Pelopor Pendidikan Terpadu
AS Panji Gumilang
[ENSIKLOPEDI] Syaykh Abdussalam Panji Gumilang adalah personifikasi Ma’had Al-Zaytun. Pendiri dan pemimpin pondok pesantren modern (kampus) ‘Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi serta Pengembangan Budaya Perdamaian’ ini sungguh seorang pelopor pendidikan terpadu (kampus peradaban). Alumni Ponpes Gontor dan IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat ini seorang guru yang mengandalkan manajemen ‘kekitaan’ bukan ‘keakuan’.
Menurut pria kelahiran Gresik 30 Juli 1946 ini, pendidikan itu harus diciptakan sebagai gula dan ekonomi sebagai semutnya. Jangan malah ekonomi yang diciptakan sebagai gula dan rakyat (pendidikan) jadi semutnya. Bila pendidikan sebagai gula dan ekonomi sebagai semut, maka semut (ekonomi) akan mendatangi orang yang terdidik. Karena semut adalah makhluk yang mengerti kualitas dirinya terhadap gula, sehingga semut tidak akan terkena sakit gula.
Suatu cita-cita mulia dari Syaykh A.S Panji Gumilang, sejak kecil, adalah menjadi guru dan mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Dengan maksud agar peradaban umat manusia tidak putus, maka dengan berbagai kemampuan yang ada padanya, ia berusaha menyambungnya. Itulah cita-citanya mendirikan pesantren ini, di samping untuk merangkum kehendak bangsa Indonesia sendiri, menjadi bangsa yang diperhitungkan di antara bangsa-bangsa lain.
Pria yang sejak kecil bercita-cita jadi guru, dan yang hingga kini masih tetap seorang guru, ini berpendapat bahwa peradaban tersebut harus disambung dengan manajemen ‘kekitaan’ bukan ‘keakuan. Sebab menurutnya, keakuan umurnya sangat pendek, hanya terbatas. Tapi kalau kekitaan berumur lama dan tidak pernah putus. “Kekitaan itu mempunyai satu kekuatan yang tidak pernah dapat diruntuhkan oleh siapa pun kecuali oleh yang membuat kita itu sendiri,” katanya lebih jelas. Kekitaan itu pulalah yang dipakainya dalam membangun dan mengelola Ma’had Al-Zaytun ini.
Sedikit berkisah mengenai awal mula adanya ide atau cita-cita pendirian lembaga pendidikan ini. Dia mengata-kan bahwa sebagaimana orang pada umumnya selalu punya cita-cita untuk berlaku, berbuat dalam kebaikan, demikian juga halnya dengan dirinya.
Dimotivasi sosok ayahnya yang mempengaruhi menguatnya cita-cita menjadi guru dan mendirikan lembaga pendidikan terpadu. Ayahnya, seorang pemimpin, seorang Kepala Desa. Walaupun hanya sebagai kepala desa, namun ayahnya ini ditakdirkan oleh Ilahi menjadi orang yang suka mendidik lingkungan, sampai-sampai mendirikan sebuah sekolah yang dinamai orang ketika itu ‘Sekolah Arab’ karena setiap hari mengajarkan baca Al-Qur’an, dan menulis Arab.
Di samping itu, Sang Ayah juga seorang pejuang. Sebagai seorang pejuang, Sang Ayah sengaja mempunyai banyak nama, sekali waktu dipanggil Panji Gumilang, Syamsul Alam, Mukarib, atau Imam Rasyidi. Melihat Sang Ayah yang demikian, tumbuh perasaan bangga dan senang pada diri Panji Gumilang kecil. Bangga melihat orang tuanya yang kepala desa, yang konon setiap hari harus lapor kepada Belanda, tapi sekaligus juga pejuang dan mendirikan sekolah.
Dalam kebanggaan Panji Gumilang kecil itu, timbul juga rasa penasaran melihat sikap ayahnya. “Pihak mana dipilih oleh orang tua ini?” begitu pertanyaan dalam hatinya saat itu. Maka ia akhirnya bertanya, “Ayah! Kenapa harus laporan ke Ndoro Asisten Wedana?”.
“Karena dia yang menjadi pimpinan di kecamatan ini,” jawab Sang Ayah.
“Mengapa ayah ini kok ikut berjuang?”
“Karena kita akan merdeka”.
“Mengapa Ayah membuat sekolah?”
“Karena kamu dan kawan-kawanmu harus pintar nanti”. Begitu kira-kira jawaban Sang Ayah saat itu, yang semakin membanggakan hatinya.
