Pancasila, di Mana Kini Berada?

 
0
373

Pancasila, di Mana Kini Berada?

[TOPIK PILIHAN] – Pancasila Presiden (3) BJ Habibie: – TI 1/6/2011 | Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila? Di manakah Pancasila kini berada?

Pernyataan dan pertanyaan, atau tepatnya disebut instrospeksi reformasi itu, dikemukakan Presiden BJ Habibie dalam pidato Hari Lahirnya Pancasila yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/6/2011). Habibie berpidato sekitar 30 menit, tampil layaknya seorang negarawan. Dengan bersemangat dan berapi-api, Habibie yang tampil bernuansa Indonesia dengan mengenakan batik warna coklat dan peci hitam itu, menguraikan betapa sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi.

Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila? Di manakah Pancasila kini berada?

Secara khusus, hadirin berdiri dan bertepuk tangan (standing applause) seusai Presiden BJ Habibie menyampaikan pidato dengan berapi-api. Hadirin bahkan para pemirsa televisi amat terpukau dan ‘terbangun dari amnesia nasional’ atas Pancasila. Bahkan, Taufiq Kiemas berdiri dari kursi lalu menghampiri Habibie, menyalam dan mencium tangan Habibie, mantan Ketua Umum ICMI, Ikatan Cedndekiawan Muslim Indonesia, ormas yang lahir pada rezim Orde Baru namun berperan dalam proses pusaran politik Golkar yang berkoalisi dalam Poros Tengah dengan beberapa parpol berbasis Islam (PBB, PPP, PAN-PK), pada awal pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi, awal ‘disingkirkannya’ Pancasila.Ketua MPR Taufiq Kiemas, dan tiga Presiden RI yakni Prof. Dr. BJ Habibie (Presiden Ketiga), Megawati Soekarnoputri (Kelima) dan Susilo Bambang Yudhoyono (Keenam) bergiliran berpidato tentang Pancasila dalam acara Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 yang digelar oleh MPR di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu, 1 Juni 2011. Mereka mengajak segenap lapisan masyarakat untuk siuman dari ‘amnesia nasional’ atas Pancasila dan sekaligus merevitalisasi dan mereaktualisasikannya. Acara ‘instrospeksi reformasi’ itu juga dihadiri Wapres Boediono, mantan Wapres Try Sutrisno, Hamzah Haz dan Jusuf Kalla, Ibu Negara Ani Yudhoyono dan Ibu Herawati Boediono, serta sejumlah tokoh nasional, anggota MPR dan Kabinet Indonesia Bersatu itu.

Keempat pidato itu mendapat apresiasi luar biasa. Secara khusus, hadirin berdiri dan bertepuk tangan (standing applause) seusai Presiden BJ Habibie menyampaikan pidato dengan berapi-api. Hadirin bahkan para pemirsa televisi amat terpukau dan ‘terbangun dari amnesia nasional’ atas Pancasila. Bahkan, Taufiq Kiemas berdiri dari kursi lalu menghampiri Habibie, menyalam dan mencium tangan Habibie, mantan Ketua Umum ICMI, Ikatan Cedndekiawan Muslim Indonesia, ormas yang lahir pada rezim Orde Baru namun berperan dalam proses pusaran politik Golkar yang berkoalisi dalam Poros Tengah dengan beberapa parpol berbasis Islam (PBB, PPP, PAN-PK), pada awal pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi, awal ‘disingkirkannya’ Pancasila.

Berikut ini teks pidato lengkap Presiden BJ Habibie yang disampaikan dalam acara Hari Lahirnya Pancasila yang digelar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (1/6/2011).

Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.

Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Advertisement

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip dan dibahas, baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?

Para hadirin yang berbahagia!
Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah lenyap dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945, 66 tahun yang lalu, telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain: (1) Terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya; (2) Perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) Lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap manipulasi informasi dengan segala dampaknya.

Ketiga perubahan tersebut telah mendorong (pertama) terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelumberhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya amnesia nasional tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik.

Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai tidak Pancasilais atau anti Pancasila.

Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Para hadirin yang berbahagia!
Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini.

Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Demikian Presiden BJ Habibie.
Berita TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Tokoh Terkait: Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono, Taufiq Kiemas, | Kategori: Topik Pilihan – Pancasila | Tags: Pancasila

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini