Eksekutif Berjiwa Pengamat
Kwik Kian Gie
[ENSIKLOPEDI] Analisisnya mengenai ekonomi selalu tajam. Menteri yang berjiwa pengamat ini, sebelumnya berprofesi manajer dan pengusaha. Namun tampaknya ia lebih pas sebagai pengamat. Lalu keaktifannya di Litbang PDIP telah mengantarkannya duduk di eksekutif sebagai Menko Ekonomi pada pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada pemeritahan Megawati. Eh, lagi-lagi ia memperlihatkan sosok sebagai seorang pengamat.
Pengamat ekonomi yang dibesarkan Harian KOMPAS ini tidak berubah dari habitatnya, kendati ia sudah dalam posisi eksekutif, pengambil keputusan, sebagai menteri. Ia sering melontarkan pendapat yang berbeda dari kebijaksanaan yang diputuskan kabinet atau pemerintah. Sering tampil sebagai pengamat melontarkan pendapat yang populer. Padahal ia adalah seorang eksekutif.
Akibatnya, tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong yang pada mulanya disebut The Dream Team itu menjadi terkesan amburadul. Tidak ada kordinasi. Ada yang berpendapat bahwa Menko Ekuin Dorodjatun Kuntjoro_Jakti tidak mampu memimpin timnya. Tapi sebagian lagi menyatakan bahwa Kwik lebih baik mengundurkan diri dan kembali kehabitatnya sebagai pengamat.
Kegaduhan tim ekonomi ini dimanfaatkan pula oleh kalangan politisi dan aktivis politik sebagai pintu masuk menyoroti lemahnya kepemimpinan Presiden Megawati. Ada juga yang memanfatkannya dengan menyarankan dilakukannya reshuffle kabinet sesegera mungkin. Tapi Megawati tampaknya telah belajar dari ringan tangannya Gus Dur mengganti menterinya. Sehingga selamatlah Kwik dan tim ekonomi Kabinet Gotong
Royong lainnya dari pemberhentian.
Kwik sendiri sudah mengalami pergantian dengan ‘dipaksa’ mundurnya dia dari jabatan Menko Ekuin oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Ia ‘dipaksa’ mundur setelah ia dibuat frustrasi seperti ditulis Suara Pembaruan edisi Jumat (11/8) mengutip sumbernya, “Pak Kwik sering tidak tahan menghadapi ulah para menteri, utamanya yang dekat dengan Presiden, karena mereka tidak pernah mau datang ke rapat-rapat koordinasi.” Mereka juga menilai bahwa Kwik lebi pas sebagai pengamat ketimbang jadi eksekutif, pengambil keputusan.
Hal yang sama hampir saja terjadi jika Kwik bukan kader PDIP dan jika Presiden Megawati menuruti keinginan para politisi dan pengamat. Hari ini mungkin Kwik tidak lagi sebagai eksekutif tapi sudah berkonsentrasi sebagai pengamat, dunia yang sangat dijiwainya.
Kwik lahir di Juwana, Jawa Tengah, 11 Januari 1935. Sebentar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kemudian putera seorang pengusaha hasil bumi bernama The Kwie Kie ini, berangkat kuliah ke Nederlandsche Economische Hogeschool, Rotterdam, Belanda. Di sana pula ia bertemu dengan Dirkje Johanna de Widt, gadis Rotterdam yang kemudian menjadi isterinya. Dua dari tiga anaknya juga lahir di kota itu.
Lulus dari Nederlandsche Economische Hogeschool pada 1963, ia tidak langsung pulang ke Indonesia, tetapi bekerja dulu sebagai asisten atase kebudayaan dan penerangan pada Kedutaan Besar RI di Den Haag. Namun pekerjaan itu hanya dilakoninya setahun. Selanjutnya, ia menjadi direktur NV Handelsonderneming IPILO, Amsterdam. Tahun 1970 ia kembali ke tanah air, dan sempat menganggur pula selama setahun sebelum akhirnya terjun ke dunia bisnis dan mendirikan PT Indonesian Financing & Investment Company. Ia sempat pula menjadi pimpinan beberapa perusahaan lainnya.
Dunia bisnis kemudian ditinggalkan pada 1987, meskipun sampai tahun 1990 namanya masih tercatat sebagai direktur utama PT Altron Niagatama Nusa. “Saya sudah punya cukup uang untuk membiayai semua yang saya inginkan,” katanya suatu kali kepada Matra. Ia pun tampil sebagai pengamat ekonomi. Analisisnya yang sering diterbitkan Harian KOMPAS telah membesarkan dan mempopulerkan namanya. Ia pun terjun ke dunia politik dan pendidikan. Untuk dunia pendidikan, bersama dua kawannya, Kaharudin Ongko dan Djoenaedi Joesoef, ia mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Institut Bisnis Indonesia (STIE IBII). Di lembaga itu ia duduk dalam jajaran dewan direktur.
Untuk politik, ia bergabung dengan PDI pro Megawati. Di sana ia duduk di Badan Penelitian dan Pengambangan (Balitbang), sekaligus menjadi salah satu Ketua DPP. Meskipun kemudian Mega disingkirkan oleh pemerintah dari PDI, ia tetap konsisten membela dan mendukung Mega. Menurut Kwik, kemanusiaan Mega sangat tinggi. “Kemanusiaannya besar sekali, sehingga Mega tidak bisa melihat darah mengalir, kerusuhan atau kematian. Dia terus menerus berpesan agar anggota PDI menjaga diri dan menghindari kerusuhan,” katanya suatu kali.
Ia menambahkan, bahwa Mega itu manusia yang mirip Bung Karno, “dan logisnya luar biasa. Ia hidup untuk melayani orang lain. Itu tak lain karena Mega dilahirkan dalam keadaan untuk melayani orang lain. “Jadi kalau dia peduli terhadap kehidupan bangsa ini, itu bukan dibuat-buat, bukan agar dia menjadi orang berpangkat atau orang penting,” tambah Kwik.
Keadaan memang berubah, reformasi datang, dan PDI Megawati — kemudian bernama PDI Perjuangan — diperbolehkan menjadi salah satu partai politik. Selanjutnya, penulis dan pengamat masalah-masalah ekonomi yang sangat produktif ini pun naik ke Senayan sebagai anggota DPR. Di sana, ia pun sempat dipercaya menjadi Wakil Ketua MPR. Kemudian diangkat Gus Dur sebagai Menko Ekuin. Lalu ‘dipaksa’ mudur dari jabatan itu. Dan, oleh Megawati diangkat lagi jadi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional merangkap Ketua Bappenas pada Kabinet Gotong-Royong. TI, dari berbagai sumber terutama Tempo, Kompas dan Suara Pembaruan)
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
***
Soal Pengurangan Subsidi kepada Perbankan
Dalam pidatonya kepada Sidang Tahunan MPR yang lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri memberitahukan keputusannya untuk melanjutkan kerja sama dengan IMF sampai akhir tahun 2003. Keputusan ini dikukuhkan dalam rekomendasi MPR dengan isi yang sama. Beberapa pengamat ekonomi geger bahwa pengakhiran kerja sama ini perlu dipersiapkan dengan baik. Mengapa perlu dipersiapkan dengan baik, apa isi dari persiapan itu, dan apa dampak kalau tidak dipersiapkan sama sekali ?
Semuanya ini tidak dijelaskan. Beberapa hal yang sifatnya menakut-nakuti dikemukakan, seperti setelah itu tidak akan ada Paris Club lagi, sehingga Indonesia harus membayar utang luar negerinya yang jatuh tempo, sedangkan besar kemungkinan uangnya tidak ada. “Kesulitan” lain seperti kemungkinan bubarnya CGI, putusnya hubungan dengan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan semua lembaga internasional lainnya tidak disebutkan. Menjadi sangat tidak jelas apa sebenarnya yang dirisaukan?
Saya sendiri tidak mengerti apa yang harus dipersiapkan? Kalau toh berbicara tentang persiapan, kita harus mempersiapkan diri sejak sekarang bagaimana caranya supaya antara sekarang sampai akhir tahun 2003 kita dapat mengamandemen kesepakatan dengan IMF supaya tidak menghancurleburkan keuangan negara yang membuat APBN tidak akan sustainable, entah sampai kapan.
Masalah paling besar yang harus kita hindari adalah bagaimana supaya kita dapat mengurangi subsidi kepada perbankan dalam jumlah yang setiap tahunnya sekitar Rp 90 trilyun, entah sampai berapa lama. Untuk tahun anggaran 2003, yang dapat dibaca dari APBN, subsidi dalam bentuk pembayaran pokok obligasi rekap (OR) sebesar Rp 36 trilyun, dan bunga OR sebesar Rp 55 trilyun.
Kebijakan memberi subsidi pada perbankan dalam jumlah yang demikian besarnya membuat kita mengurangi subsidi untuk BBM, listrik, dan telepon dengan dampak gejolak sosial yang kita alami bersama. Subsidi pada perbankan yang demikian besarnya juga mengakibatkan perusahaan telekomunikasi PT Indosat harus dijual untuk memperoleh dana sekitar Rp 5,4 trilyun (bandingkan dengan Rp 91 trilyun untuk subsidi perbankan), yang juga telah menimbulkan gejolak sosial seperti yang kita alami bersama.
Bagaimana menghindarinya? Apakah dengan menghentikan subsidi kepada perbankan sehingga bank-bank ambruk? Tidak. Tim Independen pimpinan Dradjad Wibowo telah mengajukan lima buah solusi yang semuanya tidak direspons sama sekali. Entah karena tak dipahami atau karena faktor lain.
Tawaran solusi
Melalui tulisan ini, saya ingin mengemukakan solusi yang semoga dapat diterima. OR yang ada di bank-bank, dinyatakan sebagai obligasi tanpa bunga atau zero coupon bond. OR yang jatuh tempo tidak dibayar. Dengan setiap kali menunda pembayaran jumlah pokok pada tanggal jatuh temponya, pemerintah tidak mengeluarkan uang yang jumlahnya signifikan. Untuk tahun anggaran 2003, jumlahnya Rp 36 trilyun dan untuk tahun-tahun selanjutnya setiap tahunnya juga akan berjumlah sekitar besaran itu, karena OR telah ditata ulang (reprofile). Adapun kewajiban membayar bunga OR tidak ada lagi, karena OR tidak mengandung kewajiban pembayaran bunga. Bank yang kehilangan pendapatan bunga OR disubsidi oleh pemerintah dengan uang tunai sampai bank tidak menderita kerugian. Jumlah yang dibutuhkan lebih kecil ketimbang jumlah yang dibayarkan sebagai bunga OR yang fixed terkait dengan jumlah nominal OR dan tingkat suku bunganya. Penghematannya sangat signifikan, yaitu sekitar Rp 18,3 trilyun dari jumlah Rp 55,18 trilyun. Ditambah dengan pengeluaran yang tidak jadi dikeluarkan sebagai pembayaran OR yang jatuh tempo sebesar Rp 36 trilyun itu tadi, untuk tahun anggaran 2003, pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 54,3 trilyun. Ini jumlah yang sangat besar untuk satu tahun.
Namun, jumlah penghematan sebesar ini sudah tidak mungkin lagi, karena sebagian OR sudah jatuh di tangan swasta. OR dari bank yang sudah dijual kepada swasta, BCA dan Bank Niaga, sudah tidak dapat diapa-apakan lagi. Sayang, saya kalah terus dalam perjuangan mencegahnya sebelum OR dibersihkan dari bank. Beberapa OR yang melekat pada bank yang belum dijual, juga sudah dibolehkan dan sudah dijual kepada publik. OR ini tidak dapat diapa-apakan juga.
Kalau kita membatasi diri pada yang masih ada di tangan pemerintah, dari nilai OR seluruhnya yang Rp 430 trilyun, masih ada Rp 321 trilyun. Keseluruhan jumlah ini masih dapat dicegah pembayarannya dengan usulan dalam artikel ini kalau penjualan OR maupun bank yang masih dilekati OR dicegah sekarang juga. Berapa dari pembayaran pokok OR tahun 2003 yang masih dapat dicegah hanya dapat saya perkirakan bahwa kalau 75 persen masih di tangan bank-bank milik pemerintah, dari yang tercantum dalam APBN 2003 juga sekitar 75 persen yang dapat diamankan, atau 75 persen dari Rp 36 trilyun atau sekitar Rp 27 trilyun.
Adapun bunganya yang dapat dihemat kalau bank-bank rekap yang masih ada di tangan pemerintah disubsidi sebatas membuatnya impas saja (sesuai dengan perhitungan staf Bappenas), penghematannya tidak banyak, hanya sekitar Rp 4,86 trilyun. Tetapi, toh ini berarti bahwa beban OR tahun 2003 dapat dikurangi dengan Rp 27 trilyun plus Rp 4,86 trilyun atau Rp 31,86 trilyun, seandainya usulan saya dalam artikel ini dapat diterima.
Jadi, seandainya saya dari dulu didengar, untuk tahun anggaran 2003 saja dapat dihemat Rp 54,26 trilyun. Tetapi, karena sekarang sudah banyak OR yang tidak lagi di tangan pemerintah, pengeluaran untuk OR yang dapat dihemat menjadi lebih kecil, yaitu Rp 31,86 trilyun itu tadi. Lumayan. Tetapi harus ada banting setir kebijakan tentang bank-bank rekap sekarang juga. Kalau tidak, ya setiap tahun keluar Rp 90 trilyun, entah sampai kapan.
Sangat absurd kalau dibandingkan dengan kebutuhan untuk menolong orang-orang miskin, membangun infrastruktur dan membangun kembali kekuatan pertahanan dan keamanan yang jauh lebih kecil dari jumlah itu, tetapi tidak mampu dibayar oleh pemerintah. Lebih absurd lagi karena pemerintah mengambil risiko gejolak sosial sambil membuang uang demikian besarnya yang tidak ada dasar logikanya sama sekali.
Begitu absurdnya sampai masalah ini sudah menjadi obsesi dan keresahan yang mendalam setiap saat saya ingat akan hal ini. Bagaimana mungkin orang-orang sangat pandai itu tidak melihat hal yang sesimpel ini, yang dampak penderitaannya begitu riil?
Untuk jelasnya, usulan saya ini mempunyai implikasi bahwa pada neraca, jumlah OR tetap, modal sendiri di pasiva neraca tetap sehingga rasio kecukupan modal (CAR) tidak berkurang. Dalam perincian rugi/laba, selama bank tidak mampu membuat laba atas kekuatannya sendiri, bank disubsidi oleh pemerintah sampai impas atau break even. Namanya tidak lagi “Bunga OR”, tetapi apa adanya, yaitu “Subsidi dari Pemerintah”. Manajemen bank yang dijamin tidak pernah akan rugi tentunya mempunyai ketenangan dan bisa berkonsentrasi sepenuhnya membuat banknya menjadi sehat dengan cara perlahan-lahan memenuhi fungsinya sebagai intermediasi antara tabungan dan penyalurannya ke sektor produktif. Kepada manajemen bank memang harus diberi target membuat laba atas kekuatan sendiri dan subsidi tidak diberikan lagi dalam waktu empat tahun sejak sekarang. Manajemen bank dituntut bahwa dalam waktu empat tahun akan mampu membuat spread positif yang melebihi keseluruhan biaya fixed overhead. Maka, akan terbentuk laba neto yang ditambahkan pada modal sendiri. Sedikit demi sedikit, kelebihan modal sendiri yang dibutuhkan untuk membuat CAR sesuai persyaratan, dipakai untuk mengembalikan OR.
Bagaimana kondisi kini?
Dalam laporan keuangan, mereka (bank-bank) membuat laba. Tetapi, kalau pendapatan bunga dari OR dikeluarkan, langsung merugi luar biasa besarnya. Jelas bahwa sejak tahun 1998, bank-bank rekap disubsidi besar-besaran, tetapi tetap saja tidak sehat. Sudah tiba saatnya batas waktu lamanya subsidi harus ditentukan. Usulan dalam artikel ini tidak membayar jumlah nominal OR yang jatuh tempo. Sebagai gantinya bunga OR, pemerintah memberikan subsidi secukupnya sampai bank tidak merugi. Tetapi, dibatasi sampai 4 tahun, bank harus bisa mandiri membuat laba, tanpa subsidi lagi.
Namun, kalau perlu OR yang sudah menjadi zero coupon bond dibiarkan di sana untuk menyangga CAR yang memenuhi syarat. Zero coupon bond itu, walaupun mempunyai tanggal jatuh tempo, setiap kali ditunda pembayarannya. Toh tidak akan menggelembungkan bunga, karena bunganya sudah nol dan diganti dengan subsidi yang cukup untuk membuat bank tidak menderita kerugian (bleeding) saja.
Kritiknya, apa masuk akal? Ketika saya mengemukakan gagasan ini pertama kalinya, memang dikritik dan dilecehkan sebagai orang yang perlu dipertanyakan. Tetapi, Paul Volcker dalam nasihatnya untuk memecahkan masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara Bank Indonesia dan Pemerintah, malah menggunakan perpetual non interest bearing capital maintenance note. Lebih gila dari saya, tetapi toh tidak ada menteri membantahnya. Mestinya, tim ekonomi pemerintah, DPR, dan IMF harus menerima pikiran saya kalau pikiran Paul Volcker diterima.
Kalau IMF mau menerima pikiran ini, kita dapat melunasi utang segera yang tersisa 9 milyar dollar AS. Tanpa uang ini, yang toh tidak boleh dipakai sebelum cadangan devisa milik Indonesia sendiri habis, kita sudah mempunyai cadangan devisa sekitar 21 milyar dollar AS. Neraca pembayaran surplus terus. Selama pemerintahan Soeharto dengan fundamental ekonomi yang katanya demikian kuatnya, cadangan devisa rata-rata 14 milyar dollar AS dan kita merasa comfortable.
Setelah melunasi segera yang 9 milyar dollar AS, kita tidak mempunyai utang kepada IMF dan dengan sendirinya tidak perlu membayar bunga yang merupakan penghematan lagi.
Dengan IMF, tidak perlu bertengkar. Kita tetap konsisten bekerja sama sampai akhir tahun 2003. Bagian-bagian dari LoI yang merugikan rakyat banyak atau tidak sensitif terhadap suasana batin rakyat banyak, tidak kita jalankan.
Inilah salah satu butir strategi pengakhiran asistensi dari IMF yang sudah telanjur harus kita teruskan sampai akhir 2003. Kalau IMF tidak mau menerima, ya apa bolah buat. Terserah, mau apa saja dan main “mafia-mafiaan” seperti apa pun juga harus kita layani. Ini bukan sikap bagaikan inlander. Inlander adalah menghamba absolut. Yang saya usulkan adalah adu cerdas dan adu logis.
Artikel ini memang padat, sehingga kemungkinan beberapa detail tidak dipahami. Sangat mungkin pikiran saya yang memang salah kaprah. Kalau demikian, harap supaya dikritik agar saya dapat menjawabnya. Kalau saya tidak mampu atau ada salah pikir, akan saya akui terus terang. Sumber Kompas 6/2/03