Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia
Ahmad Najib Burhani
Dalam orasi pengukuhannya sebagai Profesor Riset di bidang agama dan tradisi keagamaan, Ahmad Najib Burhani mengkritisi klaim toleransi Indonesia yang sering kali hanya berupa retorika. Ia menyoroti diskriminasi sistematis terhadap minoritas seperti Ahmadiyah, penghayat kepercayaan, dan komunitas Tionghoa, yang terjebak dalam narasi harmoni dan pluralisme semu. Ahmad Najib Burhani mengungkap bahwa di balik slogan keberagaman, ketidakadilan yang berpihak pada mayoritas masih mengakar kuat, sementara kelompok minoritas sering kali dipinggirkan atau dicap sesat. Melalui analisis tajam, dia menyoroti paradoks intoleransi yang kian mengakar dan menantang bangsa untuk mempertanyakan: apakah toleransi kita benar-benar nyata atau sekadar ilusi?
Baca Online: Pidato Pengukuhan Profesor Riset Ahmad Najib Burhani | Basic HTML
Pada tanggal 27 Agustus 2020, Ahmad Najib Burhani menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Agama, Kultur (In)Toleransi, dan Dilema Minoritas di Indonesia”, yang menyoroti kompleksitas persoalan minoritas dan keberagaman di Indonesia. Ia memulai orasi dengan menyebut bahwa menjadi minoritas di Indonesia sering kali identik dengan menghadapi dilema yang kompleks dan penuh tantangan.
Ahmad Najib Burhani menjelaskan bahwa istilah minoritas tidak selalu mengacu pada jumlah populasi. Lebih dari itu, minoritas mencerminkan posisi subordinat dalam masyarakat, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam konteks ini, ia mencontohkan komunitas Tionghoa di Indonesia yang menghadapi stigma politik: jika aktif dalam oposisi dianggap subversif, jika mendukung pemerintah dicap oportunis, dan jika menjauhi politik dianggap hanya peduli pada kepentingan ekonomi semata. “Ini adalah dilema simalakama yang terus mereka hadapi,” tegas Ahmad Najib Burhani.
Kasus serupa terjadi pada komunitas Ahmadiyah yang, meskipun mereka merasa bagian dari Islam, sering diminta untuk keluar dari agama tersebut agar mendapatkan perlindungan hak-hak keagamaan. “Bagaimana bisa pemimpin agama yang disebut moderat dan toleran memaksa Ahmadiyah untuk meninggalkan Islam, sementara mereka tidak pernah ingin melakukannya?” tanya Ahmad Najib Burhani retoris. Ia juga mengangkat kondisi penghayat kepercayaan dan agama leluhur yang selama bertahun-tahun menghadapi label “aliran sesat” atau “kelompok bermasalah”. Meski keputusan Mahkamah Konstitusi telah memperbolehkan pencantuman keyakinan mereka di KTP, implementasinya masih menghadapi tantangan besar.
Konsep Minoritas dalam Konteks Indonesia
Ahmad Najib Burhani mendalami definisi minoritas sebagai sebuah kerangka pikir yang tidak hanya merujuk pada statistik, tetapi lebih kepada kondisi sosial yang menempatkan mereka dalam posisi subordinat. Ia mengutip definisi Francesco Capotorti yang menyatakan bahwa minoritas adalah kelompok yang secara kuantitas lebih kecil, tidak dominan, tetapi memiliki karakteristik budaya, agama, atau bahasa yang berbeda, dan menunjukkan solidaritas untuk melestarikan identitas tersebut.
Dalam konteks globalisasi, diskriminasi terhadap minoritas justru mengalami paradoks. Globalisasi yang seharusnya mendorong keterbukaan dan kesadaran akan keberagaman, malah sering kali melahirkan eksklusivisme. “Semakin kita terhubung secara global, semakin kuat dorongan untuk melindungi identitas lokal, sering kali dengan cara-cara yang diskriminatif,” jelas Ahmad Najib Burhani. Ia juga menyebut bahwa ledakan informasi di era digital sering kali memperparah intoleransi melalui penyebaran hoaks yang menguatkan prasangka terhadap minoritas.
Problema Kultural dalam Diskriminasi
Intelektual kajian agama dan isu minoritas ini mengidentifikasi lima persoalan kultural utama yang menjadi akar diskriminasi/intoleransi terhadap minoritas:
- Tendensi Messianis (Messianic Tendency): Banyak kelompok mayoritas merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menyelamatkan minoritas dari “kesesatan”. Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, fatwa-fatwa yang dikeluarkan sering mengandung ajakan untuk membawa mereka kembali kepada Islam “yang haq”. Tendensi ini, kata Ahmad Najib Burhani, mencerminkan keyakinan bahwa minoritas tidak memiliki hak untuk menentukan jalan kepercayaannya sendiri.
- Kebajikan yang Salah (False Virtue): Tindakan kekerasan terhadap minoritas sering dianggap sebagai panggilan suci agama. “Mereka merasa apa yang mereka lakukan adalah jihad,” ungkap Ahmad Najib Burhani. Ia mencontohkan pernyataan seorang pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah yang menyebut bahwa tindakannya adalah bentuk syahid di jalan Allah.
- Narasi Eufemistik (Euphemistic Narrative): Istilah-istilah seperti “harmoni” atau “moderasi” sering digunakan untuk membenarkan tindakan diskriminasi. Ahmad Najib Burhani mencontohkan kasus Tanjung Balai, di mana umat Buddha dianggap sebagai “minoritas yang tidak tahu diri” karena membangun tempat ibadah yang tinggi, yang dianggap melampaui masjid di sekitarnya.
- Konstruksi Mental Konservatif: Banyak individu dan institusi mendukung atau mendiamkan diskriminasi dengan alasan melindungi keyakinan mayoritas. “Kelompok minoritas sering dianggap sebagai pengganggu ketenangan teologis mayoritas,” jelas Ahmad Najib Burhani.
- Pluralisme Terbatas (Delimited Pluralism): Di Indonesia, pluralisme hanya diterapkan pada enam agama yang diakui secara resmi. Hal ini menciptakan pengkelasan keagamaan, di mana kelompok seperti penghayat kepercayaan atau agama-agama leluhur tidak mendapatkan perlakuan setara.
Wawasan Teoretis: Relativitas Minoritas
Ahmad Najib Burhani menyampaikan bahwa minoritas bersifat relatif. “Seseorang bisa menjadi bagian dari mayoritas secara etnis, tetapi minoritas secara agama,” ungkapnya. Contohnya adalah seorang Katolik Jawa yang mayoritas secara budaya tetapi minoritas secara keagamaan. Ia juga menyoroti bahwa kebencian terhadap kelompok yang dianggap sesat sering kali lebih besar daripada terhadap kelompok yang berbeda agama sepenuhnya. Dalam kasus Ahmadiyah, mereka sering disebut sebagai “musuh dalam selimut” yang dianggap lebih berbahaya daripada kelompok agama lain.
Ia juga menjelaskan bahwa pandangan mengenai ortodoksi dan heterodoksi bersifat dinamis. Apa yang dianggap sesat pada satu masa bisa saja diakui sebagai ortodoksi pada masa yang lain. Sebagai contoh, gerakan Wahabisme yang dianggap ekstrem oleh beberapa kalangan, di Arab Saudi justru menjadi doktrin resmi.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Ahmad Najib Burhani menyimpulkan bahwa isu minoritas adalah cerminan ketidakadilan dalam masyarakat. Ia menyerukan empat pendekatan untuk mengatasi diskriminasi ini:
- Penekanan pada Hak Asasi Manusia: Hak-hak minoritas harus dipahami sebagai bagian dari hak-hak absolut yang tidak dapat dikurangi, bahkan dalam keadaan darurat.
- Kesetaraan Kewarganegaraan: Semua warga negara harus diperlakukan setara tanpa memandang agama atau etnis.
- Pendekatan Teologis: Sikap toleran terhadap minoritas memiliki landasan paradigmatik dalam agama, termasuk dalam Islam.
- Pendidikan Perdamaian: Pemerintah harus mengintegrasikan pendidikan toleransi dalam kurikulum nasional untuk membangun budaya saling menghormati.
Dalam penutupnya, Ahmad Najib Burhani mengingatkan bahwa negara memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan semua warganya, baik mayoritas maupun minoritas, dapat hidup secara setara dalam bingkai kewarganegaraan yang adil. “Kita tidak bisa mengklaim sebagai bangsa toleran jika masih ada kelompok yang tertindas karena keyakinannya,” tegasnya. (atur/TokohIndonesia.com)
Unduh: File PDF Pidato Pengukuhan Profesor Riset Ahmad Najib Burhani