Pemimpin Redaksi Perempuan Pertama di Harian Kompas
Ninuk Mardiana Pambudy
Ninuk Mardiana Pambudy adalah jurnalis kawakan yang meniti karier dari bawah tanpa mengandalkan status sebagai putri pejabat tinggi negara. Dengan karakter yang rendah hati, tekun, dan profesional, ia menjalani proses seleksi ketat dan bekerja keras sebagai wartawan lapangan sebelum akhirnya menorehkan sejarah sebagai pemimpin redaksi perempuan pertama di Harian Kompas. Selama lebih dari tiga dekade, ia terlibat dalam berbagai liputan investigatif, isu sosial, dan kebijakan publik, selalu menjunjung tinggi independensi dan etika jurnalistik. Dedikasinya dalam dunia pers menjadikannya sosok inspiratif yang membuktikan bahwa keberhasilan diraih bukan karena privilese, melainkan kerja keras, idealisme, dan komitmen terhadap kebenaran.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Ninuk Mardiana Pambudy lahir pada 29 April 1960 dalam lingkungan keluarga yang dekat dengan pemerintahan. Ia adalah putri dari Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Meskipun berasal dari keluarga pejabat tinggi, Ninuk Pambudy tumbuh dengan nilai-nilai kemandirian yang kuat. Ia menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan meraih gelar sarjana di bidang Agronomi pada tahun 1983. Meski memiliki latar belakang akademik di bidang pertanian, minatnya terhadap dunia media dan sosial membawanya melanjutkan studi ke Program Kajian Wanita di Universitas Indonesia, di mana ia meraih gelar magister pada tahun 2003 dengan predikat cum laude.
Sejak masih di bangku kuliah, ketertarikannya pada jurnalistik sudah mulai tumbuh. Setelah lulus dari IPB, ia bergabung dengan Harian Kompas pada tahun 1984 sebagai wartawan. Meski memiliki ayah yang berpengaruh di pemerintahan, ia tetap menjalani proses seleksi seperti kandidat lainnya. J. Widodo, pimpinan Kompas saat itu, meyakinkannya bahwa penerimaannya murni karena kredibilitas dan kemampuannya. Di tahun-tahun awal, Ninuk Pambudy banyak bertugas di lapangan, meliput berbagai peristiwa dan menulis beragam isu penting. Keuletannya dalam menulis serta ketajamannya dalam menganalisis isu-isu sosial dan politik membuatnya cepat mendapat kepercayaan menempati posisi strategis.
Pada tahun 1988, ia dipercaya sebagai Pjs Editor Iptek Kompas, sebuah posisi yang membutuhkan pemahaman mendalam dalam sains dan teknologi. Kariernya terus menanjak, dan ia kemudian menjabat sebagai Editor Desk Kompas Minggu (1991-1998). Di periode ini, ia mulai mengelola rubrik yang lebih luas, termasuk isu sosial dan budaya. Tahun 1999, ia dipercaya mengelola suplemen Swara yang membahas isu-isu gender, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Wakil Editor Desk Non-Berita pada 2000 hingga 2010 dengan fokus pada liputan gaya hidup. Pada 2010, ia menjadi Editor Desk Investigasi, posisi yang mengharuskannya menangani berbagai laporan investigatif mendalam. Dengan pengalaman dan integritasnya, pada Juni 2012 ia diangkat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas. Posisi ini membawanya lebih dekat dalam menentukan arah kebijakan redaksi salah satu surat kabar terbesar di Indonesia. Akhirnya, pada 2018, ia mencatat sejarah dengan menjadi pemimpin redaksi perempuan pertama di Harian Kompas.
Sebagai wartawan, Ninuk Pambudy dikenal sebagai sosok yang disiplin dan memiliki integritas tinggi. Maria Hartiningsih, rekan seangkatannya di Kompas, menceritakan bagaimana mereka berdua mengikuti seleksi masuk Kompas bersama lebih dari 500 orang lainnya. Dari angkatan pertama yang diterima, Maria Hartiningsih kemudian mengetahui bahwa Ninuk Pambudy memiliki nilai tertinggi dalam seleksi tersebut. Namun, di tempat kerja, Ninuk Pambudy tidak pernah menyebut identitasnya sebagai anak pejabat tinggi. Ia berusaha membaur dengan rekan-rekan sesama wartawan dan menjalani kehidupan yang sederhana. Bahkan, ia menolak segala bentuk privilege yang mungkin datang dari latar belakang keluarganya. Maria Hartiningsih mengingat momen saat mereka mengalami perlakuan kurang baik dari pengawal dalam suatu liputan. Ketika Maria Hartiningsih merasa marah, Ninuk Pambudy justru meredam emosinya dan mengatakan, “Mereka hanya menjalankan tugasnya.”
Ninuk Pambudy menjalani karier jurnalistiknya dengan tekun. Ia bahkan pernah berada dalam kebimbangan antara melanjutkan studi ke luar negeri atau menikah, dan juga sempat mempertimbangkan untuk berhenti bekerja setelah melahirkan anak keduanya. Namun, kecintaannya pada dunia jurnalistik membawanya untuk terus melangkah. Maria Hartiningsih mengenang bagaimana Ninuk Pambudy sering membawa anaknya ke kantor dan menidurkannya di bawah meja kerja ketika ia harus bertugas hingga larut malam sebagai editor Kompas Minggu. Komitmennya terhadap isu-isu perempuan juga terlihat dalam perjuangannya membangun dan merawat rubrik Swara bersama rekan-rekan lainnya di Kompas. Mereka sering mengikuti diskusi dan menulis laporan mengenai pelanggaran hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan perempuan.
Sebagai pemimpin redaksi, Ninuk Pambudy juga menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan independensi media di tengah tekanan politik yang kuat. Tjahja Gunawan, mantan wartawan Kompas, mencatat bagaimana perannya menjadi sorotan terutama dalam Pilpres 2019. Dalam peranannya sebagai pemimpin redaksi, Ninuk Pambudy harus menghadapi berbagai tekanan dari berbagai kubu politik. Ia menjadi perbincangan publik setelah beredar foto dirinya bersama suaminya, Rachmat Pambudy, dan Prabowo Subianto di Hambalang. Suaminya, yang merupakan seorang akademisi dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), memiliki hubungan dengan Prabowo, yang kala itu merupakan ketua organisasi tersebut. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa Kompas telah bergeser dalam pemberitaannya.
Namun, bagi Ninuk Pambudy, pertemuannya dengan Prabowo adalah bagian dari tugas jurnalistiknya. Kompas, di bawah kepemimpinannya, berusaha menjaga keseimbangan dalam peliputan politik. Ia memahami bahwa dalam dunia media, kepercayaan publik adalah hal yang paling penting. Tjahja Gunawan menyoroti bahwa Ninuk Pambudy tidak hanya berusaha mempertahankan netralitas Kompas, tetapi juga berupaya menjaga integritas jurnalistik dalam menghadapi berbagai tekanan politik. Ia bahkan mendapat kritik dari sesama wartawan senior di internal Kompas karena dianggap terlalu dekat dengan salah satu calon presiden. Namun, ia tetap teguh dalam prinsipnya bahwa seorang jurnalis harus memiliki akses ke berbagai narasumber tanpa kehilangan independensinya.
Pepih Nugraha, wartawan senior yang pernah bekerja di Kompas, juga mengungkapkan bagaimana Ninuk Pambudy menghadapi badai politik di sekitar pemilu. Dalam tulisannya, Pepih Nugraha menggambarkan bagaimana Kompas yang selama ini distigmakan dekat dengan Jokowi, tiba-tiba menghadapi tudingan berbalik arah setelah survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi turun di bawah 50 persen. Hal ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk dari kubu pendukung Jokowi yang merasa Kompas telah berubah haluan. Dalam situasi yang serba sulit ini, Ninuk Pambudy tetap berdiri tegak menjaga independensi Kompas.
Sebagai jurnalis senior, Ninuk Mardiana Pambudy telah memberikan kontribusi besar terhadap dunia pers Indonesia. Kepemimpinannya di Harian Kompas membuktikan bahwa perempuan dapat berperan signifikan dalam industri media yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Dedikasinya dalam menjaga independensi pers, mengangkat isu-isu kritis, serta menegakkan standar jurnalistik yang tinggi menjadikannya salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh di dunia media Indonesia.
Warisannya sebagai pemimpin redaksi perempuan pertama di Kompas menjadi inspirasi bagi generasi wartawan berikutnya. Maria Hartiningsih, yang telah mengenal Ninuk Pambudy selama lebih dari tiga dekade, mengungkapkan kebanggaannya saat Ninuk Pambudy berhasil menembus glass ceiling dalam dunia jurnalistik. Tjahja Gunawan menyoroti bagaimana Ninuk Pambudy harus menghadapi tekanan besar dalam menjaga kredibilitas Kompas di tengah turbulensi politik yang semakin kompleks. Sementara itu, Pepih Nugraha menyoroti bagaimana Ninuk Pambudy berdiri di tengah badai politik tanpa kehilangan integritasnya, memastikan bahwa Kompas tetap menjadi sumber informasi yang kredibel bagi masyarakat. (atur/TokohIndonesia.com)
Referensi:
- AlumniIPBpedia.id
- Medsos Ninuk Mardiana Pambudy
- Media Online: Kompas, PrismaJurnal, Pepih Nugraha (Kompasiana), Maria Hartiningsih (Pepnews.com), PWI