Syaykh Panji Gumilang: Finishing Sprint Menuju Indonesia Emas
Seruan Visioner Membenahi Pendidikan Sebagai Jalan Peradaban Bangsa

Dengan gaya tutur khas yang memadukan sejarah, filosofi, dan ketegasan arah, Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang membuka Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 di Ma’had Al-Zaytun, Indramayu, sebagai figur sentral yang bukan hanya mengkritisi, tetapi juga menawarkan cetak biru sistem pendidikan nasional masa depan. Di hadapan lebih dari 2.000 peserta dari seluruh penjuru negeri, ia menyebut dua dekade menuju 2045 sebagai “finishing sprint” — fase terakhir dan paling menentukan dalam perlombaan sejarah menuju Indonesia Emas.
“Tatkala kita belajar lari cepat atau maraton, kita diberikan satu pelatihan untuk masuk kepada finishing sprint… Dan kita sebagai bangsa Indonesia ini sedang dalam perlombaan yang jangka waktunya dihitung per 100 tahun.”
Bagi Panji Gumilang, perjalanan menuju satu abad Indonesia merdeka bukan semata momentum perayaan, melainkan ujian paling serius: apakah bangsa ini benar-benar memiliki daya saing dan daya tahan peradaban. Untuk itu, pendidikan harus berdiri di garis depan — bukan ekonomi, bukan politik.
Ia menyampaikan ironi tajam: sejak merdeka pada 1945, Indonesia belum juga memiliki sistem pendidikan yang kokoh dan konsisten. Mengapa Jepang bisa bangkit dari kehancuran pascaperang sementara Indonesia masih tertatih? Jawabnya: karena Jepang telah memiliki basis pendidikan yang matang sebelum krisis. “Kita? Belum punya apa-apa,” ujarnya tanpa basa-basi.
Panji Gumilang juga menggambarkan betapa sistem pendidikan kita kerap berganti arah setiap kali kekuasaan berganti. Visi pendidikan tak pernah punya kesinambungan. Ia menggambarkannya dengan bahasa sederhana namun kuat:
“Hari ini, siapa memimpin, di otak itulah programnya.”
Ia menyoroti betapa ruwetnya proses administratif pendidikan: dari SD ke SMP, dari SMP ke SMA — semuanya berulang dan membingungkan. “Anak-anak Indonesia itu tidak pernah naik kelas. Selesai kelas 6, masuk kelas 1 lagi. Selesai SMP, daftar lagi. Sistem seperti ini tidak sehat.”
Sebagai jawaban, ia menawarkan solusi besar dan terukur: membangun 500 pusat pendidikan terpadu di seluruh Indonesia, masing-masing seluas 3.000 hektar, dengan sistem asrama, makanan bergizi tiga kali sehari, dan kurikulum terpadu dari kelas 1 hingga 15. Ia menyebut sistem ini akan menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan abad 21, terutama dalam bidang STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics).
“Kalau sistem ini sudah ditata, es no problema.”
Konsep ini bukan sekadar wacana, tetapi telah dijalankan di Al-Zaytun sebagai model laboratorium sosial-pendidikan. Ia menekankan bahwa pendidikan harus dibebaskan dari kepentingan sektoral, termasuk sektarianisme agama. “Jangan kelompokkan pendidikan dengan agama. Agama itu peradaban. Pendidikan itu kebangsaan,” tegasnya.
Panji Gumilang juga menegaskan bahwa Al-Zaytun tidak pernah menentang Pancasila. Bahkan, menurutnya, Al-Zaytun justru mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara utuh: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Ia menggugat balik mereka yang mudah mencurigai lembaga pendidikan berbasis spiritual sebagai anti-nasionalisme.
“Kami ini warga negara Indonesia. Kami bukan dari Arab. Kalau Pancasila itu dibuat orang Arab, mungkin kami ragu. Tapi ini buatan kita sendiri, kok malah diragukan?”
Baginya, Pancasila adalah jalan tengah, jalan kebangsaan, dan sekaligus jalan peradaban.
Di akhir pidatonya, Panji Gumilang memberikan penegasan paling mendasar:
“Kalau mau bangsa ini besar, jangan mulai dari politik. Mulailah dari pendidikan.”
Menurutnya, peradaban tidak dibangun di pusat kekuasaan, tetapi di pusat pembelajaran. Dan bangsa yang ingin besar, harus memulai dari fondasi paling hakiki: membentuk manusia.
Pidato pembukaan Panji Gumilang pada Simposium Hari Pendidikan Nasional 2025 bukan sekadar pembukaan, tapi deklarasi visi. Ia tidak datang dengan jargon normatif, tapi dengan sistem. Ia tidak menyuarakan nostalgia, tapi arah.
Dan arah itu, bagi Panji Gumilang, harus dipandu oleh pendidikan yang menyatu, membebaskan, dan memerdekakan.
Finishing sprint bukan soal siapa yang paling cepat—tetapi siapa yang paling paham arah.
(Atur/TokohIndonesia.com)