Mimpi Menuju Indonesia Emas yang Pancasilais

Oleh Sabar Martin Sirat[1]
Membangun Indonesia yang Demokratis Jujur dan Sangat Produktif Mensejahterakan Rakyat yang Berdaulat dan Melestarikan Lingkungan, Mungkinkah?
Dewasa ini manajemen negara dan pemerintahan bersifat menjajah rakyat yang seyogyanya bersifat berdaulat walaupun secara konstitusional sudah 78 tahun merdeka, namun 270 juta lebih rakyat yang secara administrasi dan hukum berdomisili di 74.961 desa dan di 8.908 kelurahan, diadministrasi lagi/drekapitulasi di 7.094 kecamatan, direkapitulasi lagi di 416 kabupaten dan 98 kota, direkapitulasi lagi di 38 provinsi dan 34 kementerian dan 160 lembaga non kementerian yang dikerjakan oleh 4.315.181 orang pegawai negeri/ASN yang sebagian besar disiplinnya rendah dan korupsi, minimal korupsi waktu.
Dengan kompetensi dan disiplin rendah yang mengandalkan sekolah, ijazah, gelar dan jabatan (bukan pendidikan) umumnya mereka tidak bersifat melayani rakyat dengan serius dan tanggap, apa yang bisa dikerjakan cepat ditunda-tunda, terdapat perilaku para birokrat “kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat”; tapi kalau disogok sangat bisa dipercepat.
Alam pikir dan budayanya petugas atau pejabat dimaksud merasa dibutuhkan, bukan bersifat wajib melayani dengan cepat dan tepat. Budaya kerja seperti inilah merupakan budaya yang bersifat menjajah rakyat. Walaupun sudah 78 tahun merdeka, namun rakyat kecil dan apalagi miskin belum sungguh-sungguh merdeka dan diedukasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, malah sesungguhnya masih bersifat terpecah-belah secara idiologis dan terjajah oleh organisasi negara dan pemerintahan karena perilaku mayoritas ASN-nya sangat KKN dan bersifat menjajah, sekali lagi bersifat menjajah.
Lebih 90 persen pejabat negara dan pemerintahan bertindak sebagai penguasa dan sama sekali bukan bersifat mengedukasi dan melayani rakyat yang secara konstitusional dinyatakan berdaulat. Pola dan sistem rekrutmen ASN dan semua pejabat negara dan pemerintahan bersifat KKN & sogok menyogok, sehingga hampir semua pegawai negeri/ASN berupaya mendapat uang sogok alias uang haram, berlomba merebut jabatan, membangun kekuasaan dan memperkaya diri, sama sekali tidak bersifat melayani rakyat yang berdaulat.
Banyak sekali komponen bangsa dan negara ini yang bersifat menjajah dengan membangun kekuasaan formal administratif, merampok hak-hak rakyat dan bersifat sangat merusak lingkungan. Tuhan memerintahkan agar manusia menguasai dan memelihara bumi atau alam ciptaan nya, namun dalam kenyataannya hampir semua pejabat Indonesia kolusi dan korupsi bersama oligarkhi dan pengusaha jasa dan barang serta bersifat menjajah rakyat secara berpola dan bersistem yang mengakibatkan NKRI sangat rusak lingkungannya, sangat lambat majunya, dan masih bantak sekali rakyat yang tidak hidup nyaman dan sejahtera.
Mengapa hal ini terjadi?
Mari kita soroti secara cermat rancang bangun dan realita organisasi negara dan pemerintahan yang sejak awal direkayasa oleh rezim orde baru yang melembaga dan membudaya hingga saat ini. Pada awal orde baru berkuasa kita disuguhkan dengan konsep trilogi pembangunan: stabilitas-pertumbuhan-pemerataan.
Stabilitas dalam hal ini diterjemahkan bagaimana agar rezim Suharto harus menang mayoritas dalam setiap pemilu legislatif di semua tingkat agar bisa berkuasa seumur hidup, maka diciptakanlah sistem pemilu yang harus menjamin kemenangan golkar (golongan karya, waktu itu bukan partai) dan memberi kursi parlemen sangat minim kepada dua partai : PDI & PPP. Pemilu dikatakan bersifat rahasia, bebas, aktif, namun kenyataannya “bersifat rekayasa” karena hubungan golkar, pegawai negeri, ABRI (TMI-Polri) dan hampir semua ormas yang terbentuk dan dibentuk sesuai UU Keormasan “diarahkan” dan di hampir semua lembaga exekutif dipastikan memilih Golkar (pemungutan suara dilakukan di kantor kantor pemerintah bagi PNS) maka sangat aman dan leluasalah “keluarga besar cendana” dan kroni-kroninya sebagai penguasa tunggal “memperdagangkan kekuasaan, jabatan dan sumberdaya alam” (kekayaan mereka buanyaaak sekali).
Sejak zaman itu dibentuklah struktur politik & struktur birokrasi dengan fungsi-fungsi yang bertingkat-tingkat, sangat tumpang-tindih atau berlapis yang diisi oleh banyak orang untuk dapat memerintah dan menguasai rakyat sejak peralihan kekuasaan dari “orde lama ke orde baru stabil semu bukan stabil sungguhan. Bukan pula untuk membangun secara efektif dan efisien peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta kelestarian lingkungan sesuai pembukaan UUD 1945.
Sesungguhnya telah terjadi aneka protes dan unjuk rasa dari komponen masyarakat sipil seperti demo mahasiswa, demo buruh, peristiwa malari, petisi 50 dll, akan tetapi dengan mudah dilarang, dibungkam dan dipatahkan oleh “kekuasaan orde baru dengan aneka kroni-kroni dan jejaringnya yang akhirnya secara melembaga dan membudaya menghasilkan budaya KK yang sangat-sangat tidak produktif dalam mengedukasi, membangun, apalagi melayani rakyat”.
Dewasa ini hampir semua politisi-pejabat dan kroninya serta suplier jasa dan barang bersifat KKN dan secara bersama bersifat merampok APBN/APBD dan aneka jenis dana publik secara struktural dan fungsional. Reformasi 98 hanya berhasil mengganti rezim Suharto, UU Parpol dan dunia pers/media, akan tetapi dunia birokrasi dan budaya KKN sama sekali hampir belum tersentuh, lembaga lembaga hukum merupakan wadah berdagang jasa, pengaruh dan otoritas, bahkan bertambah berbagai institusi publik baru yang sesungguhnya fungsinya bersifat tumpang tindih dengan yang sudah ada.
Hal hal ini akan membuat NKRI akan terus bersifat lambat maju, kuat dan jaya, walaupun Presiden Jokowi yang telah memerintah hampir sembilan tahun, bekerja sangat keras & jujur dan sepanjang yang kami ketahui dan amati tidak meminta upeti/sogokan dari staf dan bawahannya dan dari pejabat pejabat yang diangkatnya, namun perlu kita kritisi bahwa beliau secara individual tidak mungkin mampu mencegah agar partai politik, para politisi, para menteri, pejabat ASN eselon 1 hingga eselon 5, dan para pejabat fungsional dari yang berpangkat jenderal hingga prajurit tidak KKN.
Sesungguhnya sangat mudah untuk melakukan pembuktian terbalik asal-usul kekayaan para ASN, akan tetapi seorang presiden yang sangat jujur tidak mungkin melakukannya sendiri, kecuali beliau dengan tim yang sangat solid, jujur, bersih dan berani bahkan harus sangat berani memerintah agar setiap koruptor dan pelanggar hukum berat langsung dipecat dan ditembak mati untuk membuat sebagian besar atau hampir semua aparat takut KKN.
Sejalan dengan itu sekaligus membangun “good and higly productive governance” yang tidak memperlambat dan menunda-nunda pelayanan rakyat yang berdaulat dan publik dalam manjemen negara dan pemerintahan di semua tingkat dan fungsi secara sungguhan sangat produktif mengedukasi, melayani dan membantu rakyat yang sungguh-sunguh berdaulat serta melestarikan lingkungan hidup secara baik dan benar.
Sebagai negara kesatuan yang berbentuk republik, organisasi negara dan pemerintahan harus dibangun tidak bertingkat tingkat, tidak tumpang-tindih struktural, fungsional dan teritorial, agar pola dan sistem APBN dan APBDtidak bersifat membelenggu pembangunan dan pelayanan rakyat. Dewasa ini 60 sampai 70 persen APBN dan APBD menjadi “overhead” organisasi negara dan pemerintahan yang sangat tumpang tindih dan yang juga dikorupsi rata-rata atau kurang lebih 15 persen oleh hampir 5 juta politisi, ASN/pejabat yang bertingkat-tingkat (yang birokrasinya 2) sampai 21 tingkat dari kepala desa hingga presiden) yang menghabiskan anggaran setiap tahun, yang tidak akan mensejahterakan rakyat banyak, menjamin lingkungan hidup lestari.
Seyogyanyalah APBN dan APBD itu bersifat signifikan memajukan Indonesia secara lokal (desa & kelurahan) dan otomatis secara nasional. Sebagai suatu pola dan sistem yang baik dan produktif, APBN dan APBD semestinya maksimal 35/40 persen untuk overhead negara & pemerintahan dan minimal 60/65 persen untuk kesejahteraan rakyat, pengadaan infrastruktur baru dan pelestarian lingkungan serta kepastian tata ruang. Juga jauh lebih baik dipisahkan secara explisit anggaran rutin dan anggaran pembangunan untuk mengukur produktivitas dan akuntabilitas setiap institusi.
Juga dalam rangka efisiensi, semua bentuk pertemuan kedinasan dilakukan di kantor dan fasilitas publik, dan dilarang di hotel-hotel dan tempat wisata; karena kerja itu sepenuhnya untuk melayani rakyat yang berdaulat bukan untuk bermewah mewah. Kalau mau hidup bermewah-mewah jadilah pengusaha, bukan ASN/pegawai negeri/pelayan rakyat. Semua perjalanan dinas dengan kelas ekonomi dan harus sangat selektif seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, perjalanan dinas bukan dalam rangka wisata apalagi leha-leha menggunakan anggaran yang bersumber dari pembayaran pajak rakyat.
Hai para pejabat nikmatilah pola hidup sederhana jangan hedonis agar anak cucumu juga hidup sederhana bukan penikmat kedagingan, namun bahagia dan berhasil. Kiranya masa pemerintahan Jokowi yang berasal dari keluarga sangat sederhana dan tinggal satu tahun lagi sebagai Presiden RI, masih bisa melakukan rekayasa organisasi exekutif pro rakyat yang berdaulat, sekaligus sejalan dengan perpindahan ibu kota negara dari Jakarta ke IKN Nusantara pada tgl 17 agustus 2024.
Kiranya legacy, legitimasi dan otoritas konstitusional yang dimiliki Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan berkenan melakukan “reformasi dan transformasi total organisasi dan model manajemen negara dan pemerintahan yang sama sekali tidak bertindih-tindih dan KKN yang akan dilanjutkan oleh Presiden ke 8 menuju Indonesia emas yang Pancasilais, cerdas dan maju, kuat dan damai sejahtera! Semoga!
Footnote:
[1] Sabar Martin Sirait, policy/program/project development, implementation & evaluation specialist. For more detail information, please do not hesitate to give me a call: 08128485955, WA: 087883897979. Kami memiliki tim kerja profesional yang kompeten & dijamin jujur menyusun proposal dan mensuvervisi pelaksanaan suatu atau aneka jenis “policy/program/project/bisnis yang meliputi 8 kriteria “feasibility” :1. Technicaly feasible 2. Financialy feasible 3. Marketingly feasible 4. Economicly feasible 5. Legaly feasible 6.socialy feasible 7. Environmentaly dan 8. Managerialy feasible. Menyatu dengan 8 hal di atas, kami merancang suatu model bernama “contextual framework” (terlampir) yang harus menjamin bahwa setiap penggunaan apbn/apbd & dana publik, harus menjamin dan terukur kontribusinya secara kwantitatif & kualitatif terhadap perbaikan kehidupan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup. Kami juga menyelenggarakan “special training/tailored education” tentang kurikulum ini bagi suatu lembaga atau komunitas sesuai kebutuhan.
