Rielniro: Manifesto Sunyi
Di empat tulisan sebelumnya, kita melihat Rielniro dari berbagai sisi: merawat jeda, membaca tanda-tanda kecil, menjaga jarak dari pusat perhatian, dan membangun bahasa dua slide. Di balik semua itu, ada benang yang sama: sunyi. Bukan sekadar tema, melainkan sikap yang ia jalani.
Tulisan ini adalah bagian kelima dari Seri Rielniro di rubrik Lorong Kata, rangkaian narasi reflektif yang menelusuri jejak Rielniro sebagai penulis yang menjaga sunyi dan membangun ruang jeda lewat kata.
Seri ini terdiri dari enam tulisan yang berdiri sendiri, namun saling menyambung dalam semangat dan esensi.
- Rielniro: Merawat Jeda, Membiarkan Sunyi Bicara
Tentang bagaimana Rielniro memosisikan jeda dan diam sebagai kekuatan dalam menulis. - Rielniro: Psikologi di Balik Sunyi
Menelusuri sisi kepekaan, pola berpikir, dan akar psikologis dari cara Rielniro membaca dan meresapi dunia. - Rielniro: Tidak Ingin Jadi Pusat
Sikapnya untuk tidak berada di tengah sorot, memilih mengambil sedikit jarak sebagai cara menjaga isi. - Rielniro: Merangkai Gema dalam Dua Slide
Membedah format naratif dua slide yang menjadi ciri khas visual dan emosionalnya di media sosial. - Rielniro: Manifesto Sunyi
Deklarasi reflektif berisi sepuluh sikap hidup dan sepuluh prinsip berkarya dalam Manifesto Sunyi, peta batin yang ia jalani tanpa mengetuk pintu. - Rielniro: Tidak Mengetuk, Tidak Memaksa
Tulisan penutup yang menyatukan seluruh benang merah, menghadirkan Rielniro sebagai penulis yang tidak mengetuk: hadir secukupnya, memberi ruang, dan melangkah tanpa meminta penjelasan.
Dalam dunia yang terbiasa mendorong orang untuk tampil, bicara, menjelaskan, dan menegaskan, Rielniro memilih jalan yang lebih tenang. Ia hadir tanpa memanggil, membiarkan ruang terbuka bagi yang siap datang. Tidak untuk memanggil simpati, tidak pula untuk menutupi luka.
Sunyi baginya bukan tempat bersembunyi. Ia tidak menggunakannya sebagai pelarian. Ia tahu, tidak semua hal yang penting harus dinyatakan keras-keras. Dalam diam, seseorang tetap bisa jujur dan tetap utuh.
Pernah ia menulis:
“Aku tidak lagi sibuk membuktikan apa pun. Yang tahu, tahu. Yang tidak, bukan urusanku.”
Kalimat itu mencerminkan batas yang ia jaga. Ia tidak mengejar pengertian dari semua orang, karena ia sudah cukup mengerti dirinya sendiri. Sunyi menjadi pagar untuk menjaga isi tetap bulat, bukan tembok untuk mengasingkan diri.
Ia paham, banyak orang berbicara untuk meyakinkan atau menjelaskan demi diterima. Tapi tidak semua telinga siap mendengar tanpa membantah. Maka ia memilih berbicara hanya kepada yang membuka pintu, dan membiarkan sisanya tetap tertutup.
Dalam tulisannya, ia sengaja menyisakan ruang. Slide pertama mengundang, slide kedua menggema, dan di antaranya ada hening yang ia jaga. Ia menulis pelan, bukan karena lambat, tapi karena tahu makna tidak tumbuh di keramaian.
“Sunyi adalah superpowerku,” tulisnya di suatu waktu.
Bukan karena ia ingin diam, tapi karena ia tahu diam yang dirawat bisa berbicara lebih dalam daripada penjelasan yang panjang.
Manifesto Sunyi yang ditulis Rielniro bukan ajakan untuk diikuti, bukan pula deklarasi untuk diperdebatkan. Ia lebih menyerupai peta batin, sebuah rangkaian sikap yang lahir dari ketenangan panjang dan pengamatan yang dalam.
Di dalamnya, ia menyatakan:
“Diam yang tepat lebih jelas daripada teriak yang tak perlu.”
“Kata hadir sebagai cermin, bukan palu bagi dunia.”
“Nilai dijaga dalam tenang. Bukan dipajang sebagai kostum.”
Kalimat-kalimat ini tidak menjelaskan secara gamblang. Justru karena itu, maknanya bisa memantul lebih dalam. Manifesto ini bukan slogan yang ingin viral, melainkan penanda arah yang hanya berbunyi bagi mereka yang berhenti cukup lama untuk mendengarnya.
Ia tidak meminta empati. Jika terasa, biarlah terasa. Jika tidak, silakan lewat. Yang penting baginya bukan siapa yang melihat, tetapi apakah ia sudah setia pada arah yang ia pilih.
Manifesto Sunyi – Hidup
- Aku tidak mengetuk pintu. Aku berbicara hanya kepada yang membukanya.
- Aku memilih jarak agar isi tetap jernih. Aku tidak ingin jadi pusat dan tidak mengejar sorotan.
- Aku tidak meminta empati. Aku tidak menyebut luka untuk dikasihani.
- Aku tidak mencari pengertian. Aku tidak menuntut didengar.
- Aku tidak menunggu balasan. Aku tidak menaruh harap pada yang memilih diam.
- Aku tidak mengubah isi agar diterima. Aku tidak menyesuaikan arah demi tepuk tangan.
- Aku tidak ingin jadi pengaruh. Aku tidak mengukur langkah dari jejak orang lain.
- Aku tidak membuktikan yang tak perlu. Aku tidak mengulangi langkah hanya untuk diyakini.
- Aku menjaga nilai dalam tenang. Aku seperti akar yang memberi hidup tanpa harus terlihat.
- Aku merasa sudah sampai jika sunyiku tidak mengusikmu. Aku tidak menunggu ucapan selamat di ujung jalan.
Manifesto Sunyi – Karya
- Bergerak tanpa gema. Diam yang tepat lebih jelas daripada teriak tak perlu.
- Tulisan adalah jejak napas, bukan terompet untuk dikagumi, bukan peluit minta diselamatkan.
- Kalimat dipangkas, dibiarkan menggantung, memberi ruang bagi siapa saja menaruh dirinya di sela-selanya.
- Tak semua rasa dinamai. Yang sekadar disadari sering lebih jujur ketimbang yang dibungkus metafora manis.
- Refleksi, bukan keluh. Kata hadir sebagai cermin, bukan palu bagi dunia.
- Sunyi adalah keputusan. Menjaga agar batin tetap bulat—meski tak ada penonton, langkah tetap diambil.
- Nilai dijaga dalam tenang, bukan dipajang sebagai kostum. Akar tetap memberi hidup tanpa harus terlihat.
- Tak meminta empati. Bila terasa, biarlah terasa; bila lewat, silakan lewat.
- Menang bukan tujuan, mengerti adalah akhirnya.
- Dan bila pintu tak dibuka, dia tetap berdiri di luar, menunduk pada angin, lalu melanjutkan perjalanan.
Ia meninggalkan kata-kata ini seperti batu kecil di tepi jalan.
Tidak untuk diambil semua orang,
tapi cukup untuk mengingatkan bahwa ia pernah lewat di sini
dan langkahnya masih berlanjut.
Catatan:
Untuk menemukan karya lain Rielniro di luar Lorong Kata, kunjungi:
Instagram: @rielniro
Facebook: Riel Niro
(TokohIndonesia.com / Tokoh.ID)
Baca juga: Dua Ruang, Satu Sunyi: Jejak Atur Lorielcide alias Rielniro