MBG: Narasi Hebat, Gaji Telat

Di tengah gegap gempita pujian terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG) – dari klaim Prabowo soal minat dunia hingga data Luhut yang menyebut dampaknya luar biasa – muncul ironi yang mengusik nalar: ribuan kepala dapur dan petugas lapangan belum digaji selama tiga bulan. Inilah wajah kontras MBG: narasi hebat yang melaju cepat, tapi gaji telat yang belum juga terkejar.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan yang paling cepat dieksekusi pasca Pilpres 2024. Sebagai janji kampanye Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, MBG dirancang untuk mengatasi stunting, malnutrisi, dan membangun generasi muda yang lebih sehat. Kini, program ini menjadi sorotan publik – bukan hanya karena dampaknya yang diklaim besar, tetapi juga karena realita di lapangan, dinamika politik, dan narasi yang menyertainya.
Presiden Prabowo baru-baru ini mengungkapkan bahwa sejumlah pemimpin negara asing telah mengirim surat menyatakan ketertarikan mereka untuk mempelajari MBG. “Saya terima surat-surat dari pimpinan dunia. Mereka bahkan mau belajar dari kita. Banyak kunjungan dari pimpinan negara lain, dan mereka bilang salah satu yang mereka ingin pelajari adalah makan bergizi. Padahal kita baru mulai,” kata Prabowo dalam salah satu pidatonya. Ia juga menambahkan bahwa meskipun MBG sudah menjangkau 38 provinsi dan dua juta penerima manfaat dalam waktu tiga bulan, dirinya belum sepenuhnya puas karena masih banyak masyarakat di pelosok yang belum terjangkau. “Kalau saya ke desa, banyak orang tua bilang belum terima makan bergizi. Ini mengusik hati saya,” ujarnya. Ia pun meminta Kepala Badan Gizi Nasional dan jajarannya mencari cara kreatif untuk mempercepat distribusi, termasuk memanfaatkan pendekatan hybrid agar tidak ada anak yang tertinggal.
Sementara itu, Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan keterkejutannya terhadap hasil kajian awal mengenai dampak MBG terhadap ekonomi nasional. Dalam sidang kabinet, Luhut menyampaikan bahwa dirinya dan banyak pihak “terperangah” melihat data yang disampaikan oleh Profesor Arief Anshory Yusuf, ahli kemiskinan dari Indonesia. Kajian tersebut menyebut bahwa MBG berpotensi menciptakan hingga 1,9 juta lapangan kerja dan menurunkan angka kemiskinan hingga 5,8 persen jika diimplementasikan secara menyeluruh dan optimal. “Teman-teman bayangin aja, kalau satu keluarga punya tiga anak, per bulan bisa dapat bantuan hingga Rp600.000. Ini sangat besar dampaknya,” katanya. Ia juga menekankan bahwa surplus produksi telur dan daging ayam selama dua dekade terakhir kini dapat diserap melalui MBG, yang pada akhirnya akan menggerakkan ekonomi nasional dari sektor hulu ke hilir.
Namun, di balik sorak-sorai politik dan pujian internasional itu, terdapat satu fakta yang menghantam nalar: ribuan kepala dapur, ahli gizi, dan pendamping program belum menerima gaji selama tiga bulan. Orang-orang yang justru menopang logistik utama program ini, mereka yang memasak, mendata, dan mengawasi pelaksanaan di lapangan, bekerja tanpa kepastian hak dasar. Ironi ini tak hanya menyentil manajemen kebijakan, tapi juga membuka ruang besar bagi publik untuk meragukan integritas narasi keberhasilan yang terus dibangun dari atas.
Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, mengakui keterlambatan tersebut dan menyebut masalah administratif sebagai penyebab. Para Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) belum terdaftar resmi sebagai PPPK, sehingga dana yang sudah dialokasikan tidak dapat digunakan. Solusi sementara pun dikebut: membayar mereka melalui skema Surat Perintah Membayar Langsung (SPML) dari pos belanja Jasa Lainnya. Dadan Hindayana berjanji gaji akan cair sebelum Lebaran. Tapi janji itu datang setelah keluhan para petugas viral di media sosial dan memancing keprihatinan publik. Seandainya tak viral, apakah janji itu akan muncul?
Inilah wajah lain dari “politik persepsi” yang menyelimuti MBG. Di panggung utama, program ini dikemas sebagai gerakan revolusioner yang membuat dunia terkesima. Tapi di dapur tempat ia disiapkan, para pekerjanya justru bertahan tanpa upah. Narasi-narasi yang dibangun tampak lebih cepat bergerak daripada distribusi honor atau transparansi anggaran. Dan ini bukan sekadar persoalan teknis atau administratif – ini persoalan tentang bagaimana kekuasaan lebih memilih membangun citra sebelum menyelesaikan dasar pelaksanaannya.
Politik persepsi selalu bekerja dalam dua arah: membentuk harapan dan menutup celah kritik. Saat pemerintah meyakinkan publik bahwa MBG adalah solusi luar biasa, publik pun mulai menaruh ekspektasi tinggi. Tapi ketika ekspektasi itu tidak disertai bukti lapangan, yang lahir bukan kepercayaan, melainkan kekecewaan yang mengendap. Dalam jangka panjang, persepsi yang dibangun tanpa fondasi nyata hanya akan merusak legitimasi kebijakan.
Apakah MBG bisa berhasil? Sangat mungkin. Apakah ini program yang perlu didukung? Tentu. Tapi keberhasilan sejati tidak datang dari podium atau kunjungan diplomatik, melainkan dari kesejahteraan para pelaksana di lapangan dan keberlanjutan yang realistis. Tidak cukup hanya menciptakan narasi, pemerintah harus mampu menjawab: mengapa orang yang memasak untuk anak-anak bangsa, justru harus menunggu tiga bulan untuk mendapat upahnya?
MBG adalah kebijakan yang punya potensi kuat, tapi masih jauh dari sempurna. Dan jika ingin menjadi warisan kebijakan yang benar-benar berdampak, maka harus dimulai dengan satu hal sederhana: berhenti memperbesar panggung, dan mulai memperhatikan dapur. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)
Tabel Fakta tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Aspek | Fakta |
Nama Program | Makan Bergizi Gratis (MBG) |
Penggagas | Prabowo Subianto & Gibran Rakabuming Raka (Janji Kampanye Pilpres 2024) |
Tujuan Utama | Mengatasi stunting, malnutrisi, meningkatkan kualitas gizi anak-anak sekolah dan kelompok rentan. |
Pelaksana | Badan Gizi Nasional (BGN) |
Cakupan Awal | 38 Provinsi, lebih dari 2 juta penerima manfaat dalam 3 bulan pertama |
Target Jangka Pendek | 3 juta penerima manfaat pada kuartal pertama 2025 |
Klaim Internasional | Presiden Prabowo menyebut banyak negara mengirim surat ingin mempelajari MBG |
Dampak Ekonomi (Klaim) | Potensi menciptakan 1,9 juta lapangan kerja dan menurunkan kemiskinan hingga 5,8% (berdasarkan kajian awal DEN/Prof. Arief Anshory Yusuf) |
Isu di Lapangan | Ribuan kepala dapur, ahli gizi, dan pendamping belum menerima gaji selama tiga bulan |
Masalah Administrasi | Status SPPI belum PPPK sehingga pembayaran gaji tertunda; solusi dengan skema Surat Perintah Membayar Langsung (SPML) |
Tantangan | Distribusi belum merata, isu keracunan makanan, standar gizi belum konsisten di semua daerah, pembiayaan jangka panjang yang belum terjamin |
Estimasi Anggaran | Rp 71 triliun untuk 6 bulan (Januari–Juni 2025); diperkirakan butuh Rp 420 triliun untuk satu tahun penuh |
Pusat Data Tokoh Indonesia, Maret 2025