukan memahami.
Dedi Mulyadi bukan nama asing di jagat kepemimpinan daerah. Ia bicara lugas, bergerak cepat, dan sering menawarkan solusi yang — dalam pandangan banyak orang — langsung dan “berani”. Ketika ia menggulirkan kebijakan mengirim siswa bermasalah ke barak militer, tidak sedikit yang menyambut dengan lega. Di tengah kecemasan akan kenakalan remaja, tawuran, dan hilangnya sopan santun, barak tampak seperti jawaban sederhana untuk masalah yang rumit. Tapi apakah ini benar-benar solusi? Atau hanya cara lama yang dibungkus ulang?
Seorang ibu di Karawang pernah berkata pada kami, “Anak saya itu bukan anak nakal. Dia cuma capek, dan saya juga capek. Tapi kalau dikirim ke barak, saya takut dia makin jauh dari saya.” Ada banyak orang tua seperti dia — terjepit antara kelelahan dan harapan. Dan di situlah pertanyaannya bermula: jika yang dibutuhkan adalah ruang pemulihan, mengapa justru yang diberikan adalah barak?
Barak militer menjanjikan disiplin. Tapi pendidikan tidak sekadar soal ketertiban, melainkan tentang pertumbuhan — dan pertumbuhan tidak bisa dipaksa. Saya teringat cerita Pak Yus, guru matematika di sebuah SMP di Subang. Ia pernah menangani murid bernama Rino (bukan nama sebenarnya), yang kerap terlibat tawuran. Di mata sekolah, Rino adalah masalah. Tapi saat Pak Yus berbicara dari hati ke hati, terkuaklah cerita lain: Rino tinggal bersama nenek yang sakit, sementara orang tuanya bekerja di luar negeri. Ia harus mengurus adik, belajar sendirian, dan menanggung sepi dalam diam. Ketika marah, yang muncul bukan niat jahat — melainkan letupan dari tekanan yang tak tertampung. Rino tidak butuh barak. Ia butuh teman bicara. Dan seperti Rino, banyak anak yang “nakal” bukan karena ingin merusak, tapi karena tidak tahu bagaimana menyalurkan rasa.
Pernah seorang anak di program konseling sekolah berkata lirih, “Saya nggak nakal. Saya cuma pengin ada yang dengar.” Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tapi di baliknya tersimpan jeritan yang terlalu sering dilabeli sebagai gangguan.
Mengirim anak ke barak mengubah makna pendidikan dari ruang belajar menjadi ruang perintah. Ketika pendekatan militer diterapkan, anak-anak tidak sedang diajak berpikir, melainkan diperintahkan untuk taat. Ketakutan menjadi sarana, bukan kesadaran. Padahal, jika kita jujur, anak-anak tidak tumbuh karena ditekan. Mereka tumbuh karena diberi ruang, karena merasa dilihat, karena tahu ada yang percaya bahwa mereka bisa lebih baik. Pendidikan bukan tentang bagaimana membuat mereka patuh sekarang juga, tetapi bagaimana menemani mereka bertumbuh, sedikit demi sedikit.
Kebijakan ini menyisakan kekhawatiran yang lebih dalam: apakah negara mulai menyerah pada kompleksitas remaja? Apakah kita kini lebih memilih menertibkan daripada mendampingi? Mendidik anak itu seperti merawat tanaman. Ada yang tumbuh cepat di bawah sinar penuh, ada yang justru mekar pelan di tempat teduh. Tak semua bisa diperlakukan sama. Dan tak ada cara untuk mempercepat proses tumbuh selain menyiramnya dengan konsistensi dan kesabaran. Menempatkan anak ke barak militer, berharap ia langsung “beres”, ibarat menarik paksa tanaman agar tumbuh lebih tinggi — yang terjadi bukan pertumbuhan, tapi patah.
