Dosen dan Novelis

Ashadi Siregar
 
0
673
Ashadi Siregar
Ashadi Siregar | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Ashadi Siregar pada tahun 1979 menerbitkan novelnya yang berjudul Jentera Lepas (1979) yang menceritakan nasib sebuah keluarga yang berkaitan dengan PKI sesudah peristiwa tahun 1965.

Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) Ashadi Siregar berpendapat, pengendalian penduduk Indonesia tetap menjadi agenda serius. Betapa akan semakin kompleksnya persoalan yang bakal menindih bangsa ini jika isu tentang kependudukan ditelantarkan dalam agenda pembangunan. Alasannya jelas, Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia-setelah China, India, dan Amerika Serikat (AS)-akan mengalami ketimpangan yang mengganggu stabilitas.

Memang ada pandangan yang mengatakan, penduduk dengan jumlah besar dapat saja merupakan kekuatan pembangunan. Anggapan seperti itu tentu saja bisa dibenarkan jika penduduknya diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang tinggi.

Negara dengan penduduk berkualitas seperti itu barangkali hanya AS (265 juta jiwa) dan Jepang (124 juta jiwa). Di kedua negara ini, penduduknya telah menjadi aset pertumbuhan ekonominya.

Sementara untuk kasus Indonesia, seiring dengan jumlah penduduknya yang terus meledak, sekaligus juga mengusung potensi ketidastabilan bangsa. Persoalannya, ternyata hanya sekitar 31 persen penduduknya yang berpendidikan sekolah menengah pertama (SMP) ke atas.

Atau sebaliknya, sebagian besar penduduknya hanya sampai tingkat sekolah dasar (SD), bahkan tidak pernah sekolah. Kecuali itu, penduduk negeri ini tergolong rendah dalam produktivitas, etos kerja, kreativitas, derajat kesehatan, dan lainnya (Buku Sumber untuk Advokasi KB, KR, Gender dan Pembangunan Kependudukan, 2003). e-ti/atur

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru

Penulis novel Cintaku di Kampus Biru, Drs. Ashadi Siregar, Sabtu (3/7), resmi pensiun sebagai dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM. Perayaan pensiun Bang Hadi, panggilan akrab Ashadi, dirayakan kolega, sahabat, dan para mantan mahasiswanya dengan menerbitkan buku Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru. Tak kurang dari nama-nama terkemuka ikut menyumbangkan pandangan tentang sosok Ashadi ke dalam buku setebal 374 halaman ini, seperti Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Daniel Dhakidae, Garin Nugroho, Emha Ainun Nadjib, dan Butet Kartaredjasa.

Ashadi Siregar, nama yang melegenda selama beberapa dasawarsa, Kamis (29/7) malam di Auditorium TVRI Pusat, Jakarta, benar-benar dikubak (dibedah) habis oleh kolega dan orang-orang yang pernah berguru kepadanya.

Dalam acara Bincang-bincang Malam bertajuk “Dari Kampus Biru Memperadabkan Publik” yang isinya adalah membedah buku Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru yang diluncurkan semalam, tiga nama sumber, Pemimpin Redaksi Prisma Daniel Dhakidae, Direktur Yayasan SET Garin Nugroho, dan budayawan Emha Ainun Nadjib, mengakui kehebatan Ashadi Siregar.

Advertisement

Dipandu anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, Dhaniel mengatakan sempat mempertanyakan kenapa pada judul buku ada kata penjaga akal sehat…, “Padahal pekerjaan kami dulu merusak akal sehat. Tak pernah bermimpi dan berniat menjaga akal sehat. Tidak terlalu percaya perguruan tinggi bisa membuat kami cerdas sehingga kami buat kurikulum sendiri berupa seminar-seminar.”

Garin, yang mengaku berkali-kali membaca novel Cintaku di Kampus Biru (1974) dan berkali-kali menonton filmnya, menilai sosok Ashadi sebagai simbol Punakawan yang menghidupkan sosok ke-jawa-an dengan cara-cara dia.

“Melihat Ashadi dari depan seperti Semar, dari belakang seperti sosok Bagong, dari kanan menyerupai Petruk, dan dari kiri seperti Gareng,” katanya melukiskan.

Emha juga mengaku banyak berguru kepada Ashadi. “Ashadi kebaikannya tidak ditampakkan kepada orang, tetapi orang yang harus mengejarnya,” katanya.

Menurut Emha, mempunyai kebanggaan tersendiri bisa bersama Ashadi. Kebanggaan yang sangat bersungguh-sungguh. Bangga atas kenyataan sejarah Ashadi Siregar dan keputusan-keputusan hidup beliau.

Sejumlah hadirin yang juga tokoh, ketika memberikan testimoni, juga mengakui Ashadi adalah guru kehidupan yang tidak menggurui. (NAL-Kompas Jumat, 30 Juli 2010)

**

Penulis novel Cintaku di Kampus Biru, Drs. Ashadi Siregar, Sabtu (3/7), resmi pensiun sebagai dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM. Perayaan pensiun Bang Hadi, panggilan akrab Ashadi, dirayakan kolega, sahabat, dan para mantan mahasiswanya dengan menerbitkan buku Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru. Tak kurang dari nama-nama terkemuka ikut menyumbangkan pandangan tentang sosok Ashadi ke dalam buku setebal 374 halaman ini, seperti Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Daniel Dhakidae, Garin Nugroho, Emha Ainun Nadjib, dan Butet Kartaredjasa.

Pemimpin Redaksi Media Indonesia, Saur Hutabarat, yang hadir dalam peluncuran dan diskusi buku tersebut, menyebutkan Ashadi bukanlah sosok yang tergiur dengan pragmatisme. Ashadi dikenal keras memegang pendirian. Ia juga dosen yang disipilin. “Sekalipun hidup berpindah-pindah untuk menghindari para penggemarnya, Ashadi selalu datang tepat waktu saat mengajar di kelas, memberi materi pelajaran yang telah dipersiapkan, dan menutup kelas juga sesuai jadwal. Ia tak pernah mangkir, pun tak pernah terlambat menyerahkan nilai ujian ke bagian pengajaran,” ujar Saur yang mengenal Ashadi sejak tahun 1974, saat menjadi mahasiswa Jurusan Publistik.

Di mata Saur, Ashadi merupakan sosok guru yang memiliki kemampuan mendengarkan masukan dari orang yang lebih muda. “Banyak guru memiliki kemampuan (intelektual), tapi tidak memiliki kemampuan dengan sabar mendengarkan keluhan dari anak muda,” kata Saur.

Meski mengetahui Ashadi tidak suka hal-hal yang berbau seremonial, apalagi merayakan hari pensiunnya dengan meluncurkan sebuah buku, Saur mempunyai alasan lain. Buku tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi kepada Ashadi yang memegang teguh pemikiran akal sehat dalam perkembangan jurnalistik di Indonesia. “Selama 40 tahun, pemikiran atas dasar akal sehat yang selalu dipegang Bang Ashadi. Kita tahu, keberanian bukan diukur melawan kekuasaan, tapi keberanian memegang akal sehat. Bangsa ini bukan hanya membutuhkan kecerdasan, tapi juga memerlukan orang yang memiliki akal sehat dan menjaga akal sehat itu,” tambah Saur.

Lain halnya yang disampaikan Rizal Malarangeng. Direktur Eksekutif Freedom Institute ini lebih menilai sosok Ashadi yang apa adanya. Bagi Rizal, Ashadi adalah dosen sekaligus mentor dan sahabat. “Dia memberi motivasi tanpa menggurui. Kalau berdebat dan tidak setuju pada satu gagasan, paling-paling dia hanya tertawa kecil yang agak sinis tanpa terkesan memusuhi dan merendahkan,” tutur Rizal.

Tidak hanya Saur dan Rizal yang berkesempatan menyampaikan testimoni tentang sosok Ashadi. Beberapa anak murid dan koleganya satu per satu berkesempatan menyampaikan pengalaman dan pandangan mereka tentang sosok Ashadi muda. Tak jarang, cerita lucu dan kelakuan aneh Ashadi menjadi bahan tertawaan para hadirin. Namun, di akhir cerita testimoni, mereka tetap menyelipkan kalimat, “Selamat ulang tahun, Bang!”

Ashadi Siregar lahir di Pematang Siantar, 3 Juli 1945. Ia menamatkan pendidikan dasar hingga SMA di Kalimantan dan lulus dari Jurusan Publistik Fisipol UGM tahun 1970. Empat tahun kemudian, Ashadi diangkat sebagai dosen tetap yang berstatus pegawai negeri hingga pensiun pada tahun ini. Selain dikenal sebagai novelis, ia juga dianggap sebagai pakar jurnalisme dan ilmu komunikasi meski hanya bergelar S-1. (Humas UGM/Gusti Grehenson) http://www.ugm.ac.id/new/?q=id/news/penulis-novel-cintaku-di-kampus-biru-pensiun

Data Singkat
Ashadi Siregar, Dosen dan Novelis / Dosen dan Novelis | Ensiklopedi | Dosen, Novelis, pemimpin redaksi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini