Najwa Shihab: Legislasi Diam-diam dan Kekuasaan yang Mengembang
Wawancara Terbuka Presiden Prabowo dengan Tujuh Jurnalis

Najwa Shihab tidak sekadar bertanya, ia menggugat arah kekuasaan. Di hadapan Presiden, ia mempertanyakan proses legislasi yang kian menjauh dari rakyat, memperbesar kuasa aparat tanpa partisipasi bermakna. Dengan nada tenang namun tegas, Prabowo menjawab, menjanjikan perhatian, namun tak menjanjikan perubahan.
Dalam sesi ini, Najwa Shihab, pendiri Narasi, menyampaikan pertanyaan yang menggambarkan kegelisahan masyarakat sipil terhadap arah demokrasi dan praktik kekuasaan di pemerintahan saat ini. Ia menyoroti proses pembentukan sejumlah undang-undang yang dinilai terburu-buru dan tertutup, seperti RUU TNI, RUU Kejaksaan, dan RUU Penyiaran, serta memperingatkan bahwa publik nyaris tidak dilibatkan dalam proses yang akan berdampak luas terhadap kehidupan sipil.
Najwa Shihab mempertanyakan apakah Presiden Prabowo setuju dengan pelebaran kewenangan aparat yang terekam dalam draft RUU-RUU tersebut, atau justru menilai bahwa pengawasan dan pembatasan kekuasaan aparat adalah hal yang lebih mendesak. Ia mengajukan pertanyaan tegas:
“Apa pendapat Bapak sebagai Presiden dan pribadi? Apakah Bapak setuju polisi perlu diperluas kewenangannya, atau justru harus diperkuat pengawasannya dan dikurangi wewenangnya?”
Ia juga menyinggung dominasi koalisi pemerintah yang hampir 80 persen menguasai DPR, dan bertanya dengan nada retoris namun tajam:
“Kalau semua partai sepakat, bagaimana rakyat bisa menyeimbangkan kekuasaan?”
Presiden Prabowo menjawab dengan menyatakan bahwa semua proses legislasi tetap berlangsung melalui DPR, dan bahwa lembaga pengawasan seperti Kompolnas tetap berjalan. Ia menegaskan tidak ada niat untuk menutup ruang demokrasi. Namun, jawaban-jawaban yang diberikan cenderung normatif dan belum menunjukkan komitmen konkret terhadap transparansi legislasi atau pembukaan ruang partisipasi publik.
Di sisi lain, yang menonjol dari sesi ini bukan hanya jawaban presiden, melainkan dinamika dialog itu sendiri: Najwa Shihab bertanya tajam, menyela di tengah jawaban, dan menolak puas atas klarifikasi umum. Di sinilah demokrasi diuji: bukan pada hasil akhir, tapi pada cara kekuasaan merespons kritik yang sah.
📌 Disclaimer Redaksi
Wawancara ini merupakan bagian dari tayangan berdurasi panjang yang disiarkan di kanal YouTube Narasi Newsroom, berjudul “Presiden Prabowo Menjawab.” Total durasi wawancara mencapai 3 jam 26 menit, sehingga transkrip yang disajikan dalam tulisan ini merupakan versi yang telah ditata ulang agar lebih nyaman dibaca, tanpa mengubah substansi pernyataan.
Dalam proses penyuntingan, kalimat-kalimat panjang disusun ulang, pengulangan yang tidak esensial dihilangkan, serta tanda baca ditambahkan untuk memperjelas maksud. Namun, mengingat panjangnya durasi wawancara, tetap dimungkinkan ada bagian yang belum tertangkap secara utuh. Oleh karena itu, pembaca disarankan untuk menyimak langsung tayangan lengkapnya di kanal YouTube Narasi untuk memahami konteks secara menyeluruh.
Sesi 2 – Najwa Shihab: Legislasi, Kekuasaan, dan Bahaya Otoritarianisme
Najwa Shihab (Founder Narasi):
Terima kasih Bapak Presiden. Bapak, ada kekhawatiran dari masyarakat sipil, Pak, proses pembentukan undang-undang kita – proses legislasi – makin jauh dari rakyat, Pak. Tidak ada partisipasi publik yang bermakna, dan menjadi semakin krusial hari-hari ini, Pak, terutama karena kalau kita lihat daftar RUU yang akan segera dibahas di DPR: RUU Kepolisian, RUU Kejaksaan, hingga RUU Penyiaran, Pak Presiden. Dan dalam berbagai RUU ini tampak ada pola yang mirip: wewenang aparat negara diperbesar, warga negara diperkecil perannya.
Saya spesifik mau bertanya soal RUU Polri, Pak. Karena di situ tampak bahwa kewenangan kepolisian akan ditambah. Padahal justru isu krusialnya adalah pengawasan yang minim, dilihat dari berbagai abuse of power yang dilakukan oleh aparat – dari mulai kasus pelecehan seksual perwira, korupsi, hingga aksi kekerasan oleh aparat.
Saya ingin tahu pendapat Bapak sebagai Presiden. Pribadi Bapak setuju polisi perlu diperluas kewenangannya atau justru malah harus ditambah pengawasan dan wewenangnya diperkecil?
Presiden Prabowo Subianto:
Baik, saya jawab ya. Jadi, terima kasih. Ini akan saya perhatikan.
Saya memang percaya dengan sistem. Tadinya Menkopolhukam, habis itu Kapolri. Kan ada juga, kalau tidak salah, Kompolnas – oversight di atas Polri, ya kan? Itu juga terdiri dari tokoh-tokoh.
Kemudian kita juga punya sistem politik, bahwa semua undang-undang itu dibahas oleh semua partai politik yang dipilih oleh rakyat, kan? Jadi itu ya. Tapi terima kasih, masukan itu saya akan kasih perhatian khusus.
Sekarang mungkin alinea-alinea akan saya pelajari. Sebetulnya, tadinya saya anggap Undang-Undang TNI hanya masalah yang krusial itu penambahan usia pensiun – tiga pasal yang berubah. Yang lain kan tidak ada.
Najwa Shihab (menyela):
Tapi kita enggak tahu, Pak. Soalnya enggak pernah dibuka.
Presiden Prabowo:
Tapi kan dipelajari oleh semua partai, termasuk partai oposisi di luar pemerintah kita.
Najwa Shihab:
Tapi kembali ke itu, Pak. Karena prosesnya tidak transparan. Draf yang kerap kali tidak terbuka. Pertemuan-pertemuan bahkan sudah diketok pun belum dikasih tahu. Pertemuan-pertemuan bukan di lembaga DPR, tetapi di luar ruangan parlemen.
Presiden Prabowo:
Ya, maaf ya, tapi ini kan sudah berjalan belasan tahun. Anda paham kan, kadang-kadang orang itu istilahnya menyelesaikan suatu masalah itu kadang-kadang ada istilah “konsyir” – mereka kerja berapa hari tanpa berhenti. Tapi kuncinya, rakyat tidak mendapatkan akses. Itu bisa kita perbaiki.
Tapi kan ada beredar naskah-naskah ngarang. Karena naskah resminya tidak diberikan. Tapi Anda kan punya wakil rakyat, kan? Ada sekian ratus wakil rakyat, tidak semua di pemerintahan.
Najwa Shihab:
80% koalisi Bapak.
Presiden Prabowo:
Iya, 80%. Oke, tapi kalau mereka tidak setuju bagaimana?
Mari kita koreksi itu. Kalau tidak puas dengan transparansi, kita bikin transparan. Tapi jangan ngarang. Jangan ngaku bahwa ini draf. Orang kita saja – saya sendiri sebagai presiden – belum bikin surat ke DPR kok.
Najwa Shihab:
Tadi pertanyaan saya belum dijawab. Apakah Bapak sependapat bahwa polisi perlu ditambah kewenangannya?
Presiden Prabowo:
Saya akan pelajari draf itu. Tapi pada prinsipnya, polisi harus diberi wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya. Kalau sudah cukup, ya kenapa harus ditambah?
Tinggal kita menilai secara arif gradasi itu. Kalau polisi sudah diberi wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugasnya – untuk memberantas kriminalitas, penyelundupan, narkoba, dan melindungi masyarakat – saya kira cukup. Kenapa kita harus mencari-cari?
Najwa Shihab:
Tadi Bapak bilang sudah memperingatkan, dan akan mengambil tindakan kepada kepolisian. Ukurannya apa, Pak? Apa momen atau indikator yang membuat Bapak merasa ini waktunya ambil tindakan?
Presiden Prabowo:
Saya akan menilai apakah penyelundupan narkoba berkurang, apakah penyelundupan barang-barang terlarang berkurang. Itu yang saya sampaikan ke semua aparat penegak hukum. Narkoba harus kita perangi, sangat berbahaya. Penyelundupan membunuh pabrik-pabrik dan mengancam ratusan ribu rakyat.
Saya sudah sampaikan ini ke Kapolri, Jaksa Agung, Menkopolhukam. Termasuk fraud dan kongkalikong antara bankir dan pengusaha. Saya bilang: kalau temuan lembaga yudisial dan aparat penegak hukum valid, proses secara hukum.
Kami sudah mulai menyita 1 juta hektare lahan sawit bermasalah, akan mencapai 2 juta hektare. Ini laporan BPKP dan Jaksa Agung. Sebelum saya jadi presiden pun sudah ada laporan 3,7 juta hektare sawit bermasalah.
Saya kumpulkan ratusan perwira kepolisian. Saya bilang, “Saudara-saudara, ini masalah bangsa.” Narkoba dan penyelundupan harus diberantas. Yang berprestasi saya dorong dan beri penghargaan. Saya berpikir positif – kita perlu reinforcement yang positif juga.
Saya paham kekhawatiran masyarakat sipil, dan saya akan bicarakan ini dengan tokoh-tokoh koalisi agar semua RUU dibahas secara terbuka. Harus ada dengar pendapat, semua stakeholder diundang. Tapi juga, kita harus pastikan naskah yang sah diumumkan secara resmi, agar tidak muncul versi-versi liar.
Najwa Shihab:
Terima kasih Bapak Presiden. Jadi, titip RUU Polri ya, Pak. Karena kita semua berkepentingan punya polisi yang hebat sekaligus bisa diawasi. Itu kuncinya.
Presiden Prabowo:
Ya, dan itu juga berlaku untuk semua institusi. Jangan kita merasa imun terhadap bahaya-bahaya itu. Di Meksiko, bahkan presiden bisa dibeli kartel narkoba. Maka check and balance dan transparansi sangat penting. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Istilahnya, ya… ngeri-ngeri sedap.
📌 Catatan Redaksi – Sesi 2 (Najwa Shihab)
Sesi ini menjadi salah satu momen paling tajam dalam wawancara, saat suara kritis dari media mempertanyakan langsung arah kekuasaan dan ruang demokrasi di hadapan Presiden. Najwa Shihab menghidupkan kembali pertanyaan lama yang selalu relevan dalam demokrasi: sampai di mana kekuasaan boleh diperluas, dan siapa yang berhak mengawasinya? Dia mewakili suara publik yang gelisah terhadap proses legislasi yang tertutup dan kecenderungan negara memperbesar kontrolnya tanpa penjelasan terbuka.
Presiden Prabowo berusaha menjawab dengan hati-hati, namun tetap menyisakan ruang abu-abu – terutama soal komitmen membuka draf resmi, menjamin forum dengar pendapat, dan memastikan bahwa undang-undang tidak lahir dari ruang gelap kekuasaan. Sementara retorika check and balance diucapkan, komitmen struktural terhadap transparansi masih menunggu pembuktian.
(Redaksi TokohIndonesia.com)