Ephorus HKBP 2024-2028: Pemimpin yang Berani, Gembala yang Peduli

Victor Tinambunan
 
0
65
Victor Tinambunan
Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST, Ephorus HKBP 2024–2028 (Tokoh.ID)

Dikenal sebagai teolog cerdas, akademisi berintegritas, dan pemimpin yang menapaki karier panjang dari dosen hingga Ketua STT HKBP dan Sekretaris Jenderal, Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST kini mengemban amanah sebagai Ephorus Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) 2024-2028. Namun keistimewaan anak kampung dari Parlilitan ini tak berhenti pada gelar dan jabatan – ia tampil sebagai suara profetik yang berani bicara di tengah kekuasaan, bersikap saat yang lain diam, dan berdiri tegak membela umat di tengah bencana, ketidakadilan, serta krisis moral yang melanda negeri.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

Ketika dunia menyaksikan banyak pemimpin agama larut dalam formalitas dan protokoler, Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST,  hadir dengan pendekatan berbeda – turun langsung, melihat, mendengar, menangis, dan berbicara. Ia bukan hanya teolog yang mampu menulis dan berpikir dalam bahasa akademik, tetapi juga komunikator hati yang mampu menyapa jemaat kecil di kampung-kampung terpencil dan menyulut semangat mereka kembali. Dalam tubuhnya, menyatu pengetahuan dan kasih, keberanian dan ketulusan, kelembutan dan ketegasan.

Ia percaya bahwa gereja tidak hanya harus berbicara soal keselamatan di akhirat, tetapi juga harus terlibat dalam menyelamatkan kehidupan hari ini. Bahwa iman tanpa keberpihakan sosial adalah suara yang hampa. Bahwa pujian tanpa tindakan keadilan adalah kebaktian yang kosong. Ia ingin menjadikan HKBP bukan sekadar institusi, melainkan gerakan yang bergerak bersama rakyat – untuk pendidikan, lingkungan, hak-hak masyarakat adat, dan masa depan bangsa.

Refleksi spiritualnya mendalam, tetapi selalu membumi. Dalam pidato atau khotbahnya, ia tak segan mengutip tokoh lintas iman, filsuf, bahkan aktivis sosial. Ia percaya bahwa kasih Tuhan itu melampaui batas-batas teologi sempit dan harus diwujudkan dalam tindakan nyata: dalam kebijakan publik yang adil, dalam pengelolaan hutan yang lestari, dalam tata kelola gereja yang transparan, dan dalam pembelaan terhadap mereka yang tak berdaya.

Ia menyebut bahwa tanda-tanda Kerajaan Allah masih berlangsung di tengah kita: dalam udara yang masih bisa kita hirup, dalam air yang masih mengalir, dalam orang-orang yang tetap setia memperjuangkan hidup yang lebih baik. Tapi di saat yang sama, ia mengingatkan, dunia ini juga sedang dilanda penyakit afluenza – kerakusan dan ketamakan – yang menyebabkan banjir, longsor, krisis iklim, dan penderitaan sosial lainnya.

Dan justru karena itu, gereja tidak boleh diam. Tidak boleh nyaman di menara gading. Gereja harus bangkit, melayani, dan berdiri bersama mereka yang terpinggirkan. “Kita terpanggil untuk mewariskan mata air, bukan air mata,” ucapnya berulang kali. Ungkapan yang lahir dari ketulusan, dari kepedihan, dan dari doa seorang gembala yang tak ingin ada dombanya yang hilang dalam kegelapan zaman.

Victor Tinambunan adalah wajah gereja yang peduli. Sosok pemimpin yang tidak sibuk mencari pengaruh, tetapi mencari keadilan. Ia tidak menuntut hormat, tetapi mendapatkannya karena integritas. Ia tidak menimbun pujian, tetapi mencurahkan hidupnya untuk orang lain.

Di tengah zaman yang sering kehilangan arah dan suara nurani, kehadirannya mengingatkan bahwa seorang pendeta bukan hanya pelayan liturgi, tetapi penjaga kehidupan. Bahwa seorang pemimpin bukan hanya pengatur struktur, tetapi pembela nilai-nilai. Dan bahwa di setiap gereja, seharusnya ada suara yang berkata: “Ini salah. Kita harus berubah.”

