Gaji Guru Beban Negara, Gaji DPR Fasilitas Negara
Ketika Kepekaan Tak Masuk Anggaran

Seorang guru honorer menulis di papan tulis dengan kapur yang patah. Di tempat lain, seorang anggota DPR membubuhkan tanda tangan atas tunjangan rumah senilai lima puluh juta rupiah per bulan. Yang satu disebut beban negara, yang lain disebut fasilitas negara.
Dari ruang kelas yang masih bergantung pada iuran orang tua, kabar dari gedung parlemen itu terdengar asing. Guru honorer yang belum tentu digaji tepat waktu membaca berita tentang tunjangan perumahan baru yang diberikan sebagai bentuk efisiensi. Sementara hak mereka diperdebatkan, hak wakil rakyat berjalan tanpa hambatan.
Publik bukan hanya bereaksi pada jumlah. Tapi juga pada cara pandang. Ketika guru menuntut kesejahteraan, negara bicara keterbatasan fiskal. Tapi saat anggota DPR menambah tunjangan, tidak terdengar alasan serupa.
Menteri Keuangan pernah berkata: “Haruskah semuanya ditanggung negara?” Tapi pertanyaan itu tak pernah ditujukan kepada mereka yang duduk di kursi empuk ruang sidang. Hanya kepada mereka yang menjaga ruang kelas tetap berjalan.
Mungkin di meja anggaran negara, semua terlihat sebagai angka. Tapi di ruang kelas, itu adalah soal kebutuhan dasar. Gaji guru dianggap pengeluaran yang harus ditekan. Tunjangan DPR dipandang sebagai bagian dari hak kelembagaan.
Beberapa pihak menjelaskan bahwa tunjangan itu bukan kenaikan gaji. Bahwa angkanya menggantikan rumah dinas yang tidak digunakan. Bahwa ini bentuk efisiensi. Penjelasan itu bisa dipahami. Tapi wajar bila publik bertanya: mengapa efisiensi lebih dulu diberikan kepada mereka yang fasilitasnya sudah mapan?
Sebagian besar guru, terutama honorer, hidup dalam keterbatasan yang nyata. Tidak ada tunjangan perumahan, tidak ada kendaraan dinas, tidak ada biaya komunikasi. Yang ada hanyalah tanggung jawab yang terus bertambah, sering kali tanpa dukungan memadai.
Di sisi lain, tunjangan anggota DPR terus bertambah. Jika dihitung seluruhnya, dari gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan komunikasi, hingga tunjangan rumah, total yang diterima bisa melampaui seratus juta rupiah per bulan. Sementara itu, rerata gaji guru honorer di banyak daerah masih di kisaran satu sampai dua juta rupiah.
Masalahnya bukan semata pada selisih nominal. Tapi pada logika penganggaran. Guru diminta memenuhi banyak syarat untuk mendapat tunjangan: dari sertifikasi, pelatihan daring, hingga evaluasi berkala. Sedangkan tunjangan untuk anggota DPR tidak diikat oleh indikator kinerja yang terbuka.
Produktivitas legislasi tak sebanding dengan fasilitas yang diberikan. Dalam setahun masa sidang, target rancangan undang-undang sering tak tercapai. Kehadiran sidang tak selalu penuh. Tapi tidak ada pembicaraan soal penyesuaian tunjangan.
Lalu, siapa sebenarnya yang mewakili siapa?
Wakil rakyat seharusnya membawa suara mereka yang tidak terdengar. Tapi jika tuntutan yang datang dari bawah dijawab dengan perhitungan fiskal, dan permintaan dari atas diterima tanpa diskusi panjang, maka keberpihakan itu layak dipertanyakan.
Pendidikan tidak menuntut sorotan. Ia bekerja seperti akar: sunyi tapi menopang. Tapi justru karena itu, pendidikan sering kalah dalam pembagian perhatian. Tak ada peresmian besar ketika guru honorer naik status. Tak ada tumpengan ketika ruang kelas diperbaiki gotong royong.
Padahal konstitusi sudah memberi garis tegas: pendidikan adalah hak dasar. Pasal 31 UUD 1945 menyatakannya. Negara wajib menanggung. Tapi realitasnya, negara justru mempertanyakan apakah gaji guru dan dosen harus terus dibayarkan dari APBN. Sebuah pertanyaan yang tidak muncul ketika berbicara tentang tunjangan pejabat.
Masyarakat tidak berharap semua seragam. Tapi mereka berharap ada keadilan. Jika negara belum bisa memberi cukup untuk semua, paling tidak ada kejelasan tentang siapa yang didahulukan. Dan alasan apa yang digunakan.
Dalam sejarah republik ini, guru dan pejabat negara pernah duduk sejajar: sama-sama memikul beban negara. Kini, jalan itu tampak makin bercabang. Yang satu masih menambal atap kelas dengan dana pribadi, yang lain memperluas tunjangan dengan dalih efisiensi birokrasi.
Mungkin sudah saatnya kita membicarakan kembali soal kelayakan. Bukan dalam arti kemewahan, tapi dalam pengertian yang lebih sederhana: proporsional, masuk akal, dan adil. Fasilitas untuk pejabat publik bukan sesuatu yang salah. Tapi akan jadi soal jika terus tumbuh tanpa ukuran kinerja dan tanpa kesadaran situasi.
Jika guru terus diminta bersabar, dan DPR terus menambah kenyamanan, maka yang sedang dipertaruhkan bukan hanya kredibilitas anggaran, tapi juga kepercayaan publik.
Dan jika guru masih dianggap beban, sementara wakil rakyat terus diberi ruang untuk menambah fasilitasnya, mungkin yang perlu ditinjau ulang bukan laporan keuangan melainkan kepekaan dan tanggung jawab. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)
Tulisan ini menggarisbawahi perbedaan cara pandang negara dalam memperlakukan profesi. Ketika tunjangan pejabat disetujui dengan cepat, sementara kesejahteraan guru terus tertunda, publik wajar mempertanyakan arah prioritas anggaran. Ini bukan sekadar soal jumlah, tapi soal konsistensi logika kebijakan. Jika keadilan anggaran ingin dipercaya, maka standar yang digunakan harus bisa diterima akal sehat, bukan hanya aturan administratif.