Ngopi Santun: Siapa Sebenarnya yang Omon-omon?

 
0
51
Siapa sebenarnya yang omon-omon?

Dialog ini sepenuhnya imajinatif. Bila Anda tersinggung, mungkin karena merasa mirip. Bila Anda tertawa, berarti demokrasi masih hidup. Dan bila Anda bingung siapa sebenarnya yang santun dan siapa yang ‘omon-omon’ – ya, selamat datang di dunia politik Indonesia.

Di sebuah kursi taman duduk dua orang karib yang menjadi pejabat negara. Di sisi kanan, duduk Bowo – tokoh flamboyan dengan gaya blak-blakan, dikenal suka berseloroh tapi sering mengandung peluru tajam. Di sebelahnya, duduk Uhut – setia dengan batik gelap dan gestur diplomatnya, yang belakangan ini gencar mengampanyekan pentingnya kesantunan, meskipun arsip internet tak selalu mendukung.

Suasana taman terasa seperti jeda dari hiruk-pikuk politik. Bunga-bunga kamboja bermekaran di sudut-sudut jalan setapak, dan bangku-bangku kosong memberi ruang bagi percakapan tanpa interupsi. Tak ada kamera, tak ada juru bicara – hanya dua tokoh besar yang sejenak melepaskan jabatan mereka, mencoba memahami satu sama lain lewat bahasa yang kadang santun, kadang tajam.

(Lokasi: Sebuah taman tidak jauh dari kantor kepresidenan)

Uhut
(duduk tegak, nada diplomatik)
“Pak, saya kira ini momentum bagus. Usai Ramadan, kita harus dorong budaya santun. Demokrasi yang sehat itu tidak hanya memberi ruang kritik, tapi juga mendorong penyampaian yang beradab.”
Bowo
(mengangkat alis, menatap tajam seperti mau rekrut pasukan)
“Uhut… Uhut… kamu ngomong santun, tapi kamu sendiri pernah bilang ke aktivis: ‘Kau yang gelap!’ Terus ada juga tuh kalimat mujarabmu: ‘Kalau mau perfect, di surga aja sana!’”
Uhut
(menarik napas panjang, berusaha tenang)
“Itu ekspresi spontan, Pak. Tapi prinsipnya saya tetap percaya, santun itu perekat bangsa. Rakyat butuh pemimpin yang menyejukkan.”
Bowo
(mengaduk kopi sambil menahan tawa)
“Uhut… kamu tahu sendiri saya ini orang blak-blakan. Tapi saya tidak pernah berpura-pura. Saya pernah bilang, banyak pemimpin itu tampilnya santun, tapi penuh kebohongan. Saya lebih suka orang jujur tapi keras, daripada manis di luar, busuk di dalam.”
Uhut
(mencoba menegakkan posisi)
“Saya juga jujur, Pak. Tapi jujur itu bisa disampaikan dengan cara yang tidak menyakitkan. Kita ini pemimpin. Rakyat menilai bukan cuma isi ucapan, tapi cara kita menyampaikannya. Kata-kata kita itu dicatat sejarah, dijadikan meme, dikritisi buzzer.”
Bowo
(sambil menyesap kopi dengan ekspresi sarkastik)
“Tapi lihatlah, kadang yang paling nyakitin justru yang paling santun ucapannya. Kamu pernah dengar saya bilang ‘biar anjing menggonggong, kita maju terus’, kan? Saya bukan menyindir rakyat, tapi menyindir mereka yang pura-pura suci, sok tahu, tapi tidak membangun.”
Uhut
(gelisah, menyeka keringat yang tidak ada)
“Saya setuju kita harus tegas, tapi tetap beretika. Kalau semua bicara seperti Pak Bowo, nanti suasana politik kita makin gaduh.”
Bowo
(nada berubah serius)
“Justru politik gaduh itu muncul karena terlalu banyak topeng. Kita butuh transparansi. Saya bisa keras, tapi saya tak pernah main dua muka. Saya tak pernah pakai kata ‘santun’ untuk menutupi kesalahan.”
Uhut
(suara melembut, namun tegas)
“Tapi publik sekarang mudah menilai. Saat saya bicara soal kesantunan, banyak yang anggap saya munafik karena rekam jejak saya. Dan saat Bapak menyindir yang tampil santun, publik merasa Bapak sengaja membenarkan gaya kasar.”
Bowo
(menatap lurus, nada mantap)
“Itulah realitas politik kita. Tapi saya tahu satu hal, Uhut. Kita boleh beda pandangan, tapi satu prinsip yang harus kita pegang: jangan jadi pemimpin yang palsu. Kalau mau santun, ya santun betulan. Kalau mau keras, ya keras yang jujur.”
Uhut
(mengangguk perlahan, seperti baru selesai menelan kebenaran yang pahit)
“Saya terima itu, Pak. Tapi satu lagi, barangkali kita perlu lebih sering mengingatkan diri: pemimpin dinilai bukan hanya dari pidatonya, tapi juga dari tindakannya. Kalau kita bicara soal santun, kita harus jadi contoh – bukan sekadar omon-omon.”
Bowo
(mengangkat cangkir kopi, nada penutup)
“Ya saya tahu itu. Dan saya percaya, rakyat kita bukan hanya butuh pemimpin yang bisa bicara halus, tapi yang juga berani bicara apa adanya, dan tetap bertanggung jawab atas setiap kata.”


Refleksi Redaksi:

Percakapan ini hanyalah fiksi. Namun substansinya mengajak kita merenung. Antara kesantunan dan kejujuran, antara etika dan keberanian berkata benar – di sanalah dilema kepemimpinan diuji. Rakyat Indonesia layak mendapatkan pemimpin yang tidak hanya tampil santun di depan kamera, tetapi juga jujur, konsisten, dan bijak dalam tindakan (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini