Prof. Ciek Julyati: Karakter Tak Dibentuk oleh Angka, Tapi oleh Teladan

0
68
Prof. Ciek Julyati Hisyam
Prof. Ciek Julyati: Jika keluarga gagal menjadi tempat pembentukan karakter, dan jika teladan publik rusak, maka pendidikan nasional tidak punya pijakan.
Lama Membaca: 5 menit

Di tengah hiruk-pikuk sistem pendidikan nasional yang mengagungkan nilai ujian dan angka rapor, Prof. Dr. Ciek Julyati Hisyam mengingatkan bahwa karakter — bukan skor — adalah inti dari pendidikan. Dalam Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Ma’had Al-Zaytun, Indramayu, ia menegaskan bahwa karakter tak dibentuk di ruang kelas, melainkan tumbuh dari teladan yang ditanam sejak dini, terutama di dalam keluarga.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

“Pendidikan itu dimulai dari pendidikan keluarga,” ujarnya. “Kenapa? Karena keluarga itu adalah mereka yang membuat norma. Norma artinya adalah peraturan yang dibuat oleh kelompok masyarakat paling kecil.”

Bagi Guru Besar Tetap Universitas Negeri Jakarta ini, keluarga adalah sekolah pertama dan orang tua adalah guru pertama. Karakter anak tidak dibentuk oleh angka atau teori, tapi oleh keteladanan nyata yang hadir dalam keseharian—di rumah, di sekolah, dan di masyarakat.

Prof. Dr. Ciek Julyati Hisyam | Tokoh Sosiologi Hukum Indonesia | Karakter Tak Dibentuk oleh Angka

Namun, justru dalam hal ini pula Indonesia sedang menghadapi masalah serius: krisis keteladanan. Setelah menjelaskan peran keluarga, Prof. Ciek Julyati mengajak peserta menyadari bahwa bangsa ini mengalami kemunduran dalam hal role model. Ia menyebut, “Keteladanan saat ini sedang dipertontonkan di negara kita yang nggak bagus. Contoh, mohon maaf ya, tentang ijazah yang dipersoalkan. Kalau memang ada, tunjukkan saja, apa susahnya?”

Masalah ini, katanya, bukan soal administrasi semata, tetapi krisis nilai yang lebih dalam. Ia khawatir jika masyarakat menerima ketidakjelasan sebagai hal biasa. “Kita akan berkata, ‘Lah, presiden aja nggak pakai ijazah, kok kenapa kita harus lulus ijazah?’ Itu krisis keteladanan.”

Dengan latar belakang sebagai ahli sosiologi perilaku menyimpang dan pendidikan karakter, Prof. Ciek Julyati menilai bahwa keteladanan bukan sekadar etika personal, melainkan fondasi moral bangsa. Jika keluarga gagal menjadi tempat pembentukan karakter, dan jika teladan publik rusak, maka pendidikan nasional tidak punya pijakan.

Karena itulah, katanya, pendidikan karakter tidak bisa dimulai dari bangku universitas atau SMA. Ia harus dimulai dari rumah, bahkan dari ruang kecil bernama daycare.

“Pendidikan karakter pada saat sudah mahasiswa, itu sudah kadaluarsa,” ujarnya. “Harusnya dimulai dari PAUD atau daycare.”

Pesannya tak berhenti sebagai wacana. Ia menyambut baik saat mendengar bahwa di Al-Zaytun sudah tersedia fasilitas daycare yang terintegrasi dengan sistem pendidikan karakter. Bagi Prof. Ciek Julyati, ini bukan sekadar kemudahan fasilitas, tapi cerminan visi yang benar dalam memulai pembangunan bangsa. “Di daycare atau PAUD itulah ditanamkan nilai-nilai karakter penting,” tegasnya. Ia bahkan mengusulkan agar tenaga pengajar PAUD bukan hanya lulusan SMA, melainkan sarjana atau magister yang memahami pendidikan karakter.

Advertisement

Lebih dari sekadar nilai akademik, karakter menurut Prof. Ciek Julyati adalah hasil dari interaksi, kebiasaan, dan keteladanan yang konsisten. Ia menyebut nilai seperti jujur, tanggung jawab, disiplin, gotong royong, dan cinta tanah air sebagai fondasi bangsa yang sesungguhnya. Nilai-nilai ini tidak lahir dari hafalan, tetapi dari praktik nyata.

Maka ketika ia mengunjungi Al-Zaytun dan melihat anak-anak belajar bertani, beternak, hingga mengelola lingkungan secara langsung, ia merasa harapan itu nyata. “Saya kemarin diajak ke peternakan, ke pertanian. Luar biasa menurut saya. Ini sangat-sangat bagus,” katanya, kagum.

Ia menyebutkan secara khusus pengelolaan padi ratun — padi yang setelah dipanen batangnya tidak dicabut, melainkan dibiarkan tumbuh kembali. “Itu belum saya temukan di tempat lain. Kalau ini benar bisa panen tiga kali, harus masuk jurnal nasional dan internasional,” tegasnya. Meskipun kemudian dikoreksi bahwa baru satu kali panen, ia tetap melihat itu sebagai potensi besar yang belum dimaksimalkan oleh institusi pendidikan lain.

Apa yang dilakukan Al-Zaytun, dalam pandangan Prof. Ciek Julyati, adalah bentuk pendidikan karakter yang otentik. Anak tidak hanya diajari cinta Tanah Air secara teori, tapi diajak menanam tanah itu, merawatnya, dan mengambil hasilnya. “Jangan hanya tahu makan nasi, tapi tidak tahu bagaimana nasi itu ada. Di sini anak-anak tahu.a”

Pendidikan karakter, baginya, adalah proses yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ia menyebut bahwa pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus berjalan bersama. Ia mengkritik sistem pendidikan nasional yang seringkali berjalan sendiri-sendiri. “Sekolah jalan sendiri, keluarga jalan sendiri, masyarakat jalan sendiri.”

Padahal, lanjutnya, keluarga adalah pembentuk norma pertama. “Norma itu adalah peraturan yang dibuat oleh kelompok masyarakat paling kecil, yaitu keluarga. Maka rumah adalah sekolah pertama, dan orang tua adalah guru pertama.”

Ia menyinggung pengalaman pribadinya dalam menanamkan nilai kedisiplinan keuangan sejak anak usia sekolah dasar. Ia membiasakan anaknya menyusun laporan keuangan harian dari uang saku bulanan. “Kalau akhir bulan saya tanya: kamu beli apa? Kalau nggak ada kuitansi, nggak ada rembes.”

Kebiasaan kecil ini, menurutnya, adalah cara paling efektif menanamkan karakter jujur dan bertanggung jawab. Sama halnya dengan kebiasaan mencatat pengeluaran, meminta kuitansi, dan berbicara terbuka — semuanya adalah fondasi karakter yang tak bisa dibangun dengan ceramah.

Prof. Ciek Julyati Hisyam dan Suami
Prof. Ciek Julyati Hisyam didampingi suami tercinta saat menjadi pembicara di Al-Zaytun (Kamis, 1 Mei 2025)

Ia menekankan, jika nilai-nilai seperti ini tidak ditanam sejak dini, anak akan membentuk moral berdasarkan lingkungan sosialnya, bukan rumahnya. Maka karakter bisa rusak karena norma masyarakat yang buruk.

Al-Zaytun, menurutnya, memberi contoh berharga tentang bagaimana nilai karakter tidak hanya diajarkan, tapi ditanamkan lewat pola hidup. Ia menyebut konsep “universitas berbasis praktik” sebagai keunggulan Al-Zaytun yang langka.

“Kenapa tidak dibuat Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan? Karena di sini semua sudah ada—ayam, ikan, sapi, kerbau,” tanya Prof. Ciek Julyati. Mendengar itu, Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang menjelaskan bahwa dulu ada Universitas namun kemudian dibubarkan, dengan alasan yang tidak jelas. Mendengar penjelasan itu, Prof. Ciek Julyati mendorong agar Al-Zaytun kembali membangun basis akademik yang kuat. “Sayang sekali. Ini kan sudah university-minded,” katanya.

Dalam paparan ilmiahnya, Prof. Ciek Julyati mengutip teori Thomas Lickona yang menyebut pendidikan karakter memiliki tiga dimensi: moral knowing (pengetahuan), moral feeling (empati), dan moral action (tindakan). Pendidikan karakter yang berhasil harus menyentuh ketiga aspek ini.

Ia melihat bahwa pendidikan di Al-Zaytun menyentuh semua aspek tersebut. Anak-anak tahu apa itu gotong royong, mereka diajak merasakannya melalui praktik, dan akhirnya melakukannya sebagai bagian dari rutinitas.

Namun di luar sana, ia mengingatkan, banyak sekolah dan keluarga gagal membangun karakter karena terlalu fokus pada angka dan skor. Ia menyebutnya sebagai “krisis keteladanan”.

Ia mencontohkan bagaimana guru hari ini tertekan oleh aturan negara yang membatasi ruang mendidik. “Dulu kalau anak dijewer, orang tua tanya: ‘Yang kiri atau kanan?’ Sekarang? Langsung lapor polisi.”

Ketika guru tak lagi dihormati, ketika sekolah hanya menuntut kognisi, dan ketika keluarga menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada lembaga luar, karakter anak menjadi terbengkalai. Ia menambahkan, “Guru sekarang hanya sebagai pentransfer ilmu. Karakter? Seolah bukan tanggung jawab siapa-siapa—padahal justru teladan guru itulah yang paling berbekas.”

Prof. Ciek Julyati Hisyam Bicara di Al-Zaytun
Prof. Ciek Julyati Hisyam memaparkan soal karakter dengan slide presentasi yang disusun dengan apik

Di sinilah Al-Zaytun kembali menjadi pengecualian yang memberi harapan. “Di sini saya lihat integrasi antara rumah, sekolah, dan komunitas berjalan. Bahkan ada pertanian, peternakan, teknologi, semua digabung dalam sistem pendidikan yang menyatu,” katanya.

Tak hanya bicara norma, Prof. Ciek Julyati juga menyinggung teori labeling. Ia menyebut bagaimana label sosial bisa menghancurkan karakter seseorang, bahkan institusi. “Label itu diberikan oleh orang lain. Anak malas, dasar penjahat — itu bukan label yang dibuat sendiri.”

Ia menyayangkan bahwa Al-Zaytun pun menjadi korban dari pelabelan negatif yang terus-menerus diproduksi tanpa klarifikasi. “Saya bangga bisa ke sini. Saya ingin lihat langsung. Ternyata ini bagus. Tapi kenapa label itu terus melekat?”

Ia menilai, satu-satunya cara untuk mengubah label adalah menunjukkan karya nyata. “Mungkin kita kurang komunikasi. Harusnya Al-Zaytun memperluas komunikasi dan menggalang media agar masyarakat tahu.”

Dalam penutupnya, ia menyampaikan harapan agar pendidikan di Indonesia menempatkan karakter sebagai prioritas utama. Ia mengajak agar sekolah-sekolah lain belajar dari pendekatan holistik seperti yang dilakukan di Al-Zaytun.

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya,” ujarnya mengutip lirik lagu kebangsaan. “Kalau kita sibuk mengurusi label negatif, kita tidak akan sempat membangun. Kita harus terus maju.” (Atur/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments