Buku Hidup Si Anak Desa

Subrata
 
0
627
Subrata
Subrata | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Subrata memang bukanlah satu-satunya anak desa yang berhasil menjadi ‘orang’. Tetapi kisah hidupnya pantas dicatat sebagai sebuah ‘buku hidup’ yang memancarkan pelajaran dan semangat bagi dirinya dan bagi banyak orang. Dia Si Anak Desa, putera dari K.Mukahar (ayah) dan Hj.Fasini (ibu), tinggal di desa Mayung, sebuah desa kecil yang berjarak kurang lebih 14 Km dari kota Cirebon.

Dia mengenal pendidikan di desa kelahirannya sendiri hanya sampai kelas tiga SD. Karena kelas 4 sampai kelas 6 belum ada di desanya, maka ia harus berjalan kaki ke kecamatan yang berjarak kira-kira 3 km dari desanya setiap hari. Sedangkan setelah SMP hingga SMA kelas dua, ia bersekolah ke Cirebon karena di kecamatan belum ada. Setelah kelas 3 SMA ia sengaja pindah ke Yogyakarta dengan maksud mengambil rayon agar bisa masuk ke Universitas Gajah Mada.

Ia memilih bersekolah di Yogyakarta karena ia menilai biaya hidup dan uang kuliah di sana relatif lebih murah dibandingkan dengan kota lain. Sebab saat itu (tahun 1960-1965) biaya kuliah di UGM hanya Rp. 240 per tahun.

Berangkat dari keluarga yang sangat sederhana dimana orang tuanya hanya buruh tani, dengan kondisi daerah yang juga tidak begitu surplus. Serta pengalaman masa kecilnya sebagai pengungsi yang harus berjalan kaki begitu jauh dari desa satu ke desa lain ketika penjajahan Nippon dan masa pergerakan DI/DII tahun 1948. Ditambah lagi dengan tanggung jawab moral sebagai anak laki-laki yang paling besar di keluarganya, (anak kedua dari 6 bersaudara, yang pertama perempuan) yang selalu diharapkan orang tuanya agar bisa lebih berhasil, akhirnya menggembleng dirinya menjadi seorang pekerja keras.

Syukurlah, walaupun ayahnya hanya bersekolah sampai kelas 3 (telu) sekolah rakyat (SR) dan ibunya hanya sekolah pesantren di desa itu juga, kedua orang tuanya sudah berpola-pikir jauh ke depan. Mereka selalu membimbing dan memperjuangkan agar anaknya terus sekolah dan belajar yang terbaik. Dengan prinsip, semampunya akan tetap memperjuangkan pendidikan anaknya sampai selesai, akhirnya ayahnya pun memberangkatkannya kuliah. Dan hasilnya, pada tahun 1965 dia berhasil menggondol gelar Doktorandus (Drs) dari Fakultas Sosial Politik, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UGM, Yogyakarta. Ia menjadi sarjana pertama dari desanya.

Pria yang memegang prinsip ‘kejarlah ilmu sampai ke negeri Cina” ini, dalam mencari ilmu benar-benar seperti musafir yang kehausan di padang pasir. Tanpa mengenal lelah dan cukup, pada usianya yang sudah 63 tahun, ia masih kuliah mengambil Program Doktor Ilmu Hukum – Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Dan kini tengah menyusun disertasi yang berjudul: ‘Kajian Hukum Kejahatan Teknologi Informasi dalam Perspektif Perlindungan Intelectual Property Right (hak kekayaan intelektual)’. Dalam rangka itulah dia harus ke Luar Negeri untuk melakukan riset, seperti baru-baru ini dia baru kembali dari Amerika untuk riset di Rochester, Chicago, dan New York.

Disertasi tersebut dipilih karena dilihatnya di Indonesia ini belum ada hukum atau UU yang mengatur mengenai dunia cyber, misalnya mengenai kloning kartu kredit, digital signature dan sebagainya. Padahal, menurutnya, sudah banyak kejahatan yang terjadi di bidang itu tetapi belum tersentuh perundang-undangan.

Dalam menumbuhkan semangatnya agar belajar yang baik, ayahnya selalu memberikan pengajaran yang kadang, menurutnya saat itu sangat naif. “Ayah ini hanya buruh tani. Berangkat pagi pulang sore, begitu saja terus saban hari. Kalau dipikir apa sih yang dicari dalam hidup ini, kan cari uang. Tapi kalau kamu nanti tahu rahasianya, sebetulnya bukan kamu yang mencari uang tapi uang yang mencari kamu, asalkan tahu kuncinya yaitu dengan ilmu pengetahuan yang harus kamu mililki,” ucapnya mengutip perkataan ayahnya. Perkataan yang sampai sekarang betul-betul diresapinya.

Demikian juga halnya mengenai masalah warisan. Walaupun jumlahnya tidak seberapa, namun ketika itu merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suatu keluarga. Dalam hal ini pun ayahnya selalu mengatakan bahwa warisan bukan hanya harta yang ada pada keluarga tapi harta yang paling mahal adalah pengetahuan. Sebab pengetahuan sukar dirampok dan akan bermanfaat terus.

Menurut Sang Ayah, apalah artinya warisan keluarga seperti yang dimilikinya, yang hanya sebidang tanah dan dua ekor ternak, kalau dibagi juga tidak seberapa. Jadi warisan yang sebenarnya, menurut ayahnya, adalah ilmu pengetahuan dan berguna di tengah-tengah masyarakat. Sebagai anak bangsa, ayahnya berharap, anaknya bisa diterima oleh masyarakat dan bangsa ini. Dan hal itu bisa manakala belajar dengan sukses. Maka selain pengetahuan rohani atau pengetahuan agama, ayahnya juga selalu menanamkan kepadanya pengetahuan bermasyarakat.

Advertisement

Dalam menanamkan pengetahuan bermasyarakat, seperti agar terbiasa berhadapan dengan masyarakat banyak, ada satu cara dari ayahnya yang mungkin agak unik namun luar biasa. Pada usia yang masih anak-anak, dia sudah dibiasakan untuk bicara formal di depan orang banyak. Seperti apabila ada gawean, ayahnya selalu membawanya serta. Dia selalu dibiasakan untuk menanyakan pada yang punya gawean mengenai hajatan apa yang diselenggarakan, kalau menikahkan anak, nama anaknya siapa, nama menantunya siapa, dan sebagainya. Dan kalau khitanan, siapa nama anak yang khitanan, berapa umurnya dan sebagainya.

Dengan berbekal itu, pada saat acara pagelaran gamelan maupun wayang, oleh ayahnya, pagelaran disuruh berhenti dulu sebentar, kemudian ayahnya mengangkatnya ke atas meja atau panggung untuk memberikan kata sambutan mewakili tuan rumah. Dengan begitu ayahnya selalu memotivasinya untuk sanggup berhadapan bahkan berbicara dengan orang banyak termasuk di depan orang yang lebih dewasa darinya. Motivasi yang kemudian sangat memengaruhi mentalnya sampai sekarang.

Kenangan masa kecilnya ketika di desa itu selalu muncul terutama saat-saat keterlibatannya dalam suatu forum internasional, dimana dia selalu berpikir, ‘Anak desa bisa juga sampai di sini’. Dan ketika teringat masa di desa itu, kenangannya langsung pada ayah tercinta yang dipanggil Tuhan sebelum melihat keberhasilannya yang sudah bisa memenuhi harapan beliau. Ayahnya meninggal tepat seminggu sebelum dia berangkat ke Glasgow. Sedangkan ibunya masih sempat melihatnya berhasil yakni ketika dia sudah jadi Direktur TVRI, malah mereka masih sempat berangkat haji bersama.

Sebegitu melekatnya pengaruh kenangan kehidupan desa yang dinilainya merupakan kehidupan yang murni, dimana manusia selalu memanusiakan manusia, saling tolong menolong, gotong-royong, orang-orang tua selalu memerhatikan perkembangan anak-anaknya, kehidupan yang benar-benar membawa nuansa kesejukan. Suasana kehidupan yang kemudian membimbingnya dalam berlaku dan bertindak dalam kehidupannya.

Dengan dasar itu sehingga ayah dari Gitawati Setianingsih (wanita), Gangga Laksamana, Patria Laksamana, Clyde Laksamana, dan Hira Laksamana ini ingin menanamkannya kepada anak-anaknya. Maka memasuki tingkat pendidikan SMA, semua anak-anaknya selalu disekolahkannya di Cirebon. Dengan begitu dia berharap nuansa kehidupan desa tertanam pada jiwa anak-anaknya.

Namun setelah menyelesaikan SMA di sana, anak-anaknya dikuliahkannya di Jakrta dan sampai gelar master, anak-anaknya menimba ilmu di luar negeri (Amerika Serikat dan Australia). Ia tidak bermaksud gagah-gagahan, tapi di samping agar mendapat pendidikan yang lebih baik, juga dengan harapan agar anak-anaknya tersebut nantinya bisa bermasyarakat dengan baik terhadap semua lapisan masyarakat sebagaimana didikan orang tua dulu kepadanya.

Ia memang sangat menghormati dan mengasihi kedua orang tuanya sehingga dengan segala kemampuannya ia selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang tuanya bahkan selalu berusaha menyenangkan perasaan mereka. Maka selama pengembaraannya, pantang baginya mengabarkan kesulitannya. Menurutnya, haram hukumnya. Dalam hatinya, ayah ibunya sudah memberangkatkannya semampu mereka dan mendoakan dengan luar biasa, tidak pantas lagi dibebani dengan berita cengeng.

Sehingga kalaupun ia suatu ketika kekurangan sedikit biaya semasa mahasiswa dulu, dia menutupinya dengan mengamen. Sebagai pemain gitar juga tarling, bersama teman-teman mahasiswanya ia cukup percaya diri, apalagi ketika itu dia hafal ulang tahun kantor-kantor di Yogya sehingga ada event yang tepat bagi mereka ngamen di situ, termasuk di Malioboro dan sebagainya. Atur Lorielcide – Marjuka

Data Singkat
Subrata, Dirjen RTF (1983-1987) dan Dirjen PPG (1990-1997) / Buku Hidup Si Anak Desa | Ensiklopedi | UGM, Dirut, reporter, dirjen, staf ahli, tvri, Lemhannas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini