Potret Keberagamaan Empiris
Moeslim Abdurrahman
[ENSIKLOPEDI] Master dan doktor antropologi University of Illinois, Urbana, Amerika Serikat, ini menemukan keberagamaan menurut pengalaman religiusnya sendiri. Ada perasaan kemanusiaan yang lebih humanis sifatnya, yang merupakan bagian dari artikulasi keberagamaan Direktur Ma’arif Institute for Culture, dan Direktur Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS) ini.
“Kalau saya mengikrarkan Islam rahmatan lil ‘âlamîn, saya mesti merasakannya dalam pergaulan yang lebih majemuk. Misalnya, sekarang ada orang-orang yang sudah seperti saudara dekat saya, tapi saya lupa agamanya apa,” kata pria kelahiran Lamongan, Jatim, 8 Agustus 1948 ini.
Dia mengaku, habitatnya adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Dia antara lain, menjabat sebagai ketua Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan, PP Muhammadiyah, anggota Dewan Penasihat Center for Strategic and International Studies (CSIS), Direktur Ma’arif Institute for Culture, dan Direktur Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (LPIS).
Lantaran aktivitasnya di berbagai LSM dan Ormas itu lulusan sarjana (S1) dari Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam (UMS=Universitas Muhammadiyah Surakarta), ini tidak pernah bersedia menjadi dosen tetap. Dia hanya bersedia menjadi dosen tamu, antara lain di Program Pascasarjana Studi Antropologi dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) serta Pascasarjana Antropologi dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Perhatian dan keterlibatannya pada gerakan masyarakat, LSM, dimulai ketika aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Solo. Setelah lulus dari Pesantren Raudlatul Ilmiyah yang ketat dan ortodoks di Kertosono.
Saat aktif di HMI, ia merasa ada pergulatan. Ia pernah menjadi ketua. Pergulatan terus berlanjut ketika diterima di Pusat Penelitian Ilmu Sosial di bawah bimbingan Dr Alfian (almarhum) dari LIPI. Pandangan-pandangannya yang normatif berubah ke empiris semakin kental saat bekerja di Badan Litbang Departemen Agama (1977-1989), dan merasa namanya mulai dikenal saat ada pertemuan anak-anak muda yang diselenggarakan Kompas di Pacet, Puncak, tahun 1984.
Setelah sempat mampir bekerja sebagai wartawan, dan terlibat dalam penelitian-penelitian di LIPI, Moeslim kemudian memfokuskan diri aktif dalam kegiatan LSM. Dia mendirikan Asosiasi Peneliti Indonesia, LSM yang kemudian menghasilkan peneliti-peneliti andal seperti Wardah Hafidz, Indro Tjahjono. Ia pun bergaul intensif dengan kalangan non-Islam di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Bapak dua putri-si sulung Ika Laili Rahmawati lulusan FE Pancasila dan si bungsu Liana Ade Rahmawati lulusan bachelor periklanan di Urbana-ini punya obsesi membangun aliansi berbagai kelompok kritis. Juga tak beropsi pada partai meskipun namanya pernah tercantum sebagai salah satu Ketua Partai Amanat Nasional (PAN).
Penulis buku berjudul Kang Towil yang bercerita tentang perantauan santri ke kota, lalu berubah menjadi seorang santri modern, ini lahir dari keluarga Muhamadiyah yang hidup sebagai petani di desa, tepatnya di Lamongan. Istrinya, Lily Agus Hidayati, juga anak seorang tokoh Muhammadiyah di Kediri.
Seperti keluarga lainnya, obsesi keluarganya adalah agar anaknya mondok di pesantren, lalu pulang paling tidak menjadi kiai kecil di pedesaan. Oleh karena itu, waktu selesai Sekolah Rakyat (SR), ia dikirim orangtuanya ke Pesantren Raudlatul Ilmiyah di Kertosono. Pesantren itu dikenal sebagai pesantren “keras” karena bercorak Wahabi.
Waktu itu terdapat beberapa pesantren -selain pesantren NU di Lasem, Tebuireng dan lain-lain- yang cukup dikenal masyarakat Lamongan. Di kalangan Muhamadiyah, waktu itu yang dikenal adalah pesantren Persis di Bangil, juga Pondok Modern Gontor, dan pesantren Kiai Salim Akhyar. Yang disebutkan terakhir ini sangat keras dalam hal-hal yang disebut bid’ah, khurafat, tahayul dan lain-lain.
Semasa kecil, dia sangat merasakan pertentangan antara Muhamadiyah dan NU. “Artinya, mereka mempertentangkan hal-hal kecil dan sepele hingga menjadi besar,” katanya dalam wawancara dengan Ulil Abshar-Abdalla (Jaringan Islam Liberal- www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=397).
Ketika di pesantren, dia tekun mengaji kitab untuk menyiapkan diri menjadi kiai di desa. Keluarganya selalu menitip membeli kitab-kitab agama pada mereka yang naik haji. Pada waktu itu, membeli kitab sangat susah. Ketika dia masih nyantri, di rumah sudah dibikinkan madrasah untuk dia kelola nantinya. Harapan orangtuanya, saat ia pulang, mesti mengurus madrasah, dijodohkan dengan seorang gadis, lalu menjadi kiai kecil.
Ada kisah menarik ketika itu. Madrasahnya dibuat dari bahan-bahan yang diambil dari pohon kelapa. Ketika angin kencang bertiup, madrasah itu ambruk. Betapa sedih hati ayahnya yang merupakan tokoh Muhamadiyah di sana. Sementara itu, orang-orang NU yang menjadi musuh Muhamadiyah saat itu, senang bukan main. Mereka menafsirkan itu sebagai pertanda bahwa madrasah yang didirikan oleh kelompok Islam sesat, tidak akan diridlai Allah.
Sementara, ayahnya berkampanye untuk meyakinkan bahwa kejadian itu justru harus dibaca lain. Yaitu: kita sedang dicoba Allah, apakah bisa bertahan di jalan yang benar.
Begitulah Moeslim menggambarkan nuansa konflik antara NU dan Muhamadiyah ketika itu. Padahal, katanya, kalau dicermati lebih lanjut, itu hanya persoalan tukang dan bahan bangunan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan takdir Tuhan.
Selepas dari pesantren Kertosono, sebagaimana umumnya anak pesantren, menjadi mahasiswa merupakan sesuatu yang belum terpikirkan. Pasca-G 30-SKI, organisasi ekstrakurikuler juga menarik.
Namun waktu itu, dia melihat anak UII Yogyakarta memakai jaket UII, anggota HMI memakai jaket HMI. Simbol-simbol seperti itu merupakan kebanggaan tersendiri, sebab mereka dulunya adalah musuh-musuh PKI.
Maka obsesinya saat itu adalah bagaimana caranya menjadi mahasiswa. Teman-teman saya bisa mendaftar di universitas, karena mereka punya ijazah. Mungkin dulunya mereka pernah sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama) atau SGA (Sekolah Guru Agama). Memang ada UII dan universitas yang berada di kabupaten, seperti Universitas Tri Bakti di Kediri.
Akhirnya, dia masuk Fakultas Ilmu Agama, Jurusan Tarbiyah yang didirikan Muhammadiyah di Kediri. Hampir dua tahun dia menjadi mahasiswa mustami’ (pendengar), belum mahasiswa aktif, karena tidak punya ijazah setingkat SLTA. Tapi kalau ada ujian, ia juga ikut. Namun ketika ujian sarjana muda, ia diwajibkan menyetor ijazah SLTA. Maka di ikut ujian persamaan Aliyah agar bisa ikut ujian BA (sarjana muda).
Setelah ujian BA, dia merasa berbeda dengan teman-teman dari pesantren, karena sudah punya gelar akademik. Pada waktu itu, gelar akademik masih sangat langka dan menjadi status sosial tersendiri yang bukan main gengsinya.
Dia pun merasakan adanya perbedaan signifikan antara perspektif keagamaannya saat masih di pesantren dengan perguruan tinggi. Waktu di pesantren, ia masih merasa sebagai subkultur masyarakat pedesaan yang agraris.
“Intinya, saat itu saya mencari agama yang lebih menguatkan iman dan spiritualitas saya dan sangat sedikit bersentuhan dengan akal pikiran. Tak ada pemikiran Islam. Yang ada olah rohani, olah iman atau mencari iman yang lebih otentik dalam pengertian seperti itu,” jelasnya.
Ketika mahasiswa, dia menemukan pengalaman Islam yang lain; agak akademik. Itu mencerminkan sebuah pengalaman Islam kota yang sudah memakai jaket dan aksesori lainnya. Waktu pulang kampung, dia disuruh khutbah Idul Fitri.
Ia pun banyak sekali membuat kutipan, bukan saja dari kitab Bukhari dan Muslim, tapi juga istilah-istilah yang agak baru. Misalnya, istilah “ukhuwah islamiyah” dia ganti dengan istilah “integrasi umat”, supaya kelihatan lebih moderen.
Dia yakin, para keluarga dan pendengar terkagum-kagum, meski mereka tidak terlalu paham dengan apa yang dia khutbahkan. Tapi mereka bangga dan heran: “kok ada orang ndeso yang ngomong begini?” Jadi pengalaman ini menjadi “barang” dari kota yang baru dan modern.
“Kalau diperbandingkan mungkin mirip orang yang minum Coca Cola atau Teh Botol di sebuah pelosok. Jadi, secara prinsipil, perspektif yang berbeda ada pada alam pikiran yang berbeda dari “alam kitab” yang lebih banyak menghapal dan sedikit berbau kealim-aliman,” jelas Moeslim.
Moeslim menguraikan perubahan pemahaman perspektif Islam dalam dirinya. Ketika mengaji di pesantren, dia paling-paling hanya bisa mengatakan bahwa kullu bid’atin dlalâlah, setiap bid’ah yang tidak berdasar pada Alquran dan hadis adalah sesat.
Tapi ketika dia mulai di HMI, di lingkungan perguruan tinggi, meski masih mengutip jargon innal hayât ‘aqîdatun wajihâdun (hidup adalah keyakinan dan jihad), sudah mulai mempertanyakan konsep jihad. “Memang, kutipan di atas bernuansa politik. Intinya, dalam pemahaman Islam ini, sudah ada aspek penalaran dan konfrontasi demi membaca realitas. Yang dimaksud realitas yang dominan saat itu adalah persoalan politik,” katanya.
Proses pergulatan keimanan berikutnya, adalah ketika dia mengikuti Pusat Pelatihan dan Penelitian Ilmu Sosial yang betul-betul mengubah cara hidup dan keberagamaannya.
Pengalaman itu terjadi pada tahun 1975 dan mengubah orientasi keberagamaannya dari normatif ke arah empiris. Perbedaannya, keberagamaan empiris tak hanya melihat konstruksi pemikiran dan pengalaman keagamaan sekadar hal yang normatif. Paradigma ini sudah bisa melihat paradoks dalam proses keberagamaan dalam masyarakat; bahwa ada masyarakat yang bisa mengikuti doktrin agama dengan tingkat kesalehan yang memadai, tapi ada juga yang karena status sosial tertentu tidak bisa.
Analisis sosialnya sudah muncul dalam paradigma yang kedua ini. Dulu dia berpikir simpel saja: “Yang tidak saleh pasti melawan Allah.” Baru kemudian dia tahu, ada rintangan sosial atau budaya, yang membuat seseorang menjadi tidak saleh.
“Tapi dalam masyarakat, kita menemukan orang yang tetap berislam, meski ia tak berada pada standar normatif tertentu. Jadi ada saja orang-orang yang mendefinisikan dirinya dekat dengan Allah, meski menurut standar normatif yang pernah saya pakai, tentu amat jauh dari kesan itu,” ujarnya.
Setelah mengetahui agama secara empiris, dia pun lebih tawâdlu’ (rendah hati), apalagi melihat orang yang dulu pernah dia hakimi sebagai durhaka pada Allah. Dulu, katanya, selalu saja ada kebingungan: “Mengapa seseorang tidak terbuka hatinya pada Allah?”
“Anda tentu tahu bagaimana sikap seseorang yang baru keluar dari pesantren dan hidup dalam subkultur yang amat idealistik berdasarkan kitab kuning dalam menyikapi fakta sosial. Orang yang berwudu, kalau tidak persis ganjil bilangannya, akan dianggap sangat berdosa. Jadi ketika pemahaman saya mulai berkembang dari mempelajari Bukhari dan Muslim ke Weber dan Durkheim, tentu akan luar biasa hasilnya, meski saya memulai dari nol,” jelasnya.
Dia pun memaknai beragama menjadi tidak monolitik. “Artinya, kita harus bisa melihat kenyataan yang obyektif; bahwa pengalaman dan penghayatan orang mengenai agama sangat beragam,” jelasnya.
Juga dalam hal menafsirkan kembali makna bid’ah yang dulu pernah dia akrabi. Dia tak lagi menganggap menjadi sangat berbeda secara prinsipil antara orang salat pakai lafal ushallî atau tidak, lepas dari kenyataan bahwa dia tetap canggung bila menjadi makmum dalam salat Subuh yang memakai qunut.
“Memang masih terasa belum pas, lebih karena persoalan habit saja. Walau pikiran saya sudah mengembara kemana-mana, tapi kebiasaan yang dialami dalam subkultur tertentu masih saja membekas,” katanya.
Sekarang kondisinya tentu sudah berbeda. Dulu dia jebolan pesantren yang sangat keras, lalu masuk HMI yang militan dan menjadi da’i HMI karena aktivitasnya di Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) yang menyerang sana-sini. Waktu itu orang-orang suka pada pidatonya yang kelihatannya konsisten menyerang sana-sini dan tak bisa toleran dengan orang lain.
Lalu, kemudian dia menemukan keislamanan menurut pengalaman religiusnya sendiri. “Kalau saya mengikrarkan Islam rahmatan lil ‘âlamîn, saya mesti merasakannya dalam pergaulan yang lebih majemuk. Misalnya, sekarang ada orang-orang yang sudah seperti saudara dekat saya, tapi saya lupa agamanya apa. Ada perasaan kemanusiaan yang lebih humanis sifatnya, yang merupakan bagian dari artikulasi keberagamaan saya,” katanya.
Perbedaan agama dia anggap sebagai sejarah saja, dan orang hidup dalam alam sejarah itu. “Saya memang tidak hidup di alam agnostik. Saya orang beriman, dan keberimanan itu menuntut saya menegaskan bahwa semua adalah hamba Allah. Dengan demikian, saya lebih tawâdlu’ dan berpikir seribu kali untuk menghakimi orang lain,” ujarnya.
Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan orang yang suka menghakimi orang lain yang berbeda agama. Pertama sumber-sumber keimanan yang sangat monolitik yang berasal dari satu sumber interpretasi. Kedua, secara sosiologis, dia sedang membutuhkan pegangan kokoh, karena kebingungan dalam melihat kenyataan.
Anak-anak muda yang tertarik dengan model pemahaman keagamaan yang suka menghakimi orang ini karena hanya tahu interpretasi Islam dari satu sumber saja. Faktor tutor, misalnya, yang dianggap paling benar dalam menafsirkan Islam. Yang lain salah, dinafikan, bahkan ditolak mentah-mentah. Persoalan lain, mungkin proses perubahan sosial yang sedemikian cepat, sehingga muncul perasaan teralienasi karena identitas agamanya menjadi kabur.
Sementara, mengenai adanya perdebatan mutakhir seputar substansi keadilan dengan formalisasi syariat Islam, menurutnya, substansi Islam itu tersimpul dalam firman Allah: i’dilû huwa aqrab littaqwâ! (berlaku adillah, karena itu lebih dekat pada ketakwaan). Ber-taqarrub agar sampai pada derajat takwa, mesti berbuat adil dulu. Hidup berislam pada hakikatnya adalah usaha untuk ber-taqarrub pada Allah dan cita-cita-Nya. Cita-cita Allah itu, menurutnya, pangkalnya ada pada keadilan.
Sering kita dengungkan: kalau kita menerapkan syariat tanpa berlandaskan keadilan, itu akan keliru. Karena kenyataannya sering begini: “Orang yang mencuri ayam karena lapar atau miskin, nanti mesti dipotong tangannya, tapi yang bermilyar-milyar justru tak tersentuh hukum.” Atau, kita sering menghakimi pelacur jalanan yang sedang mencari makan -betul-betul mencari makan, karena mereka tersingkir secara ekonomi. Pelacur seperti itu merupakan dosa sosial kita. Maka, dia berpendapat, penerapan syariat yang formalistik itu, takkan memecahkan masalah keadilan yang lebih luas cakupannya.
Menjawab pertanyaan, apakah negara perlu ikut campur untuk memaksakan syariat? Moeslim mengatakan: “Jelas, jangan lah! Nggak usahlah ada ambisi negara membuat peraturan untuk beribadah dan ber-taqarrub pada Allah! Fungsi negara seyogyanya hanya mengatur hak-hak warganegara. Soal keyakinan tergantung mereka ber-taqarrub pada Allah. Masing-masing orang punya kesulitan dan tahapan-tahapan yang berbeda dalam hal yang sangat pribadi ini.”
Civil Society
Berbicara mengenai demokratisasi dan civil society, menurutnya, harus ada transformasi budaya, antara lain reinterpretasi agama untuk pemihakan masa depan masyarakat Indonesia yang baru. Misalnya, apa yang dimaksud dengan civil society itu.
Menurutnya, sekarang ada yang menyatukan. Kalau seseorang itu masuk Korpri, apakah dia NU, Muhammdiyah, maka kesadarannya sebagai Korpri yang mempersatukan mereka. Sekarang setelah ada middle class, seharusnya middle class-nya itu yang menjadikannya sebagai kelompok strategis, sehingga proses politik bukan didasarkan karena agama masing-masing. Ini sama dengan kalau orang sudah lapar, maka tidak peduli apakah dia Kristen, Katolik, atau Islam. (Kompas, Minggu, 14 Februari 1999).
Pemahaman ini butuh waktu lama, tetapi harus dimulai. Pertama menata pikiran yang lebih dasar tentang transformasi, bagaimana melakukan transformasi budaya? Kalau reformasi politiknya ada pemerintah yang dipilih dalam pemilu, fungsi lembaga-lembaga state, dan sebagainya. Haruslah dibedakan antara government dan state.
Lalu siapa yang harus melakukan? Menurutnya, scholar independen. “Scholar independen itu resi. Sekarang kita tidak punya resi. Kalaupun ada, mereka digoda, ditelepon-telepon terus. Menulis artikel honornya Rp 350.000, lalu kalau misalnya dijanjikan rekening deposito, siapa yang tidak goyah. Akan tetapi kita harus tetap mencari orang-orang seperti itu,” ujarnya.
Seharusnya, katanya, pada suatu saat nanti ada negarawan. Negarawan harus dibantu resi. Ada resi dengan kekuatan moral dan scholar yang independen. Mestinya harus ada orang-orang yang duduk bersama yang memikirkan. Harus tetap ada kekuatan nurani masyarakat yang hidup, dan secara independen dapat membaca keadaan, yang sejujur-jujurnya.
Orang yang harus memulai adalah sisa-sisa dari bagian masyarakat Indonesia yang pikirannya sehat, nuraninya sehat. Meskipun demikian butuh penggerak. Bergerak sendiri-sendiri, tidak mungkin. Merekalah orang yang tidak punya pamrih power.
Repotnya, salah satu yang sering dia amati di Indonesia ialah, bagaimana mau ngomong civil society, bagaimana mau ngomong kedaulatan rakyat, wong semua kepinginnya menguasai state.
Dia berpendapat, seharusnya dalam civil society, state itu lemah, yang kuat society. Itu yang antara lain membuatnya berpikir bahwa dia sebaiknya berada di luar partai.Bukan berarti dia antipartai, tetapi untuk memperkuat potensi-potensi beyond the structure. Jangan semua larut di structure.
Mereka yang berada di structure nanti semua akan ke sektor kekuasaan negara. Repotnya kalau ke sektor kekuasaan negara, ujung-ujungnya jadi menteri. Society-nya yang seharusnya diperkuat, kalau semua yang berpotensi, yang seharusnya berada di society tidak berani berdiri di society-nya-tetapi justru merasa berhasil sebagai politisi atau sebagai scholar kalau ada di barisan kekuasaan-kita akan kehilangan semua.
Gejala ini sudah kelihatan sejak kita merdeka. Waktu itu orang di partai hanya mikir untuk kekuasaan negara, bukan bagaimana agar negara tidak bisa berbuat semena-mena. Kecenderungan itu bisa dikurangi kalau kontrol society kuat.
Repotnya yang namanya society akan respek, jika ada pejabat dari pusat kekuasaan yang datang kepadanya. Itu kenyataan. Yang ideal itu ‘kan ideologi pluralisme, dan itulah yang terjadi tatkala Pancasila belum dikuasai Orde Baru. “Lantas, bagaimana Anda menempatkan pluralisme kalau pada level artikulasi ideologi politik yang kita pakai, akhirnya menjadi primordialisme?” ujarnya menggugah.
Corak society yang pluralis sebetulnya adalah toleran, tetapi saat diartikulasikan ‘kan bukan artikulasi Islam, Katolik, NU, atau Muhammadiyah, melainkan artikulasinya kaum petani sedang dirugikan, kaum buruh dirugikan, kelas menengah ditekan pajak, atau pajaknya tidak transparan.
Menurutnya, sekarang mestinya agama dan macam-macam spiritualisme itu membikin persamaan pendapat untuk mewujudkan civil society dalam mekanisme politik. Mestinya “sekuler” harus dipisahkan betul. “Ini yang akhirnya membuat saya ragu-ragu, kita ini pluralisme atau fragmentasi, atau sektarianisme,” ujarnya.
Pluralisme menunjukkan satu kekuatan. Fragmentasi itu kerapuhan. Pluralisme itu antara lain diwarnai serba terbuka, tapi kini justru sekatnya menjadi lebih kecil-kecil. Kalau sekatnya kecil-kecil begini, bagaimana mau diartikulasikan jadi civil society.
Menurutnya civil society jangan terlalu disandarkan pada kelas menengah. Sebab kita harus membaca konteks konstelasi sosial yang kita miliki berbeda. Di Indonesia ada lapisan grass roots yang dari segi kultural sangat toleran seperti pada pesantren NU, walaupun dari segi ekonomi paling ringkih dan rapuh.
Memang dari grass roots ini ada yang menjadi middle class, tetapi middle class yang di sini belum berbentuk critical mass yang mendukung proses menyangga civil society. Sementara dalam kelompok strategisnya masih ada perebutan konflik interes di tingkat elite. Karena itu, kalau ngomong civil society di masa depan tidak bisa hanya membicarakan middle class, melainkan bagaimana dengan mix urban professional, MBA, BBA, atau wartawan-wartawan yang idealis, pengusaha-pengusaha muda, dan sebagainya.
“Salah satu ciri civil society adalah diversifikasi, yaitu forum-forum artikulasi semacam warung kopi, yang punya otonomi, yang tidak gampang dikuasai atau dikontrol oleh state,” demikian Moeslim.
Moeslim meninggal dunia di RSCM, Jakarta dalam usia 64 tahun di RSCM Jakarta pada Jumat 6 Juli 2012 malam, setelah dirawat sejak Rabu 4 Juni 2012 akibat menderita sakit jantung. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jatibening, Bekasi sebelum dimakamkan. tsl