Akhirnya kalau petang, Panji Gumilang kecil masuk dalam sekolah yang didirikan orang tuanya itu. Sedangkan pagi masuk ke Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Dasar sekarang. Sejak dari sanalah tumbuh cita-citanya ingin jadi guru. Bahkan walaupun orang tuanya menginginkannya jadi kepala desa, ia tetap bersikeras menjadi guru.
Awal keinginannya menjadi guru, terpantik ketika dirinya masih kecil yakni antara tahun 1952 atau 1953, saat ada program pemberantasan buta huruf (PBB). Ketika itu ia masih kelas satu SR. Begitu pulang sekolah ia ditanya orang tuanya, “Kamu diajar apa tadi?” Kemudian ia jawab, “Ini pak, diajari baca po,lo,wo, go, ro, no, go, sos, ro, to, mo, ho,…”. Masa itu yang diajarkan bukan a,b,c,d, tapi po, lo, wo, dan seterusnya. Orang tuanya pun tanya lagi, “Kamu sudah bisa nulis?” Dijawabnya, “Bisa pak”. Lalu ayahnya menganjurkan: “Nanti malam, kamu mengajar ya…!”
Ia pun lantas mengajar pemberantasan buta huruf orang-orang yang sudah sepuh. Ia merasa bangga dan senang. Pagi-pagi ditanya Pak Guru, disuruh menulis, ia bisa. Malam harinya, ia mengajar beberapa orang buta huruf, sekaligus mengulang pelajaran yang diterima di sekolah pada pagi harinya. Mengajar orang-orang sepuh itu, membangkitkan perasaan sangat senang.
Saat itu suasana belajar dan mengajar itu membuatnya sangat senang. Maka kalau ia dapat nilai 10 atau 9, ia langsung menempelkannya di pipi, lalu lapor pada orang tuanya, “Pak, ini 9!” katanya mengenang.
Sejak itu, rasa senangnya jadi guru pun tumbuh. Orang-orang sepuh itupun menjadi melek huruf. Hal ini menanamkan rasa bangga tersendiri baginya.
Bersamaan setelah tamat SR, sekolah yang tadinya dibina oleh orang tuanya, akhirnya diambilalih sebuah yayasan. Orang tuanya sudah tidak mengurus lagi. Pengambilalihan Madrasah ini berkesan bagi diri dan keluarganya. Bersamaan dengan itu, ia pun kemudian meninggalkan Gresik, kampung kelahirannya itu. Tidak mau tinggal di sana lagi. Tekadnya, ia harus belajar jauh entah ke mana. “Biar bagaimanapun saya harus belajar jauh. Jauh dari kampung,” itulah yang selalu ada di benaknya.
Tepatnya pada tahun 1961 ia pun melanjutkan sekolahnya ke Ponpes Gontor. Di sana, di samping belajar, ia juga sudah sangat tertarik mengamati cara mendidik dari berbagai guru. Sehingga ketika suatu kali ia mendapat didikan yang keras dari seorang guru yakni pernah ditempeleng, juga pernah dicukur rambutnya, kenangan itu masih diingatnya sampai sekarang. Bukan karena dendam, tapi karena ia tidak setuju dengan cara mendidik seperti itu.
Pengalaman itu akhirnya begitu cepat menanamkan hal positif dalam hatinya. Kalau saya punya tempat pendidikan, saya akan memberi kebebasan, tidak akan aku cukur rambutnya, tidak akan aku hukum dalam bentuk kekerasan fisik, aku hanya akan beri isyarat agar dimengerti,” begitulah kata hatinya ketika itu yang akhirnya dibuktikannya kemudian sepanjang karirnya sebagai guru, terutama di Ma’had Al-Zaytun.
Mengenang masa sekolah di Gontor, ia mengatakan bahwa walaupun dulu tempat itu terasa sangat jauh sekali, namun ia sangat mengagumi sekolahnya tersebut. Gresik dan Gontor yang berjarak 210 km itu terasa tambah jauh karena bus waktu itu masih bus kayu yang setiap 10 km harus diengkol lagi. Sehingga jika naik bus, subuh berangkat, magrib baru tiba.
Sekolah di Gontor sangat membanggakannya. Selama enam tahun sekolah di sana, ia banyak memetik hikmah, pelajaran dan ilmu yang kemudian sebagian ditularkannya dalam mendidik santri di Ma’had Al-Zaytun ini. Bahkan karena kebanggannya dengan Pesantren Gontor tersebut, anaknya yang pertama sampai yang keempat di sekolahkannya di sana.
Selesai dari Gontor, pada tahun 1966 ia datang ke Jakarta bertepatan setelah peristiwa Gerakan 30 September, sehingga suasananya masih belum tenang. Karena itu, orang tuanya awalnya tidak terlalu mengijinkan, karena konon kata orangtuanya, Jakarta adalah tempat kekerasan. “Semua bisa terjadi di Jakarta, kamu belum punya kawan di sana, karena kami tidak punya kawan di sana,” begitu ucapan orang tuanya. “Saya ingin membuat kawan bertambah di sana, doakan saja,” jawabnya meyakinkan orang tuanya.
Di Jakarta, ia kemudian masuk ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Ciputat, di mana saat itu masih belum seperti sekarang ini. Jalan ke Pasar Jumat sampai ke Ciputat itu masih tanah merah. Kendaraan dari Kebayoran Lama ke Ciputat juga hanya ada sampai pukul empat sore.
Mendidik sudah merupakan bagian dari hidup pria ini. Dalam membangun kehidupan manusia, baginya pendidikanlah yang terutama dan harus diutamakan. Maka hampir tidak ada waktunya yang terlewat selain dari mendidik dan mendidik. Sampai hari ini dia mendidik. Ketika kuliah di IAIN, ia membuat sekolah di Rempoa. Waktu itu dinamakan Darussalam. Ia mengajar di Madrasah serta di sekolah lain yang berdekatan dengan Madrasah itu. Malamnya mengajar, paginya sekolah. “Hingga hari ini saya adalah seorang guru,” katanya bangga.
Selama di IAIN, ia mulai sering berkumpul dengan kawan-kawannya, dan mulai merencanakan mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bisa mewakili kemajuan Indonesia. Keinginan-keinginan itu semakin kuat tapi tak pernah kunjung terwujud. Namun walaupun begitu, dia terus bergerak dan berkarya.
Dalam upayanya itu ia pernah membuat gambar dan lain sebagainya, kemudian didagangkannya pada kawan-kawannya. Namun kawan-kawannya tidak begitu percaya, bahkan menganggap idenya itu suatu ide yang tidak masuk akal. “Ah…kamu ini gila, bagaimana kita bisa membuat seperti ini,” begitulah kadang sambutan kawannya ketika itu.
Namun ia tetap yakin, “Oh…bisa kalau kita buat, kalau nggak kita buat, memang nggak bisa,” katanya menjawab temannya. “Kapan?” tanya kawannya itu lagi. “Jangan tanya kapan, tapi mau apa tidak?” jawabnya lagi pada kawannya. Ternyata kesabaran dan upayanya meyakinkan kawan-kawannya itu ber-hasil juga. Akhirnya, mereka banyak yang mau.
Kemudian ia mulai mencari lokasi ke seluruh Indonesia, sampai ke Lampung, Kalimantan. Walaupun menemukan tempat yang luas tapi susah untuk dibangun. Maka ketika ia menemukan lokasi di Mekar Jaya, menurutnya sama seperti menerka kelahiran sendiri, tidak tahu akan lahir kapan dan di mana.
Pembelian tanah yang menjadi lokasi Ma’had Al-Zaytun ini hanya diawali dengan berbincang-bincang di ujung kampung Mekar Jaya itu. Seseorang bertanya, mau beli tanah? Ia jawab jalan-jalan saja. Walaupun sudah berusaha untuk tidak memberitahu bahwa ia sedang cari tanah, namun karena orang itu mengetahui ada tanah mau dijual, akhir-nya seolah membujuknya. Ia pun merespon dan bersedia meninjau dan akhirnya cocok.
Awalnya tanah yang dibeli hanya 65 ha. Namun dengan bantuan kawan-kawannya, kemudian bisa terbeli seluas 1.200 ha. “Untuk memulai segala sesuatu itu harus dari kita, apa yang ada pada kita, kita dagangkan, kita dirikan tempat ini bersama-sama. Untuk 65 ha lahan pada tahun 1996 itu, kita membelinya bersama sekitar 30 orang kawan-kawan,” katanya menjelaskan.
Menurutnya, lokasi Al-Zaytun sekarang pun bukan suatu yang direncanakan. Sebelumnya mereka merencanakan tempat yang agak lebih dekat dengan Jakarta. Mereka sudah mendapatkan tempat yakni yang sekarang ditempati oleh pabrik Texmaco di Subang, Purwakarta. Ketika itu sudah setuju, hargapun sudah setuju, namun suatu yang tidak dipahami terjadi, akhirnya tidak jadi membeli tempat itu.
Begitu panjang perjalanan untuk memulai citi-citanya itu namun itu semua tidak dianggapnya begitu susah. Kalau hari ini orang belum mau, tidak usah dikatakan susah, begitu prinsipnya. “Hanya bikin orang percaya, yang tentunya kadang ada yang sehari sudah percaya, ada yang setahun, ada yang sebulan. Tapi yang jelas, kita tidak akan pernah berhenti mengajak untuk kebaikan,” katanya. atur-juka-crs