Pemikir dan Pelaku Industri Pupuk
Rauf Purnama03 | Pengembangan Pupuk Phonska

Dengan penggunaan pupuk phonska (produksi gabah kering panen meningkat rata-rata 2,45 ton per hektar), maka akan terjadi peningkatan produksi sebesar 12,985 juta ton gabah kering panen (GKP), atau setara 5,8 juta ton beras per tahun. Maka swasembada pangan bukan lagi angan-angan, tapi bisa diwujudkan.
Menurut Rauf, banyak keuntungan yang bisa dipetik dari pengem-bangan industri pupuk phonska. Selain meningkatkan produksi padi juga mempunyai keuntungan dari tambahan pendapatan ekspor urea. Jika Indonesia bisa memproduksi 2,8 juta ton phonska, maka terjadi peningkatan ekspor urea sebesar 913.000 ton. Dengan demikian ada tambahan devisa dari produsen urea secara nasional sebesar 31,95 juta dolar AS.
Latar belakang pengembangan industri pupuk majemuk, antara lain karena selama tiga dasawarsa petani di Indonesia menggunakan pupuk tunggal dalam melaksanakan usaha taninya, tidak mampu lagi meningkatkan produksi. Sementara para petani negara-negara tetangga sudah lama menggunakan pupuk majemuk. Selain itu, dengan dicabut-nya tata niaga dan subsidi pupuk oleh pemerintah, serta rendahnya harga produk pertanian, khususnya beras, mengakibatkan para petani tidak mampu membeli pupuk. Sehingga program pemupukan berimbang kurang berhasil dengan baik. Itulah sebabnya produktifitas hasil pertanian tidak dapat ditingkatkan.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, Rauf saat memimpin Petrokimia Gresik, sejak 1998 merintis pembangunan pabrik pupuk majemuk phonska pertama di Indonesia, dengan kapasitas produksi 300.000 ton per tahun. Pabrik ini beroperasi secara komersial mulai November 2000.
Dalam hubungan ini, Petrogres telah mengembang-kan proyek ketahanan pangan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogyakarta dan Jawa Timur. Pada tahun tanam 2000, proyek ketahanan pangan ini dikembangkan di atas lahan 100 ribu ha. Cakupannya akan diperluas hingga 400 ribu hektar.
Ketika itu, dia pun merencanakan pengembangan pabrik pupuk majemuk Phonska II Petrogres dengan kapasitas 800.000 ton per tahun. Realisasi pembangunan pabrik ini masih tertunda, yang diharapkan tahun 2005 dapat beroperasi secara komersil. Di samping itu ada program modifikasi SP 36 menjadi phonska dengan kapasitas 1 juta ton per tahun, sehingga pada 2006-2007 produksinya menjadi 2,3 juta ton per tahun. Sehingga dapat memberikan pemupukan 4,6 juta hektar lahan sawah padi yang akan memberikan penambahan produksi GKP 11,27 juta ton (4,6 juta x 2,45 ton) atau 5 juta ton beras (11,27 juta ton x 0,8 x 0,56) per tahun.
Selain itu, juga direncanakan produksi DCP (di calcium phosfat) untuk meningkatkan pertumbuhan ternak. Hal ini sudah dicoba dan bisa menaikkan 1,3 -1,7 kg per hari. Serta rencana produksi pupuk potas atau potasium sulfat (K2SO4) khusus untuk tembakau.
Ketika memimpin Petrogres, dia berhasil menyehatkan perusahaan ini dari kondisi keuangan perusahaan yang kurang sehat. Labanya kecil sekali dan selalu disubsidi oleh pemerintah. Meskipun demikian, sebagai BUMN Petroges adalah perusahaan industri pupuk yang pertama sekali melepaskan diri dari ketergantungan akan subsidi. Pemerintah menghentikan subsidinya pada akhir tahun 1994, sedangkan subsidi bagi perusahaan lainnya dihentikan tahun 1998.
Ketika berbicara kepada Tokoh Indonesia, Rauf tidak mau membicarakan masa lalu terutama saat dia memimpin Petrogres. Tetapi, menurut data yang diperoleh Tokoh Indonesia dari Petrogres, bahwa selama 23 tahun perusahaan beroperasi, memperoleh laba tertinggi pada tahun 1986 dan 1987, yakni sebesar Rp 40 miliar. Sebelum 1986-1987 kalaupun ada untungnya sangat kecil, malah lebih banyak ruginya. Sedangkan setelah 1987 sampai 1995 (sebelum Rauf Purnama memimpin Petrogres) untungnya di bawah Rp 20 miliar.
Bahkan sampai pertengahan 1995 Petrogres mengalami kerugian Rp 30 miliar. Petrogres bisa beroperasi karena menerima subsidi dari pemerintah sebesar Rp 350 miliar per tahun tanpa PPn.
Di tangan Rauf, perusahaan ini memasuki babak baru. Dia melaku-kan efisiensi di sana-sini. Lubang-lubang yang selama itu menganga, ditutupnya. Dia melakukan penghe-matan. Misalnya, dalam pembelian bahan baku fosfat, yang tadinya 62 dolar AS per ton di tahun 1995, dite-kan menjadi 53-37 dolar AS per ton pada 1999-2001. Harga fosfat bisa ditekan karena membeli dari beberapa sumber, sehingga perusahaan dapat menghemat biaya bahan baku.
Contoh penghematan lain adalah dipercepatnya proyek tembaga yang bisa menghasilkan (hasil samping) asam sulfat sebagai bahan baku pupuk dengan harga di bawah $ 15 per ton. Sedangkan harga impor $ 40 per ton. Di samping itu diadakan modifikasi pupuk TSP menjadi SP 36 yang harganya lebih murah bagi petani.
Terbukti, hanya dalam tempo enam bulan, terjadi perubahan yang signifikan. Sewaktu tutup buku 1995, Petrogres yang tadinya rugi, akhirnya memperoleh laba Rp 6,07 miliar.
Karena sudah mampu berdiri sen-diri, sejak tahun 1995, pemerintah pun menghentikan kucuran subsidi-nya. Laba perusahaan naik menjadi Rp 62,71 miliar di tahun 1996, dan Rp 62,68 miliar pada 1997. Bahkan, pada saat perekonomian nasional mulai ambruk karena krisis ekonomi, Petrogres sepertinya tak tergoyahkan. Sebab, ketika tutup buku 1998, perusahaan ini masih mengantongi laba Rp 148,34 miliar, dan naik menjadi Rp 391,94 miliar pada tahun 1999 dari rencana Rp 166,51, dan Rp 257,8 miliar di tahun 2000 dari rencana Rp 180 miliar.
Begitu juga rasio omset per karyawan meningkat dari tahun ke tahun. Rasio omset per karyawan pada tahun 1995 sebesar Rp.175,70 juta, meningkat menjadi Rp.217 ,51 juta (1996), Rp.219,78 juta (1997), Rp.337,91 juta (1998), Rp.534,45 juta (1999) dan Rp.597,52 juta (2000). Nilai penjualan juga selalu naik dari Rp 724,76 milyar pada tahun 1994 menjadi Rp 1,75 trilyun tahun 2000.
Ketika banyak industri melakukan pemutus-an hubungan kerja (PHK) terhadap karyawannya karena krisis, sebaliknya Petrogres melakukan beberapa kali peningkatan gaji karyawannya. Penghasilan karyawan terendah yang sebelumnya Rp 357.000 per bulan pada 1995, ditingkatkan menjadi Rp 910 ribu pada 2001.
Tak hanya kenaikan gaji, perusahaan pun membangun 602 unit rumah yang sangat diharapkan oleh para karyawan, karena perusahaan memberikan fasilitas kredit dengan bunga ringan, sehingga tidak memberatkan mereka.Tidak hanya ke dalam, dia memberi perhatian yang cukup besar terhadap pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK).
Hal ini diwujudkan dengan pemberian fasilitas dana dalam bentuk hibah maupun dana revolving. Tahun 1995 dana yang disalurkan sebesar Rp 331 juta, meningkat menjadi Rp 592 juta (1996), Rp 635 juta (1997). Pada saat krisis ekonomi mencapai puncaknya, Petrogres malah meningkatkan bantuan. Tahun 1998 dana yang disalurkan Rp 1,20 miliar, naik menjadi Rp 4,72 miliar, dan Rp 13,10 miliar tahun 2000.
Posisi modal sendiri dan jumlah utang pada tahun 1994 mencapai perbandingan 20 : 80 (modal sendiri Rp 347,8 milyar dan jumlah utang Rp 1,466 trilyun). Pada tahun 2000 perbandingan jumlah modal sendiri dengan jumlah utang menjadi 40 : 60 (modal sendiri Rp 880 milyar dan utang Rp 1,339 trilyun). Hal ini sudah termasuk tambahan pinjaman untuk industri pupuk phonska sebesar Rp 220 milyar. Pada saat serah terima jabatan, Mei 2001, posisi Petrogres sangat baik, mempunyai deposito sebanyak Rp 511 milyar dan piutang Rp. 300 milyar.
Bahkan ia sudah membuat rencana perkembangan Petrogres sampai tahun 2006. Direncanakan laba setelah pajak tahun 2001 mencapai Rp 323,95 milyar, tahun 2002 Rp.321,85 milyar, 2003 Rp.351,09 milyar, 2004 Rp.438,24 milyar, 2005 Rp.628,74 milyar dan 2006 naik lagi menjadi Rp.698,91 milyar.
Begitu juga rasio omset per karyawan, direncanakan selalu naik dari Rp 661,34 juta tahun 2001 menjadi Rp 1.012,08 juta tahun 2006. Sementara total aset diperkirakan akan selalu naik dari Rp 1.969,64 milyar tahun 2001 menjadi Rp 6.126,46 milyar tahun 2006. Nilai penjualan Petrogres dalam rencana yang dibuat Rauf Purnama juga akan terus mengalami kenaikan dari Rp.2.647,34 milyar tahun 2001 menjadi Rp 4.554,38 milyar tahun 2006. Jumlah karyawan juga akan bertambah dari 4000 orang (2001) menjadi 4.500 orang (2006). Selengkapnya lihat tabel. (Namun, kini berbagai target ini tidak bisa dicapai setelah ia tidak di Petrogres lagi).
Prestasi serupa juga telah mulai diciptakannya setelah ia memimpin PT ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) sejak pertengahan tahun 2001. Ia memang seorang CEO bertangan dingin. Ketika ia masuk AAF, pabrik dalam keadaan mati karena pasokan gas terhenti akibat faktor keamanan. Namun, satu tahun di tangannya, tahun 2002, AAF telah meraih keuntungan sebesar Rp.186 miliar sebelum pajak.
Industri Substitusi Enerji
Selain itu, sebagaimana lazimnya ia memimpin di setiap perusahaan, ia selalu membuat rencana perusahaan dalam 10 tahun. Baik di Pupuk Kujang maupun di Petrogresik. Kini di AAF juga sudah dibuat rencana perkembangan perusahaan dalam 10 tahun ke depan.
Bahkan beberapa orang yang mengenalnya, menilai pria yang berpandangan hidup, sebaik-baiknya orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain, ini pantas saja diberi kesempatan lebih besar untuk dapat mewujudkan idenya mengembangkan berbagai jenis industri termasuk substitusi enerji itu.
Suami dari Mien Gunarsyah dan ayah dari 3 anak (2 laki-laki, 1 perempuan) ini telah mengukir prestasi yang patut ditularkan kepada banyak orang. Ia telah memperoleh berbagai penghargaan, antara lain, Sempana Karya Nugraha 1998 dan Tanda Kehormatan Satyalencana Pembangunan & Bakti Koperasi, PK&M 1999.
Pria yang enerjik, segar bugar dan inovatif, ini gemar berolahraga untuk menjaga kesehatan dan kesegaran jasmaninya. Ia juga sosok yang tulus dan akrab dengan selalu menebar suka-cita kepada lawan bicaranya. Terutama, selalu pasrah dan taqwa kepada Allah penciptanya. Baginya tidak ada batas usia untuk mengemban amanah dari masyarakat, bangsa dan negara, terutama dari Allah yang mengasihinya. Ch. Robin Simanullang (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 01)