Untuk Apa Datang, Jika Tak Ada yang Berubah?
Ketika wakil presiden hadir, tapi tak berdaya.
Ia datang. Duduk. Mendengar. Lalu pergi. Itu saja yang diingat dari kehadirannya.
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah berkunjung ke banyak tempat. Ia menemui pelaku UMKM, petani, guru, anak muda, sopir ojek online. Ia hadir di lapangan, menyerap keluhan, mencatat persoalan. Tapi setelah itu? Tak banyak yang bisa diingat publik kecuali dokumentasi visual. Masalah tetap di tempatnya. Solusi tak jelas datangnya. Yang tertinggal hanya kesan: pemimpin muda yang rajin keliling, tapi tak membawa perubahan.
Publik menyebutnya “kosong”, bukan karena ia tak bicara, tapi karena yang dibicarakan tak menjawab. Ketika ditanya, ia sering memberi jawaban yang melenceng, dilempar ke staf, atau malah tidak menjawab sama sekali. Seolah-olah posisi wapres hanya tempat singgah sebelum rapat, bukan ruang untuk memimpin.
Blusukan, dalam tradisi politik Indonesia, pernah menjadi simbol keberpihakan. Tapi simbol, jika terus diulang tanpa isi, lama-lama kehilangan makna. Ia jadi rutinitas kosong: hadir, mencatat, lalu hilang dari ingatan. Ketika Gibran bertemu dengan pengemudi ojek online, publik berharap ada perubahan nyata. Tapi yang muncul adalah kecurigaan: mengapa sebagian “driver” yang hadir justru lebih mirip buzzer? Ketika ia bicara hilirisasi kemenyan, warga lokal bertanya-tanya: apakah ia tahu bahwa hilirisasi itu sudah lama terjadi tanpa perlu disebut lagi? Ketika ia menggagas kurikulum AI, publik justru melihat ironi: sekolah belum punya listrik, guru belum siap, tapi anak-anak diminta belajar AI. Dan ketika ia menyampaikan monolog tentang masa depan, rakyat tak melihat visi, tapi strategi pencitraan.
Di Tangerang, seorang warga menyampaikan langsung keluhan soal Kartu Indonesia Sehat. Ia bercerita bahwa keluarganya kesulitan mengakses layanan terapi stroke karena masalah KIS. Gibran menjawab cepat: “Udah kita tindak lanjuti. Aman.” Tapi setelah itu, tak ada cerita lanjutan.
Politik bukan panggung jalan-jalan. Ia menuntut arah, keberanian mengambil keputusan, dan tanggung jawab atas dampaknya. Kehadiran yang tak membawa hasil akan selalu dibaca sebagai formalitas, bukan kepemimpinan.
Dalam sejarah pemerintahan kita, jabatan wapres memang kerap terjebak di antara status simbolik dan peran substantif. Dari era Soeharto hingga Reformasi, para wapres silih berganti menghadapi kendala serupa: dihormati, tapi tak selalu diberi ruang untuk memutuskan. Bahkan tokoh sekelas Mohammad Hatta pun pernah menyatakan bahwa jabatan wakil presiden adalah ‘pekerjaan yang tidak jelas’, karena tidak punya kewenangan yang pasti dalam konstitusi.
Namun, di balik semua itu, ada pertanyaan yang lebih dalam: mungkinkah ini bukan hanya soal Gibran?
Sebab jabatan wakil presiden memang tidak dirancang untuk membuat keputusan. Ia tak memimpin kementerian, tak mengelola anggaran, dan tak bisa memaksa lembaga lain untuk mengikuti arahannya. Bahkan ketika hadir dalam rapat, suara wapres hanya sekuat niat presiden untuk mendengarkan. Maka jika publik belum melihat hasil, bisa jadi karena ruang untuk bertindak memang tidak pernah disediakan.
Itu terlihat jelas dalam Lapor Mas Wapres, kanal aduan yang dibuat untuk menampung keluhan masyarakat. Di atas kertas, inisiatif ini tampak progresif: warga bisa langsung menyampaikan masalah. Tapi dalam praktiknya, laporan-laporan itu harus diteruskan ke kementerian atau pemerintah daerah. Sebagian mendapat balasan, sebagian lain menunggu. Tak ada jaminan bahwa suara yang masuk akan diubah menjadi tindakan. Bahkan untuk perkara sederhana pun, jalurnya terlalu panjang dan wewenangnya terlalu sempit.
Dalam situasi semacam ini, publik sebenarnya dihadapkan pada dilema. Mereka tak bisa menggugat Gibran sepenuhnya, karena memang jabatan itu sendiri tak punya taring. Tapi di sisi lain, publik juga tak bisa terus-menerus diam terhadap kehadiran yang hanya jadi panggung. Maka yang dibutuhkan bukan hanya evaluasi pada pribadi, tapi juga pada sistem: mengapa jabatan setinggi wapres tak punya cukup alat untuk membuat dampak?
Maka kita dihadapkan pada satu kenyataan: Gibran bisa mendengar, tapi belum tentu bisa menjawab. Ia bisa mencatat, tapi belum tentu bisa memutuskan. Ia bisa mengunjungi banyak tempat, tapi belum tentu membawa hasil pulang.
Barangkali inilah mengapa kritik “kosong” terus muncul, bukan sekadar olok-olok, tapi cermin dari harapan yang tak terpenuhi. Sebab dalam dunia politik, rakyat tidak hanya menilai dari kata-kata atau wajah yang ramah. Mereka menilai dari apa yang berubah setelah seorang pemimpin datang.
Dan jika tidak ada yang berubah, mereka akan bertanya: untuk apa datang?
Sebab kehadiran tanpa perubahan akan selalu tampak seperti pencitraan, bukan kepemimpinan. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)