Presiden RI ‘Terpopuler’
Susilo Bambang Yudhoyono03 | Karir Politik, Dibesarkan Gus Dur dan Megawati

Sementara, langkah karir politiknya dimulai tanggal 27 Januari 2000, saat memutuskan untuk pensiun lebih dini dari militer ketika dipercaya menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi pada pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Ketika itu ia masih berpangkat letnan jenderal dan akhirnya pensiun dengan pangkat jenderal kehormatan.
Tak lama kemudian, SBY pun terpaksa meninggalkan posisinya sebagai Mentamben karena Gus Dur memintanya menjabat Menkopolsoskam untuk menggantikan Jenderal Wiranto yang terpaksa mengundurkan diri sebagai Menkopolsoskam.
Popularitasnya semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri)Popularitasnya semakin berkibar saat menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) dan Menko Polkam (Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnopotri).
Tugas terberatnya sebagai Menko Polkam adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia bahwa keamanan di Indonesia dapat diwujudkan. Faktor keamanan inilah yang sering dijadikan investor asing untuk membatalkan rencana investasinya di Indonesia. Sedangkan dari dalam negeri, masyarakat sering kali merasa was-was dengan berbagai gangguan seperti teror bom yang kerap terjadi.
Persoalan lainnya adalah, upaya menghentikan pertikaian di daerah konflik, yang secara perlahan memperlihatkan kemajuan. Namun, karena besarnya masalah yang dihadapi, keberhasilan tugasnya itu sering tidak ditanggapi serius. Masih banyak pekerjaan besar menunggu untuk segera diselesaikan.
Menghadapi tugas berat, ternyata menjadi bagian sejarah hidup SBY yang sebelum menjadi menteri sempat diprediksi bakal menjadi orang nomor satu di lingkungan militer. Ketika Presiden KH Abdurrahman Wahid berkuasa, ia sempat diberi tugas untuk melobi keluarga mantan Presiden Soeharto. Maksud langkah persuasif yang dilakukannya itu agar keluarga cendana bersedia memberikan sebagian hartanya kepada rakyat dan bangsa. Khususnya untuk membawa pulang harta keluarga Soeharto yang diperkirakan masih tersimpan di luar negeri. Padahal saat itu masyarakat tengah menunggu dengan seksama hasil peradilan orang kuat Orde Baru tersebut.
Presiden Wahid pada awal tahun 2001 pernah memintanya untuk membentuk Crisis Centre. Dalam lembaga nonstruktural ini Presiden Wahid meminta Yudhoyono menjabat sebagai Ketua Harian dan menempatkan pusat informasi atau kegiatan (operation centre) di kantor Menko Polsoskam. Lembaga baru ini berfungsi untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden Wahid dalam menjawab berbagai persoalan. Termasuk di antaranya sikap Kepala Negara dalam merespon pemberian dua memorandum oleh DPR.
Kisah ketika dia menjabat Menko Polsoskam (Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid) mengukir kisah tersendiri.
Walau berulang kali menerima kepercayaan bukan berarti Yudhoyono ‘lembek’ dalam menghadapi Presiden Wahid. Ketika terdengar kabar Presiden Wahid ngotot akan menerbitkan dekrit pembubaran DPR, maka, bersama Panglima TNI Laksamana Widodo AS dan jajaran petinggi TNI lainnya, ia meminta Gus Dur mengurungkan niatnya.
Puncaknya, pada 28 Mei 2001, bersama beberapa menteri tidak merekomendasikan rencana Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Dekrit Presiden. Bahkan tidak bersedia melaksanakan Maklumat Presiden yang menugaskannya sebagai Menkopolsoskam untuk mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengatasi krisis, memelihara keamanan, ketertiban dan hukum.
Akibatnya ia diberhentikan dengan hormat dari jabatan Menkopolsoskam pada 1 Juni 2001, kerena menolak rencana Presiden mengeluarkan Dekrit. Ketika ia ditawari jabatan Menteri Perhubungan atau Menteri Dalam Negeri namun ditolaknya.
Lalu pada Sidang Istimewa MPR-RI, 25 Juli 2001, ia dicalonkan memperebutkan jabatan Wakil Presiden yang lowong setelah Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi presiden. Ia bersaing dengan Hamzah Haz dan Akbar Tandjung.
Pada 10 Agustus 2001, Presiden Megawati mempercayai dan melantiknya menjadi Menko Polkam Kabinet Gotong-Royong. Dia pun tampak menjalankan tugasnya dengan baik. Salah satu pelaksanaan tugasnya adalah mengumumkan pemberlakuan status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada 19 Mei 2003, serta proses penyelesaian konflik Ambon dan Poso.
Hal itu sangat menguntungkan SBY yang sudah berancang-ancang untuk merebut kursi presiden. Kemudian popularitasnya makin memuncak. Pertama kali dia masuk bursa calon presiden, ketika Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia menimangnya menjadi salah satu kandidat calon presiden dan wakil presiden. Kemudian, Partai Demokrat yang dibidani dan didirikan bersama beberapa koleganya menyebutnya sebagai calon presiden, bukan calon wakil presiden.
Lalu iklan damainya muncul di berbagai stasiun televisi. Ia pun menjawab pertanyaan wartawan yang menanyakan soal tidak dilibatkannya dia dalam beberapa kegiatan kabinet yang menyangkut masalah politik dan keamanan. Lalu, suami Presiden Megawati, Taufik Kiemas menyebutnya kekanak-kanakan karena dinilai melapor kepada wartawan bukan kepada presiden (1/3/2004). Ia pun beruntung karena pers dan beberapa pengamat membangun opini bahwa ia sedang ditindas oleh Taufik Kiemas, suami Megawati.
Dalam pada itu, dua kali rapat kordinasi bidang Polkam batal dilakukan karena ketidakhadiran para menteri terkait. Tampaknya para menteri terkait tak lagi mempercayai dan menurutinya. Lalu pada 9 Maret 2004, dia pun menyurati Presiden Megawati mempertanyakan kewenangannya sekaligus minta waktu bertemu. Namun, Presiden tidak menjawab surat itu. Mensesneg Bambang Kusowo kepada pers mengatakan tidak seharusnya seorang menteri (pembantu presiden) mesti membuat surat meminta bertemu dengan presiden. Dia pun diundang mengahadiri rapat menteri terbatas. Tapi ia tidak datang.
Ia merasa suratnya tak ditanggapi. Lalu pada 11 Maret 2004, ia memilih mengundurkan diri dari jabatan Menko Polkam karena merasa kewenangannya sebagai Menko Polkam telah diambil-alih oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Pada situasi itu, M. Jusuf Kalla, yang menjabat Menko Kesra, menemuinya. Lalu, malam harinya, di sebuah hotel, ia bertemu Abdurrahman Wahid yang diisukan sudah sejak beberapa waktu menimangnya menjadi calon presiden dari PKB.
Jenderal yang simpatik, tampan, mudah senyum dan memikat banyak perempuan ini, ketika mengumumkan permintaan pengunduran dirinya, mengatakan “Sesuai dengan hak politik saya, jika nanti pada saatnya ada partai politik, katakanlah Partai Demokrat dan dengan gabungan partai lain yang mengusulkan saya sebagai calon presiden, insya Allah saya bersedia.
Keputusan pengunduran dirinya dinilai berbagai pihak suatu keputusan yang elegan. Dalam perjalanan kariernya, Yudhoyono, memang selalu ingin tampak elegan baik dalam bertutur maupun bersikap. Sikap itu terlihat dalam beberapa peristiwa penting yang melibatkan langsung menantu Jenderal (Purn) Sarwo Edhi Wibowo itu.
Langkah pengunduran diri ini dinilai berbagai pihak membuatnya lebih leluasa menjalankan hak politik yang akan mengantarkannya ke kursi puncak kepemimpinan nasional. Polling TokohIndonesia DotCom menempatkannya sebagai calon wakil presiden yang paling puncak. (Bersambung) Ch. Robin Simanullang