Dan di balik ketegasan dan intelektualitas yang melekat padanya hari ini, tersimpan kisah hidup yang penuh luka, keringat, dan pengorbanan sejak masa kecilnya.

Advertisement

Victor Tinambunan lahir pada 18 November 1964 di Desa Siringoringo, sebuah perkampungan kecil yang terpencil di Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Desa ini bukan sekadar jauh dari kota – tetapi benar-benar terputus dari fasilitas dasar seperti listrik, jalan layak, dan transportasi. Rumah-rumah papan berdiri di antara lembah dan hutan, jauh dari hiruk-pikuk modernitas. Di tempat seperti inilah, Victor Tinambunan kecil mulai menulis kisah hidupnya – dengan tinta perjuangan dan lembaran ketabahan.

Ayahnya adalah seorang sintua dan pegawai negeri sipil dengan penghasilan pas-pasan, berusaha membesarkan delapan anak dalam kondisi serba terbatas. Untuk membantu ekonomi keluarga, Victor Tinambunan ikut bekerja sejak kecil. Saat liburan sekolah, ia tidak mengisi waktu dengan bermain seperti anak-anak kota. Ia harus berjalan kaki hingga sembilan jam menembus hutan belantara demi sampai ke kebun kemenyan milik keluarga di tengah hutan. Di sana, ia tinggal berhari-hari dalam pondok kayu seadanya, ditemani bara api kecil dan suara hutan yang mencekam.

“Kalau malam hari, suara harimau itu bukan legenda. Kami mendengarnya sendiri. Itu nyata. Kami tidur tidak pernah benar-benar tidur,” kenangnya dalam suatu kesempatan dengan mata yang berkaca. Tak jarang ia dan saudara-saudaranya harus menahan lapar atau mandi di sungai yang dinginnya menusuk tulang. Bahkan sepatu adalah kemewahan – Victor Tinambunan remaja harus menyusuri jalan sekolah dengan kaki telanjang, melewati tanah becek, jembatan reyot, dan kabut pagi yang menggigit. Ia belajar dengan lampu minyak tanah dan tekad yang menyala.

Namun justru dari kondisi serba sulit itu, terbentuk karakter baja dalam diri Victor Tinambunan. Ketangguhan, disiplin, dan semangat belajar yang tak pernah padam menjadi warisan dari kehidupan sederhana dan keras di desa. Ia tidak hanya bertahan, tapi melangkah keluar dari desa kecil itu, membawa mimpi besar dan panggilan ilahi yang membawanya ke podium gereja dunia. Dari tanah berlumpur di Parlilitan, ia menapaki jalan ke Amerika, Jerman, dan Singapura. Tapi ia tak pernah melupakan akarnya.

Victor Tinambunan
Pdt. Dr. Victor Tinambunan, MST dan istri, menyematkan ulos kepada Drs. P.M. Sitinjak, salah satu dari 237 jemaat berusia 70 tahun ke atas, sebagai tanda penghormatan dan kasih dalam perayaan ulang tahun ke-54 HKBP Pasar Minggu, Jakarta, 23 Maret 2025.

Kisah masa kecil Victor Tinambunan bukan sekadar latar belakang – itu adalah fondasi moral yang membuatnya hari ini mampu berkata lantang di hadapan penguasa: bahwa bencana bukan kehendak Tuhan, melainkan akibat ulah manusia. Itu pula yang membuatnya berani menangis di tengah rakyat kecil yang tanahnya dirampas oleh perusahaan besar. Dan justru karena ia pernah merasakan bagaimana rasanya tidak punya apa-apa, ia kini tahu persis betapa berharganya keadilan, betapa sakralnya hak setiap orang untuk hidup dan bertahan di tanahnya sendiri.

Ketika menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di kampung halamannya, Victor Tinambunan sudah menunjukkan ketekunan dan rasa ingin tahu yang luar biasa. Ia melanjutkan ke SMA HKBP Tarutung, sebuah lembaga pendidikan yang cukup ternama di kalangan masyarakat Batak. Di sinilah, bibit panggilannya mulai tumbuh. Awalnya ia ingin menjadi ahli pertanian. Namun, ayahnya, yang penuh iman dan intuisi, justru mengarahkan Victor Tinambunan ke sekolah teologi. Keputusan itu diambil bukan karena keluarga mereka ingin “membanggakan” anak pendeta, melainkan karena mereka percaya, pelayanan adalah jalan mulia bagi anak manusia untuk mengabdi kepada Tuhan dan sesama.

Pada 1984, ia diterima di Sekolah Tinggi Teologi HKBP Pematangsiantar. Di sana, ia tak hanya belajar teologi dari buku, tetapi juga dari kehidupan sehari-hari: belajar melayani, berdiskusi, memimpin ibadah, dan berinteraksi dengan mahasiswa dari seluruh penjuru tanah Batak. Ia aktif dalam organisasi mahasiswa, menjadi Ketua Seksi Kerohanian Senat Mahasiswa dan anggota GMKI. Suatu masa yang membentuknya bukan hanya sebagai calon pendeta, tetapi juga pemikir, organisator, dan penggerak.

Setelah menyelesaikan sarjana teologi, ia melanjutkan studi ke Universitas Kristen Duta Wacana di Yogyakarta (1994–1996), di mana ia belajar di bawah bimbingan para teolog besar seperti Prof. Gerrit Singgih dan Romo Mangun. Ia kemudian melanjutkan ke Lutheran Theological Seminary di Philadelphia, Amerika Serikat (1996–1998), dan memperoleh gelar Master of Sacred Theology (MST). Tawaran untuk tinggal dan melayani di luar negeri sempat datang, tetapi ia memilih pulang. “Saya lahir dari tanah ini, dan saya harus kembali untuk melayani tanah ini,” ujarnya.

Tahun 2006–2010, ia menempuh program doktoral di Trinity Theological College, Singapura, dengan beasiswa dari UEM Jerman. Di masa studi ini, ia tak hanya menulis disertasi, tetapi juga melahirkan karya-karya teologi yang membumi dan kontekstual.

Setelah ditahbiskan sebagai pendeta pada 26 Desember 1991 oleh Pdt. Dr. S.A.E. Nababan, ia melayani di HKBP Ressort Sei Agul, lalu di HKBP Ressort Sihorbo. Ia juga menjadi dosen di STT BNKP Nias, dan STT HKBP, hingga menjabat Ketua STT HKBP Pematangsiantar (2015–2019). Di bawah kepemimpinannya, kampus mengalami perombakan besar dari segi spiritualitas, akademik, dan kemitraan internasional. Ia menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga dari Jerman, Korea Selatan, Amerika, hingga Australia. Dia juga membentuk ekosistem pendidikan teologi yang progresif dan transparan.

Pengabdiannya diakui lebih luas saat ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal HKBP (2020–2024), di mana ia menyusun sistem keuangan baru, membenahi administrasi, dan memperjuangkan keadilan keuangan untuk para pensiunan pendeta. Tugas yang berat, namun ia jalani dengan prinsip yang tak berubah sejak kecil: ketekunan, kejujuran, dan ketulusan.

Pada Sinode Godang ke-67 tahun 2024, ia terpilih sebagai Ephorus HKBP dengan meraih suara terbanyak, 1.125 dari 1.757 suara. Ia dilantik pada 8 Desember 2024 di HKBP Pearaja Tarutung, dan langsung mengangkat Sekjen serta para kepala departemen dan praeses.

Namun, kekuatan sejati Victor Tinambunan bukan hanya pada manajemen gereja atau wacana teologis, melainkan pada keberaniannya bersuara dan berdiri di garda depan saat suara gereja dibutuhkan.

Saat banjir bandang menerjang kota Parapat pada Maret 2025, Victor Tinambunan datang langsung ke lokasi, menengok rumah-rumah jemaat yang tertimbun lumpur dan bebatuan. Dalam konferensi pers dihadiri PGI, akademisi, dan NGO, ia berkata dengan nada tegas, “Bencana ini bukan ujian dari Tuhan. Ini adalah akibat ulah manusia yang merusak alam ciptaan Tuhan.” Ia menyebut bahwa 140 kepala keluarga terdampak, 12 rumah rusak berat, dan kota Parapat lumpuh. “Soal siapa, kelompok, atau pengusaha – datanya sudah tersedia,” ujarnya tegas. Ia menyerukan komitmen HKBP melawan kerusakan lingkungan bersama gereja-gereja, pemerintah, dan masyarakat. “Kita terpanggil untuk mewariskan mata air, bukan air mata,” ucapnya dengan suara bergetar. HKBP di bawah kepemimpinannya ikut menyuarakan gerakan nasional untuk menanggulangi narkoba, judi, human trafficking, dan kerusakan lingkungan.

Keberpihakannya kepada keadilan juga terlihat dalam kasus pemblokiran jalan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Dusun Nagasaribu, Tapanuli Utara. Saat mendengar bahwa akses masyarakat adat ke ladang ditutup portal perusahaan, ia datang langsung. Ia tidak berbicara dari balik meja atau menunggu laporan birokrasi. Ia datang ke lokasi, melihat sendiri penderitaan warga, dan berdiri di hadapan aparat dan perusahaan, berkata dengan suara bergetar, “Mereka ini hanya ingin bertahan hidup, memperjuangkan anak-anaknya. Kenapa harus dipersulit di tanah sendiri? Biarkan masyarakat yang sudah berjuang dengan kehidupan yang begitu sulit, kita permudah…”

Ia menangis saat mengucapkannya. Tangis bukan karena kelemahan, tetapi karena empati mendalam seorang gembala yang melihat dombanya terluka.

Sebagai pemimpin gereja yang kepemimpinannya melampaui struktur administratif, Victor Tinambunan tak henti menyerukan transformasi gereja menjadi lebih relevan. Dalam pidato pembukaan tahun 2025, ia menyampaikan refleksi spiritual dan sosial secara mendalam. Ia menyebut penyakit zaman ini bukan hanya narkoba atau kriminalitas, tetapi juga afluenza – penyakit kerakusan dan tamak yang merusak bumi. “Bumi ini cukup untuk kebutuhan semua orang, tapi tidak cukup untuk ketamakan segelintir orang,” kutipnya dari Mahatma Gandhi.

Ia menggagas HKBP sebagai jemaat misioner, di mana setiap warga bukan sekadar penerima pelayanan, tetapi pelayan aktif dalam komunitasnya. Ia mendukung digitalisasi gereja, database warga HKBP, dan program pembangunan yang berbasis kolaborasi. Ia tak segan untuk menjalin relasi dengan pihak-pihak di luar gereja termasuk media. Salah satunya, berkunjung ke Kompas Gramedia Grup di Menara Kompas, Jakarta sebagai bagian dari kunjungan ke media, usai terpilih jadi Ephorus periode 2024-2028.

Sebagai penulis, Victor Tinambunan telah melahirkan lebih dari sepuluh buku, antara lain Harta Benda: Berkat atau Beban?, Gereja dan Orang Percaya, Engkel Sipature Na Sega, Apa yang Kamu Cari?, Berkomunikasi dengan Hati, hingga Menjadi Gereja Pro-Kehidupan. Ia berkontribusi dalam Dictionary of Luther and the Lutheran Traditions, dan karya internasional lainnya. Ia juga lebih dari 200 kali memberi ceramah spiritual di berbagai platform, termasuk dalam acara Mimbar Agama Kristen di TVRI Nasional.

Dalam kehidupan pribadinya, ia menikah dengan Tima Warni Pangaribuan, yang dahulu adalah guru sekolah minggu. Tima Warni Pangaribuan setia mendampingi pelayanan suaminya, baik dalam suka maupun duka. Mereka dikaruniai dua anak: Dorothy Christi Lois Tinambunan, mahasiswa di University Sains Malaysia, dan Sundermann William Penn Tinambunan, siswa SMA di Pematangsiantar. Keluarga ini hidup harmonis dan selalu mendukung pelayanan Victor Tinambunan di tengah kesibukan gereja dan masyarakat.

Victor Tinambunan bukan hanya seorang pendeta. Ia adalah suara. Suara dari hutan Siringoringo yang pernah sunyi, kini menggema sampai ke ruang-ruang kekuasaan dan media nasional. Suara yang lahir dari tanah yang retak dan air mata jemaat yang tertindas. Suara yang tidak diam saat yang lemah dibungkam. Ia adalah pengingat bahwa gereja bukan hanya tentang ibadah Minggu, tetapi tentang bagaimana kita berdiri di antara mereka yang menderita – dan menolak untuk diam. (Atur/TokohIndonesia.com)

Referensi:

  • Media Online: NusantaraTV, Narwastu, HarianSIB, YouTube HKBP (@HKBP1861), dan lainnya
  • Medsos Kantor Pusat HKBP

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini