Pembentukan Jati Diri
Rauf Purnama
[ENSIKLOPEDI] Integritas dan kapabilitas, kreatif dan inovatif, kasih sayang dan kepedulian sosial, kejujuran dan ketulusan, kewajaran dan keadilan, kepercayaan dan tanggung jawab, akal budi dan tawakal, telah menjadi bagian integral dalam proses pembentukan jati diri Ir. Rauf Purnama.Penulis: Ch. Robin Simanullang
Semua itu telah larut dalam aliran darahnya sejak masa kanak-kanak, diawali proses pengasuhan dan keteladanan orang tuanya hingga proses pembelajarannya yang berlangsung sepanjang hayat.
01 | Integrity, Trust and Fairness
Proses pembentukan jati diri Ir. Rauf Purnama diawali proses pengasuhan dan keteladanan orang tuanya. Sosok, kreativitas dan integritas ayahnya sangat melekat dalam ingatannya, kendati dia hanya menyaksikannya hingga usia 11 tahun. Saat usianya menjelang remaja, masa paling krusial dalam pembentukan jati dirinya, dia sudah yatim. Ayahnya meninggal 1954. Kepergian ayahnya sempat membuatnya menangis histeris karena merasa terlalu dini kehilangan seorang ayah yang amat teduh mengayomi anak-anaknya.
Namun, beberapa saat setelah kepergian ayahnya, dia merasakan aura keperkasaan ibunya yang terpancar bak sinar mentari, jauh melampaui ketangguhan seorang pria. Sebab keperkasaan ibunya juga dibalut kelembutan kasih yang amat hangat dan lembut bak sinar rembulan purnama, mendekap dan menaungi anak-anaknya, yang tidak tertandingi oleh ayah (pria) mana pun. Sungguh, Sang Indung (Ibu) menaungi anak-anaknya secara total siang dan malam, bak sinar mentari di siang hari dan bulan purnama di malam hari. Patutlah ada ungkapan dan peribahasa bahwa ‘sorga ada di telapak ibu’ dan ‘kasih ibu sepanjang masa (jalan)’.
Rauf menikmati perjuangan ibunya yang tak pernah berhenti (siang-malam dan tidak mengenal hari libur) untuk menjadikannya dan saudara-saudaranya menjadi ‘orang’, memiliki masa depan yang lebih baik. Rauf tak pernah sedetik pun merasa lepas dari perhatian Sang Ibu. Sebab, Sang Indung selalu tahu apa yang diinginkan anak-anaknya, tetapi hampir tak pernah ingin mengetahui apa yang diinginkannya sendiri. Pengorbanan Sang Indung yang sangat luar biasa.
Sang Indung telah mengasuhnya dalam sekolah kehidupan dengan keteladanannya sendiri. Sang Indung telah membentuknya bagai bejana yang kuat dan selalu siap diisi dengan hal-hal baik. Sehingga sejak belia dia telah memiliki integritas (integrity), bobot dan keutuhan diri, kejujuran dan ketulusan hati.
Keteladanan ayah dan ibunya tentang pentingnya arti kepercayaan (trust) yang diterapkan dalam berbisnis dan pergaulan sehari-hari, telah menjadi bagian dari aliran darah dan metabolisme tubuhnya serta menjadi prinsip yang menjadi alur pikiran dan hatinya. Juga bagaimana hidup saling membutuhkan dalam prinsip yang dilandasi rasa keadilan, kewajaran, kejujuran, dan kelayakan (fairness).
Ayah, terutama ibunya juga telah menjadi guru yang paling sempurna baginya dalam penanaman nilai-nilai kemanusiaan dan kepedulian sosial. Sehingga kepedulian sosial telah menjadi komitmen dan bagian integral dalam setiap derap langkah hidupnya. Dalam kaitan ini, Rauf membenarkan apa yang pernah dikemukakan oleh George Herbert Palmer: “One good mother is worth a hundred schoolmasters.” Bahwa ‘satu ibu yang baik sebanding dengan seratus kepala sekolah’. Bahkan lebih tepat disebut tak sebanding dengan seratus kepala sekolah.
Lebih lagi, orang tuanya, telah menuntunnya untuk selalu bersujud dan tawakal. Apa pun yang telah, sedang dan akan dilakukannya, selalu berpulang, pasrah dan taqwa kepada Allah swt, Sang Khalik Yang Maha Kuasa. Sehingga dia menjadi insan yang selalu terikat untuk selalu memiliki integritas dan kapabilitas, kreatif dan inovatif, kasih sayang dan kepedulian sosial, kejujuran dan ketulusan, kewajaran dan keadilan, kepercayaan dan tanggung jawab, akal budi dan tawakal.
Semua itu telah larut dalam aliran darahnya, menjadi bagian integral dalam proses pembentukan jati dirinya, sejak masa kanak-kanak, yang diawali proses pengasuhan dan keteladanan orang tuanya hingga proses pembelajaran sepanjang hayat, mulai dari bayi, sekolah dari tingkat SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi (ITB), serta saat meniti karier hingga menjelang hari tuanya. Baginya, proses pematangan diri (belajar) dan berkarya tidak mengenal batas usia. Itulah sebabnya dia selalu merasa lebih muda dari usianya, yang dibuktikannya dalam semangat, kemauan dan kemampuannya terus belajar dan berbuat.
Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |
02 | Yatim dan Keteladanan Sang Indung
Ir. Rauf Purnama lahir di Garut, 21 Maret 1943, dalam suasana dan dinamika pendudukan Jepang (Nippon). Masa balitanya diwarnai suasana perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dia anak kedelapan dari sepuluh bersaudara. Masa kanak-kanaknya diwarnai suka-cita, di tengah perjuangan bangsa merebut dan mempertahankan kemerdekaan yang diproklamirkan (17 Agustus 1945) dua tahun enam bulan sejak kelahirannya. Ayahnya, H. Umar Djunaedi, seorang yang sudah terbilang berpikiran progresif pada zamannya.
Namun, sejak umur 11 tahun, saat masih duduk di Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar), saat memasuki masa amat penting dalam proses pembentukan jati dirinya, dia sudah yatim. Ayahnya meninggal tahun 1954. Sang Ayah seorang pengusaha yang juga aktif mengajar di pesantren (uztad). Semasa hidup, Sang Ayah masih sedang sangat giat mengembangkan usaha dan berdagang hasil-hasil pertanian, peternakan dan perkebunan. Dengan kegigihan orang tuanya berusaha, mereka punya sawah yang cukup luas dan tambak ikan di beberapa tempat. Juga punya beberapa rumah dan tanah di desa dan kota. Terbilang hidup mapan di daerahnya pada masa itu.
Bagi Rauf kecil, Sang Ayah adalah seorang pengayom yang amat bijaksana. Maka ‘kepergian’ Sang Ayah, bagi Rauf dan saudara-saudaranya, amat terasa memilukan. Mereka kehilangan pengayom dan tumpuan harapan yang amat mengasihi keluarganya. Namun, Rauf dan saudara-saudaranya merasa beruntung punya indung (ibu), Ny. Saadah, yang lembut dan ternyata lebih kuat. Aura kekuatan Sang Indung dalam mengayomi dan mengasuh anak-anaknya memancar perkasa bagai sinar terang mentari di kala siang hari dan bersinar lembut bagai rembulan purnama yang menerangi keheningan malam. Sang Indung tampil perkasa dalam kelembutan kasih sayangnya, sebagai single parent melakoni peran ayah dan ibu secara total. Totalitas Sang Indung telah menyalakan api semangat hidup dan menabur selaksa inspirasi bagi Rauf dan saudara-saudara dalam menapaki hidup, menyongsong dan menjemput masa depan yang lebih baik, yang lebih berguna, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Setelah Sang Ayah meninggal, Sang Ibu berjuang sendiri melanjutkan usaha dan mengasuh sembilan anaknya. Mereka sepuluh bersaudara, namun satu orang meninggal ketika masih kanak-kanak. Sang ibu melanjutkan usaha perdagangan, pertanian, peternakan, dan perkebunan yang dirintis Sang Ayah dengan cara bagi hasil. Prinsip usaha Sang Ayah yang juga dilanjutkan Sang Ibu adalah menjaga integritas (integrity, keutuhan diri), kepercayaan (trust) dan kejujuran (fairness) kepada mitra. Rauf menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya mempraktekkan prinsip itu kepada setiap mitra usaha bagi hasilnya, juga kepada setiap orang, terutama dalam mengasuh anak-anaknya. Kepada para mitra usaha dan para pekerjanya, Sang Indung memberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh, selalu bersikap adil dan jujur (fairness). Sang Indung juga selalu berpesan kepada para mitranya supaya menjunjung tinggi kepercayaan itu dengan ketulusan, kewajaran, kejujuran dan keadilan serta bertanggung jawab.
“Siapa yang memiliki keutuhan diri, terpercaya dan jujur, niscaya dagangan dan usahanya akan laku dan maju,” kenang Rauf atas pesan ayah dan ibunya. Benar! Ternyata kemudian, para mitra yang jujur, usahanya berkembang maju. Mereka menjadi pengusaha yang mandiri dan sukses. Hal ini terlihat, terutama setelah Sang Ayah meninggal. Sedangkan yang kurang atau tidak jujur, kurang terpercaya dan tidak tahan uji, usahanya tak berkembang bahkan gulung tikar. Dari kenyataan empiris ini, sejak kecil, Rauf sudah meresapi bahwa modal utama seorang pengusaha, atau profesi apa pun, adalah kepercayaan, kejujuran dan keutuhan diri (integritas).
Selain bersikap fair, adil, percaya dan jujur, Rauf juga menyaksikan kepedulian sosial kedua orang tuanya, terutama Sang Ibu, kepada mitra dan sesama, utamanya kepada mereka yang kurang mampu. Sungguh, di mata pria belia Rauf Purnama, Sang Ibu memiliki komitmen yang monumental terhadap anak yatim-piatu dan lapisan masyarakat marjinal. Salah satu yang sangat tertanam dalam benaknya adalah kepedulian Sang Ibu kepada anak yatim-piatu. Sang Ibu sering kali memberikan sesuatu dan menyediakan makan bagi anak yatim-piatu di rumah. Sehingga, Rauf juga banyak berteman dengan anak yatim-piatu. Pergaulan anak-anak yang indah, bersahaja, tanpa sekat sosial, suku, ras dan agama.
Kepedulian Sang Ibu kepada anak yatim-piatu tersebut begitu dalam tertanam (monumental) dalam sanubari Rauf. Sehingga, dia pun kemudian hingga saat ini memiliki ‘tradisi’ kepedulian kepada anak yatim-piatu. Seminggu sekali, dia selalu mengajak beberapa orang yatim-piatu makan di rumahnya. “Itu ajaran ibu saya. Kendati tidak disuruh, tapi saya lihat dan teladani,” kata Ir. Rauf Rauf Purnama.
Selain itu, Sang Indung juga mempunyai kebiasaan setiap kali bepergian, harus selalu menyediakan uang kecil di dompet atau kantong, untuk dikasih kepada orang yang membutuhkan di jalan yang dilalui. Sang Ibu sangat ringan tangan menolong dan memberikan sedekah. Keteladanan kepedulian sosial yang dilakukan Sang Indung ini begitu larut dalam aliran darah Rauf. Bagi Rauf, sangat terasa bahwa kepedulian sosial adalah bagian integral dalam proses pengasuhannya sejak masa kanak-kanak.
Sang Indung sangat ringan tangan untuk menolong dan mengasihi, namun, sangat ‘berat tangan’ untuk marah. Sepanjang ingatan Rauf, Sang Ibu tak pernah memarah-marahinya. Sang Ibu selalu lembut, membujuk dan mengasihinya. Dalam kamus proses pengasuhan Sang Indung, nyaris tidak ada hukuman, ancaman dan pemaksaan, melainkan mengedepankan kelembutan kasih sayang dan keteladanan yang menyalakan cahaya kesadaran anak-anaknya untuk melakukan kehendak baik Sang Indung.
Proses pengasuhan dengan keteladanan dan kasih sayang tersebut, telah membentuk jati diri Rauf. Dia diasuh menjadi anak yang tidak nakal, anak yang tidak pernah membantah ibunya, apalagi menyakiti hati ibunya. Setiap kali ibunya menyuruh supaya rajin ke sekolah dan mengaji, dia selalu mematuhinya. Bahkan kendati Sang Indung tak menyuruhnya. Betapa pun asyiknya bermain dengan teman-teman sebaya, dia selalu mematuhi nasehat ibunya. Pagi rajin ke sekolah, kemudian sorenya ke Madrasah dan malamnya mengaji. Sampai lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), Rauf tinggal bersama Sang Ibu di kota kelahirannya, Garut.
Apalagi Sang Ibu juga tak pernah menyuruhnya untuk mengerjakan sesuatu di luar kewajaran dan keperluan belajar. Padahal, pada saat itu, umumnya (banyak) orang tua yang mengharuskan anak-anaknya yang masih kecil dan remaja untuk membantu orang tuanya bekerja di sawah atau ladang dan menggembala ternak. Tidak demikian ibunya Rauf. Jangankan disuruh bekerja di sawah atau menggembala ternak, menyuci pakaian atau beres-beres bersihkan rumah saja tidak pernah. Karena selalu ada pembantu rumah tangga. Sang Ibu hanya selalu menyuruh dan mengingatkan untuk rajin sekolah dan mengaji serta selalu berbuat baik kepada setiap orang. Hidup harus berbuat baik. Itulah salah satu ajaran Sang Ibu yang selalu tertanam di sanubarinya.
Ibunya juga selalu mengingatkan untuk tawakal, menunaikan ibadah, sholat dan puasa. Sejak kecil dia sudah telaten berpuasa. Bukan hanya puasa bulan suci Ramadhan, sejak dulu dia sudah diasuh untuk menunaikan puasa khusus bulan Rajab (Puasa Rajab). Sejak kanak-kanak, ketika berpuasa, dia tetap berkegiatan seperti sedia kala, dan masih bermain dengan rekan-rekannya. Dia merasakan, kebiasaan berpuasa tersebut memengaruhi kekuatan pisik dan mentalnya. Ketelatenan berpuasa tersebut mendarah daging hingga usianya mencapai 70-an saat ini. Meski pun dia menderita sakit perut, dia tetap saja mampu berpuasa.
Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |
03 | Matematika Selalu Sembilan
Setelah tamat Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar), dia masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) swasta di Garut, selain karena terlambat mendaftar juga nilai ijazah SD-nya tidak begitu bagus, hanya mata pelajaran matematika (berhitung) yang nilai sembilan, selainnya nilai enam dan tujuh. Karena jarak SMP dengan rumah sudah lumayan jauh, maka dia dibeli sepeda kumbang, sepeda yang terbilang bagus dan mahal kala itu. Tapi, baru tiga bulan dipakai, sepeda itu dicuri orang. Rauf sangat kecewa ketika sepedanya hilang. Namun, Sang Ibu segera menggantinya, dengan pesan supaya lebih waspada menjaganya.
Di SMP, dia belajar lebih sungguh-sungguh. Bersama anak seusianya, dia juga suka bergaul, bermain dan berolahraga. Dia sangat suka main badminton (bulu tangkis). Tapi, atas kesadaran sendiri, dia membatasi sendiri pergaulannya, tidak mau bergabung dengan sembarangan, apalagi anak yang suka nakal atau keluyuran baik pada jam sekolah ataupun sepulang sekolah. Sebagaimana ketika di SR, di SMP, Rauf juga sangat memikmati pelajaran matematika dan ilmur ukur. Setiap malam, kalau mengerjakan tugas PR (pekerjaan rumah), dia tidak hanya menyelesaikan soal matematika atau ilmu ukur yang ditugaskan guru, tapi dia mencari-cari soal lainnya. Bahkan kalau tidak ketemu soal, seringkali dia bikin sendiri soalnya dan dicari sendiri pemecahan (jawabannya).
Suatu ketika, semasih kelas satu SMP, dia ketemu satu soal yang tidak bisa diselesaikannya, kendati sudah dicoba pecahkan berulangkali. Sampai dia merasa pusing sendiri. Hingga naik dari kelas satu ke kelas dua, dia belum menemukan jawabannya. Setelah beberapa saat duduk di kelas dua, ternyata soal itu baru diajarkan. Saat gurunya mengajarkan pemecahan soal sejenis, dia dengan cepat menangkapnya. “Oh, ternyata begini,” pikirnya. Setelah mendapat pelajaran dari gurunya, baru dia menyadari kenapa tidak bisa-bisa mengerjakan soal tersebut, karena memang pelajarannya belum sampai.
Kesenangan dan kecerdasannya pada pelajaran matematika dan ilmu ukur, berpengaruh pula pada pergaulannya. Karena dianggap pintar, dia menjadi tumpuan tempat bertanya teman-temannya, terutama para cewek. Maka dia pun sering ditraktir teman-temannya, terutama setiap kali ada tugas PR matematika dan ilmu ukur. Bagi dia, nyaris tidak ada soal matematika yang sulit, apalagi bila sudah diajarkan guru di kelas. Setiap kali ditraktir, dia pun merasa senang, kendati dia sendiri pun selalu punya uang jajan.
Namun, ketika di SMP ada suatu pengalamannya yang lucu. Ceritanya, ketika ujian pelajaran seni suara (menyanyi). Suatu mata pelajaran yang paling tidak disenanginya. Teman-temannya juga tahu bahwa dia tidak suka pelajaran menyanyi. Lalu, menjelang ujian, seorang temannya, bernama Muhammad, memberi saran. “Nggak usah kuatir. Begini saja nyanyinya, syair awal dan belakangnya saja nyanyikan,” kata Muhammad, seraya memberi contoh.
Tiba waktu ujian menyanyi, setiap siswa pun dipanggil menyanyi ke depan kelas. Sesuai abjad, Muhammad dipanggil lebih awal dari Rauf. Ketika giliran Muhammad bernyanyi ke depan, dia menyanyikan Berndera Merah Putih, Bendera Bangsaku dan seterusnya. Muhammad menyanyikannya dari awal sampai akhir. Lalu, tiba giliran Rauf. Dia membawakan nyanyian berjudul Tamasya. Alangkah senangnya waktu kita tamasya, tapi sayangnya hanya sehari saja. Hanya awal dan ujungnya. Semua temannya tertawa terbahak-bahak. Gara-gara itu, guru memberinya nilai lima (merah). Dalam rapor dan ijazahnya, hanya pelajaran seni suara itu yang bernilai lima. Selebihnya, pelajaran lainnya tidak ada yang nilai enam, semua tujuh sampai sembilan. Yang pasti pelajaran matematika dan ilmu ukur selalu bernilai sembilan. Ketika itu, guru tidak pernah memberi nilai 10 dalam rapor dan ijazah. Nilai sembilan paling tinggi. Nilai 10 itu adalah guru. Maka, kendati ada nilai lima (menyanyi), dia masih meraih juara lulus SMP (1956), dari kelas B.
Kemudian, Sang Ibu dan kakak menyuruhnya melanjutkan SMA di Bandung. Supaya kakaknya yang kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) dapat membimbingnya di rumah. Ketika itu, sebenarnya sudah ada SMA Negeri di Garut, baru berdiri. Tapi, kakaknya memberi saran, lebih baik melanjut SMA di Bandung, supaya lebih mampu bersaing dalam seleksi masuk ITB dan perguruan tinggi negeri ternama lainnya.
Di Bandung, dia pun tinggal serumah dengan kakaknya. Kendati dia sendiri pun sudah dibikinkan rumah oleh orang tuanya di Bandung. Setiap orang mereka (sembilan bersaudara, karena satu orang meninggal dunia) telah disedikan rumah oleh orang tuanya di beberapa kota, di antaranya di Bandung. “Rumah untuk saya dan adik, dibikin khusus,” kenang Rauf. Maka, sebenarnya terserah mau tinggal di rumah mana. Tapi, dia memilih tinggal bersama di rumah kakaknya.
Sama seperti ketika SMP, Rauf naik sepeda ke sekolah. Dia juga suka bergaul dengan teman-temannya. Hobbynya bermain badminton agak berkurang, beralih bermain pingpong. Di rumah kakaknya ada lapangan dan meja pingpong. Kesenangan dan kecerdasannya pada mata pelajaran matematika, ilmu alam, ilmu ukur dan kimia (Ilmu Pengetahuan Alam) semakin menonjol. Dia selalu dapat nilai delapan dan sembilan. Matematika selalu sembilan. Tapi, nilai mata pelajaran lainnya tidak begitu bagus. Selain karena terlalu banyak bermain dan terkadang piknik dengan teman-teman, sehingga ada penurunan fokus pada pelajaran di sekolah, juga karena persaingan di SMA itu sudah lebih ketat dibanding ketika SMP, sehingga dia pun tak juara lagi saat di SMA.
Namun, kendati tidak juara lagi lulus SMA (1959), dia masih bisa lulus Sipenmaru (Seleksi penerimaan mahasiswa baru) Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjara (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB), yang kala itu persaingannya sudah ketat. Dia mendaftar di kedua Perguruan Tinggi Negeri ternama itu, supaya punya alternatif. Siapa tahu di salah satu tidak diterima. Ternyata, dia lulus di keduanya. Namun, kakaknya yang sudah lulus ITB kala itu dan kakaknya yang lagi kuliah di UGM Yogyakarta, menyarankan pilih ITB saja. Dia pun sepaham dengan kedua kakaknya. Hanya saja, dia masih ragu mau pilih jurusan apa?
Kakaknya menyarankan masuk teknik sipil saja. Akhirnya dia pilih masuk jurusan teknik sipil. Namun, setelah masuk teknik sipil, Rauf merasa terlalu capek. Pasalnya, setiap minggu harus mengikuti praktikum tiga kali, yaitu setiap hari Selasa, Rabu dan Sabtu. Lalu, dia berpikir pindah ke jurusan teknik elektro, karena dia pikir di sana tidak ada praktek-praktek, kalau pun ada tidak seberat teknik sipil. Rauf pun mengemukakan kepada kakaknya, mau pindah ke elektro. Tapi, ketika itu tiba-tiba banyak yang pindah dari elektro ke teknik sipil, biologi dan kimia.
Seorang temannya, keturunan Tionghoa, lupa namanya, bertanya: “Kenapa pindah dari teknik sipil ke elektro? Temannya itu menyarankan, supaya jangan! Temannya menjelaskan alasannya, kalau lulusan elektro paling-paling kerja di PLN, sedangkan kalau lulusan teknik sipil bisa kerja di mana-mana. Benar juga. Akhirnya, Rauf mengurungkan niatnya pindah ke elektro, namun harus pindah dari teknik sipil. Akhirnya, dia pilih pindah ke teknik kimia.
Selama kuliah, Rauf tetap tinggal di rumah kakaknya lulusan ITB dan sudah bekerja sebagai Direktur Utama di sebuah perusahaan swasta. Dia pun tidak lagi naik sepeda ke kampus (kuliah). Dia sudah pakai sepeda motor, Vespa. Mahasiswa pakai Vespa ketika itu sudah terbilang gagah, keren. Tapi, kuliahnya lama selesainya, lebih 10 tahun. Memang, bukan lama karena belum lulus dalam mata kuliah dan kerja praktek, melainkan lama dalam penelitian.
Pada masa itu, belum dikenal sistem SKS (Satuan Kredit Smester), tetapi smester dengan kurikulum 5,5 tahun. Selain duduk di ruang kuliah, tambah lagi kerja praktek dua kali tiga bulan, lalu membuat paper, membuat rancangan pabrik, dan penelitian. Jadi masa kuliah saat itu lebih lama daripada sekarang (sistem SKS).
Dalam menyelesaikan mata kuliah sesuai kurikulum 5,5 tahun dia tepat waktu. Juga dua kali kerja praktek dan penyusunan paper, dia tidak mengalami kesulitan menyelesaikannya. Bahkan ada pengalaman unik ketika dosen memberikan tugas membuat paper tentang mikro bio kimia, kepadanya bersama seorang temannya bernama Fachri MD. Suatu tugas yang terbilang susah. Namun, mereka berdua yakin bisa bekerjasama menyelesaikannya. Apalagi mereka berdua sama-sama punya motor Vespa, sehingga transportasi dan komunikasi lancar.
Mereka sepakat menyusun paper tersebut di rumah tempat tinggal Rauf. Pasalnya, mereka bisa memakai mesin tik milik kakak Rauf. Setelah mengumpulkan bahan-bahan, Rauf pun memulai dengan mengetik pendahuluan. Melihat dia mengetik sangat lambat, Fachri bertanya: “Kamu bisa ngetik gak? Kapan selesainya kalau ketiknya begitu?”
“Memang begini yang saya bisa,” jawab Rauf.
“Kalau begitu, biar saya yang susun dan ketik. Tapi nanti kamu yang presentasi,” kata Fachri mengambil-alih. Rauf mengakui bahwa Fachri lebih pintar menyusun paper, apalagi mengetiknya.