Untuk melihat lebih jernih perbedaan mendasar antara pendekatan militeristik dan pendekatan yang berbasis pemahaman, mari kita bandingkan secara ringkas:
Pendekatan Militeristik vs Pendekatan Pemahaman dalam Pendidikan Anak Bermasalah
Aspek | Pendekatan Militeristik | Pendekatan Pemahaman |
Tujuan utama | Menciptakan ketertiban & kepatuhan cepat | Mendorong pertumbuhan dan kesadaran |
Metode | Disiplin keras, perintah satu arah | Konseling, dialog, pembinaan relasional |
Relasi anak–pendidik | Hierarkis (komando) | Setara (pendampingan) |
Efek jangka pendek | Efek jera, penyesuaian perilaku luar | Rasa didengar, mulai membuka diri |
Efek jangka panjang | Potensi trauma, ketundukan semu | Pemulihan, transformasi pribadi |
Akar masalah disentuh? | Tidak (simptomatis) | Ya (psikologis, sosial, struktural) |
Peran komunitas | Dikesampingkan | Diaktifkan dan diperkuat |
Risiko | Normalisasi kekerasan simbolik | Proses lebih lambat, butuh kesabaran |
Melalui perbandingan ini, kita bisa melihat bahwa apa yang tampak efektif di permukaan belum tentu menyentuh akar persoalan. Dan dalam pendidikan, yang dibutuhkan bukan reaksi cepat, tapi pemulihan yang utuh.
Realitasnya, banyak anak yang disebut “bermasalah” datang dari latar belakang yang rumit — keluarga yang tercerai, lingkungan yang keras, sekolah yang hanya menilai, bukan membimbing. Bila ketimpangan itu tidak disembuhkan, maka barak hanya akan menjadi ruang penampung, bukan ruang pembentuk.
Bayangkan jika setiap anak bermasalah diberi kesempatan untuk bercerita di ruang yang aman. Ada guru yang tak sekadar memberi nilai, tapi memberi waktu. Ada tetangga yang tidak mencibir, tapi menampung. Ada orang tua yang tak hanya memerintah, tapi mendengar. Apakah semuanya akan berhasil? Mungkin tidak. Tapi bukankah esensi pendidikan adalah itu: menyediakan kesempatan, bukan jaminan?
Dan kini, mari kita tanya diri sendiri: apakah kita benar-benar percaya bahwa karakter bisa dibangun lewat ketegasan tanpa pengertian? Apakah, jika itu terjadi pada anak kita sendiri — bukan di layar berita — masihkah kita menganggap barak adalah tempat belajar?
Di banyak daerah, pendekatan berbasis komunitas telah dilakukan. Di Jogja, ada program sekolah damai yang melibatkan guru, orang tua, hingga pemuka agama. Anak-anak tidak langsung dijauhi. Mereka diajak bicara, diberi ruang untuk menuliskan kisah hidup mereka. Banyak yang berubah bukan karena takut dihukum, tapi karena merasa dihargai. Karena merasa punya tempat pulang.
Mendidik, pada akhirnya, bukan soal kontrol. Tapi soal kehadiran. Soal ketekunan. Soal kepercayaan bahwa anak, seberapapun kelam masa lalunya, tetap punya masa depan. Kita bisa memahami niat baik di balik kebijakan ini. Kita bisa mengerti kegelisahan yang melatarinya. Tapi pendidikan bukan proyek penertiban. Ia adalah kerja jangka panjang, sunyi, dan seringkali tak langsung terlihat hasilnya.
Dan anak-anak kita bukan prajurit. Mereka bukan objek yang harus dikendalikan dengan sistem komando. Mereka manusia muda yang sedang mencari bentuk — dan karena itu, perlu diberi ruang untuk keliru, agar bisa belajar memahami benar. Barak bisa menciptakan ketertiban. Tapi pendidikan harus lebih dari itu: ia harus menciptakan kesadaran. Dan untuk itu, kita butuh keberanian — bukan untuk bersikap keras, tapi untuk bersikap lembut, justru di saat dunia menuntut sebaliknya. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)