“Oke siap. Kamu yang menyusun (mengetik), saya yang presentasi. Tapi, kalau ada pertanyaan kamu yang menjawab,” ujar Rauf, senang.
Fachri berpikir sejenak. “Begini saja, biar saya yang presentasi, kamu yang jawab pertanyaan,” ujarnya. Rauf mengyakan saja. Setelah selesai, mereka pun mempresentasikannya. Karena Fachri yang menulis di papan tulis, akhirnya pertanyaan lebih banyak ditujukan kepadanya. Uniknya, setelah presentase paper itu selesai, malah Rauf yang lulus, sedangkan Fachri tidak lulus. Padahal, Fachri yang menyusun dan mengetik paper tersebut. Fachri harus mengulang menyusun paper lagi. Setelah Rauf sudah tamat dan bekerja dua tahun, mereka pun ketemu lagi di stasiun kota, Jakarta. Saat itu Fachri sudah lulus juga dan melanjut ke Amerika. “Sialan lo,” katanya menyapa Rauf. Mereka tertawa terpingkel-pingkel, teringat saat menyusun paper tersebut.
Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |
04 | Penelitian Sulit dan Terganggu G-30-S/PKI
Hal yang membuat Rauf begitu lama menyelesaikan kuliahnya adalah tugas penelitian. Penelitiannya lama karena sangat sulit dan terganggu pula akibat terjadinya G-30-S/PKI. Menjelang dan apalagi setelah pemberontakan G-30-S/PKI tersebut suhu politik di tanah air sangat panas. Kondisi perekonomian makin memburuk dan inflasi makin merajalela (hingga mencapai 600 persen). Kampus bergejolak, termasuk mahasiswa ITB, menyuarakan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) dengan tuntutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) yakni: 1) Bubarkan PKI, 2) Retool (Bubarkan) Kabinet Dwikora, dan 3) Turunkan Harga.
Sebelum G-30-S/PKI meletus, di Kampus ITB telah memanas konfrontasi intern kemahasiswaan antara Dewan Mahasiswa ITB dengan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), salah satu organisasi mahasiswa yang berafliasi (kaki tangan) komunis. Kemudian setelah G-30-S/PKI, mahasiswa menuntut pembubaran PKI dan organisasi di bawahnya, termasuk CGMI.
Lalu, pada 25-28 Juli 1966 diadakan musyawarah kerja Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM-ITB), dengan dua keputusan penting, yakni: 1) Dewan Mahasiswa ITB adalah badan eksekutif yang melaksanakan garis-garis besar dalam kehidupan kemahasiswaan yang telah ditetapkan oleh Permusyawaratan Mahasiswa ITB. Badan ini dibentuk oleh MPM dan bertanggung jawab kepada MPM; 2) Badan Pertimbangan Mahasiswa (BPM) ITB: terdiri dari wakil-wakil organisasi mahasiswa extra universiter (minus CGMI, Germindo, Resimen Mahasiswa, dan wakil-wakil badan kerja yang berstatus otonom). BPM tidak berada di bawah DM ITB, bertugas memberi saran dan pertimbangan terhadap DM (diminta maupun tidak).
Kemudian, pada 1967 sampai 1970 mahasiswa ITB melakukan berbagai gerakan penegasan eksistensi mahasiswa dalam kampus dan negara. Di antaranya, ITB memprakarsai konsolidasi DM se-Asia Tenggara. ITB juga berperan dalam menyuarakan ‘petisi keadilan’ yang menuntut pemerintah untuk melakukan kontrol terhadap penggunaan keuangan negara. Peristiwa naas, pada 6 September 1970 terjadi konfrontasi mahasiswa dengan aparat ABRI yang mengakibatkan terbunuhnya seorang mahasiswa ITB Rene L. Conrad. Namun, peristiwa ini tidak menyurutkan semangat juang mahasiswa, dilanjutkan lagi dengan gerakan anti lapar (1971-1972) dalam rangka memprotes penanganan Bulog atas sembilan bahan pokok.
Suasana dan kondisi ekonomi memprihatinkan dan hiruk pikuk politik tersebut, sangat mengganggu konsentrasi para mahasiswa, termasuk Rauf Purnama dalam menyelesaikan studinya. Sama dengan Muslimin Nasution, yang satu angkatan dengannya, juga lama menyelesaikan kuliahnya karena faktor penelitian dan gangguan G-30-S/PKI. Namun, selain karena gangguan G-30-S/PKI itu, faktor yang memengaruhi Rauf sehingga kurang bergairah menyelesaikan penelitiannya juga karena dosen pembimbing memberikan tugas penelitian yang sangat sulit. Yakni, mengukur kecepatan garam dalam pembuatan telor asin. Dia sempat mendatangi hampir semua tempat pembuatan telor asin di Bandung, tapi tetap saja dia merasa kesulitan mengerjakannya. Bagaimana mengukur kecepatan garam dalam pembuatan telor asin? Dia pun membolak-balik bahan bacaan di perpustakaan, tapi tak menemukan jawaban. Akibatnya, lama kelamaan dia menjadi kurang antusias. Datang ke perpustakaan, baca-baca lima menit, sudah keluar.
Karena kuliah (penelitian) begitu lama belum bisa diselesaikan, malu juga rasanya kalau terus tinggal (bengong) di rumah kakaknya. Akhirnya, dia pindah ke asrama mahasiswa, bergabung dengan teman-temannya dengan berbagai aktifitas kemahasiswaan. Mula-mula sebagai penghuni gelap. Namanya tidak resmi terdaftar, tapi wajib bayar uang asrama dengan tarif lebih tinggi dari penghuni resmi. Awalnya, agak kurang nyaman juga perasaannya. Tapi lama-lama, dia merasa enak juga tinggal di asrama itu.
Bersamaan dengan itu, di tengah kekuranggairahan menyelesaikan tugas penelitian, dia diminta oleh seorang dosen mengajar bimbingan tes di ITB. Dari pada bengong, dia menerima ajakan tersebut dan melakoninya dengan baik. Banyak siswa bimbingannya diterima masuk ITB. Tak berapa lama kemudian, dia diminta menjadi Asisten Dosen Luar Biasa, bidang kimia fisik, yang bertugas memberikan laporan praktikum saja. Tugas asisten dosen luar biasa itu ditekuninya sejak 1967 sampai 1970.
Karena sudah merasa betah tinggal di asrama, akhirnya dia pun resmi mendaftar. Karena nilai kuliahnya tidak jelek, bahkan termasuk bagus, juga seorang aktivis, apalagi sudah menjadi asisten dosen luar biasa, maka begitu dia mendaftar, langsung diterima.
Setelah beberapa saat tinggal di asrama tersebut, semangatnya untuk segera menyelesaikan tugas penelitian yang menjadi kendala pnyelesaian kuliahnya itu bangkit. Di asrama itu, dia termotivasi oleh para seniornya. Di antaranya, Iin Arifin Takhyan (mantan Wakil Dirut Pertamina). Para senior itu bertanya, kapan kamu selesai kuliah? Dorongan itu membuatnya terpacu untuk lebih fokus menyelesaikan penelitiannya. Lalu, dia berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Dia meminta obyek penelitiannya diubah, karena merasa sangat sulit mengukur kecepatan garam dalam pembuatan telor asin. Setelah melalui dialog panjang, akhirnya dosen pembimbing menyetujui perubahan obyek penelitiannya menjadi cara membuat perekat untuk plywood dari formalin dengan panel, panel formalin high.
Selama setahun lebih, walaupun seorang diri, dia tekun melakukan penelitian di laboratorium ITB serta mengetesnya berulang kali di Balai Penelitian Bahan Bangunan di Bandung Selatan. Akhirnya, penelitiannya berhasil menemukan perekat (glue) untuk plywood (triplek atau multiplek) tahan air dan suhu tinggi, marine plywood. Dites disimpan di dalam air dan di suhu udara tertentu selama satu minggu, lem perekatannya tetap kuat. Bahkan sifatnya makin kena panas semakin kuat.
Juga diuji dorong dengan tekanan tinggi, bukan lem perekat kayunya yang lepas, tetapi malah kayunya yang hancur. Temuan hasil penelitian ini tergolong marine plywood, memakai panel formalin the high atau melamin formalin the high. Plywood ini layak dipakai untuk kapal-kapal yang tahan air laut. Jauh lebih kuat dari plywood (triplek, kayu lapis) yang biasa dipakai untuk keperluan rumah yang hanya pakai urea formalin, yang lebih murah, tapi tidak tahan air. Sayang hasil temuannya tersebut sampai sekarang belum diaplikasikan dalam industri plywood.
Setelah menyelesaikan penelitian dengan temuan perekat plywood berkelas marine plywood tersebut, dia pun menyelesaikan kuliahnya setelah mempertahankannya di hadapan sidang dosen penguji (meja hijau) pada tahun 1972. Seingatnya, dia lulus bersamaan dengan Abdul Ghani, Achmad Sabur, Farouq A. Rakhim, Gondo Maruto dan Irman Nurdin. Dia pun berhak menyandang gelar insinyiur (Ir) jurusan teknik kimia. Kemudian, langkahnya tegap memasuki dunia baru, mengaplikasikan ilmu pengetahuannya dalam dunia kerja (karya nyata) seraya terus belajar dan mengasah diri sepanjang hayat.
Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com |
Footnote:
George Herbert Palmer, Profesor filsafat Harvard University (1872-1913), pria kelahiran Boston, Amerika Serikat, 19 Maret 1842 ini meninggal 7 Mei 1933. Menikah dengan Alice Freeman Palmer, Presiden Wellesley College. (goodreads.com).
Tawakal, berserah diri sepenuhnya kepada Allah, percaya sepenuh hati kepada Allah, dalam menghadapi semua kondisi penderitaan, tantangan, keberhasilan dan sebagainya. Berasal dari bahasa Arab tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan.
Pendudukan Jepang (Nippon) di Indonesia dimulai 8 Maret 1942 (ditandai dengan menyerahnya Belanda di Kalijati, Subang) dan berakhir pada 17 Agustus 1945 (seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno dan Hatta). Pada awal Perang Dunia II, Mei 1940, tentara Nazi Jerman menaklukkan Belanda. Jepang yang bersekutu dengan Jerman bergerak menaklukkan Asia Tenggara, setelah 7 Desember 1941 tentara Jepang menyerang pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii. Kedatangan Jepang ke Indonesia (Hindia Belanda) pada awalnya dianggap akan memperjuangkan nasib rakyat Indonesia yang telah menderita akibat penjajahan Belanda. Awalnya, untuk menarik simpati rakyat Indonesia, Jepang mempropagandakan Gerakan Tiga A dengan semboyan: Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia. Ternyata pendudukan Jepang telah membuat rakyat semakin sengsara dibandingkan dengan pada masa penjajahan Belanda. Hingga pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat membalas dengan menjatuhkan bom ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, bangsa Indonesia masih harus berjuang dalam perang kemerdekaan mengahadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Pada 23 Agustus 1945 tentara Belanda sudah mendarat di Sabang, Aceh. Kemudian, 15 September 1945, tentara Belanda dan sekutu tiba di Jakarta, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration – pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr Hubertus J van Mook.
Ir. Rauf Rauf Purnama, Wawancara TokohIndonesia.com, di Jakarta, 8 Agustus 2012
Rajab adalah bulan ke tujuh dari penggalan Islam qomariyah (hijriyah), merupakan salah satu bulan haram, artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, yakni: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram menjadi hujjah atau landasan mengenai keutamaan puasa di bulan Rajab. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda “Puasalah pada bulan-bulan haram.” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Institut Teknologi Bandung (ITB), perguruan tinggi negeri (teknik) ternama di Bandung. Kampus ITB (Ganesha) merupakan lokasi sekolah tinggi teknik pertama (lembaga pendidikan tinggi pertama) di Indonesia (Hindia-Belanda) bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS Bandoeng) yang berdiri 3 Juli 1920, dengan satu fakultas, de Faculteit van Technische Wetenschap dan satu jurusan, de afdeeling der Weg-en Waterbouwkunde. Dari sini Presiden Soekarno meraih gelar insinyurnya dalam bidang teknik sipil. Tahun 1945 berubah nama menjadi Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Namun, pada tahun 1946, STT Bandung dipindahkan ke Yogyakarta dan menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Kemudian, Universiteit van Indonesie berdiri pada 21 Juni 1946 dan salah satu fakultasnya berkedudukan di Bandung (bekas lokasi THS Bandoeng) yakni Faculteit van Technische Wetenschap, yang kemudian sejak 2 Februari 1950 menjadi Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam. Lalu, pada 2 Maret 1959, kedua fakultas ini secara resmi berdiri sendiri (memisahkan diri dari Universitas Indonesia) menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Kini, ITB telah memiliki reputasi internasional. Sampai 2012, telah memiliki empat program studi yang terakreditasi secara internasional dari salah satu lembaga akreditasi independen di Amerika Serikat, Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET).
G-30-S/PKI, Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia, sering disingkat G-30-S/PKI, atau Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), juga Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sebuah peristiwa yang terjadi lewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana tujuh perwira TNI Angkatan Darat dibunuh secara keji dalam suatu pemberontakan atau usaha percobaan kudeta yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kudeta ini ditandai isu isu Dewan Jenderal (Dokumen Gilchrist) yang mulai menyebar di kalangan elit politik sejak tanggal 26 Mei 1965. Disusul isu tentang penyakit Presiden Soekarno. Sebelumnya, pada 7 Januari Presiden Soekarno berpidato di muka Rapat Umum Anti Pangkalan Militer Asing di Jakarta, menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Pada 14 Januari, PKI menuntut agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Sekitar April, beberapa pemimpin negara sahabat berkunjung ke Jakarta, antara lain, PM Republik Demokrasi Rakyat Korea Kim Il Sung (10 April), PM Vietnam Pham Van Dong (15-25 April), dan PM RRC Chou En Lai (22-25 April). Ada juga kunjungan Presiden Rumania Shivu Stoica (15-18 Agustus). Pada 18-24 April, peringatan dasawarsa Konfrensi Asia-Afrika di Bandung. Perayaan Proklamasi 17 Agustus, 20 tahun Indonesia merdeka, diselenggarakan dalam kondisi keprihatinan. Pada 21 September, Partai Murba dibubarkan. (30 Tahun Indonesia Merdeka, Sekretariat Negara, 1985, hlm 19-40)
Berbagai elemen mahasiswa, termasuk ITB, pemuda dan pelajar yang tergabung dalam beberapa organisasi dan kesatuan aksi serta aktif dalam pergerakan menyuarakan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera) dengan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang dicetuskan tanggal 10 Januari 1966, di Salemba, Jakarta, kemudian menamakan diri Angkatan ’66 atau disebut juga Eksponen ’66. Tanggal 10 Januari 1966 dijadikan sebagai tonggak sejarah lahirnya Angkatan ’66, yang belakangan di beberapa kota diperingati. (Pusat Data Tokoh Indonesia).
Data Singkat
Rauf Purnama, Presdir PT Bakrie Kimia Investama / Pembentukan Jati Diri | Ensiklopedi | CEO, pemuda, insinyur, kimia, anak, remaja, PAUD, Rauf Purnama