Sang Nelayan Penjaring

Julius Kardinal
 
0
272
Julius Kardinal
Julius Kardinal | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Kardinal Indonesia yang juga Anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama ini terpanggil dan terpilih sebagai nelayan penjaring: “Atas perintahMu, kutebarkan jalaku.” Ia juga melayani sebagai Uskup Agung Jakarta. Pastor kelahiran Jagang, Muntilan, 20 Desember 1934, ini menyukai warna serba biru yang melambangkan warna damai.

70 Tahun Kardinal Darmaatmadja
“LIFE goes on”, begitu kata orang Inggris. Memang, kehidupan terus berjalan dan berjalan. Seiring dengan perjalanan kehidupan, berbagai peristiwa mengisi dan mewarnai kehidupan itu sendiri. Hal itu pula yang menghiasi perjalanan hidup Julius Kardinal Monsinyur Rijadi Darmaatmadja SJ, Uskup Agung Jakarta, yang hari ini genap 70 tahun.

JULIUS adalah nama tambahan sebagai seorang Katolik. Rijadi, nama kecil saat lahir di Salam, Jawa Tengah, 20 Desember 1934. Kardinal adalah jabatan konsultatif sejak dilantik 27 November 1994 di Roma oleh Paus Yohanes Paulus II. Monsinyur adalah panggilan untuk pemegang jabatan uskup (sebagai Uskup Agung Semarang 1983-1996, dan Uskup Agung Jakarta 1996-sekarang). Darmaatmadja, nama kedua orangtuanya, pasangan Joachim Djasman Djajaatmadja dan Maria Siti Soepartimah. SJ atau Serikat Jesus, sebab dia anggota ordo yang didirikan Santo Ignatius de Loyola tahun 1534 itu.

Namun, saat ditemui di kediamannya hari Minggu (19/12) kemarin, wajah dan postur tubuhnya tidak menunjukkan bahwa dia sudah memasuki usia 70 tahun. Tidak mengherankan apabila kesan yang muncul saat ditemui ialah betapa Bapak Kardinal, atau Monsinyur, atau Bapak Uskup-begitu umat biasa menyapa-mempunyai elan tinggi dan tampak jauh lebih muda dari usianya.

“Wah, perkataan orang Timur kerap menyesatkan. Saya sudah 70 tahun, masak tampak masih muda,” ujarnya sambil terbahak. Ia lalu mengambil majalah Hidup yang memasang fotonya sebagai sampul. “Foto ini lebih kena. Tampak, saya sudah 70 tahun,” katanya lagi.

MOTIVASI yang tinggi untuk terus berkarya tampaknya menjadi lokomotif yang membuat Kardinal tampak selalu bersemangat bekerja. Karena itu, ketika ditanya sampai kapan akan mengambil jeda dari sebuah perjalanan panjang, Kardinal menyatakan, sama seperti sebelum usia 70 tahun. “Saya menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan, sampai kapan saya bisa menyelesaikan tugas peziarahan saya. Kalau Dia menghendaki saya kuat bekerja, saya akan terus bekerja,” ujarnya.

Meski demikian, Kardinal amat menyadari, menjadi tua akan disertai munculnya aneka kelemahan. Sebagai orang tua, spiritualitas kerja yang sebelumnya menghiasi kehidupan tidak bisa lagi dijalankan. Spiritualitas kerja itu harus diganti.

“Orang yang biasa bekerja, lalu tidak bekerja lagi ketika tua, tentu bingung. Itu biasa. Juga kalau dulu biasa menasihati, sekarang tak ada yang meminta nasihat. Kalau dulu bisa berfungsi terhadap orang lain, lalu tidak berfungsi lagi. Itu semua menjadi perubahan hidup yang harus dihadapi. Maka, sebagai orang tua harus mencari fungsi baru. Di sana ada passio, ada rendah hati, ada pengabdian, ada penyerahan diri. Maka sekarang pun mulai dikembangkan, pendampingan terhadap para orangtua,” katanya.

Kini, di tengah kesibukannya sebagai pemuka umat Katolik, Kardinal juga sibuk menjalin persaudaraan dengan pemimpin umat yang lain. Ia akrab dengan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Syafii Maarif; dengan KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU); KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nurcholish Madjid, cendekiawan, dan lain-lain. Ia perlu memberi contoh kepada para pastor dan umat Katolik untuk membangun persaudaraan sejati dengan umat yang lain.

“Upaya membangun persaudaraan dengan umat lain itu harus kontekstual. Maka para pastor yang berkarya di tengah masyarakat pun harus berkarya dalam pastoral kontekstual. Mulailah dengan berkunjung, saling mengenal. Jalankanlah hidup bertetangga dengan baik. Kalau sudah saling mengenal, lalu saling peduli. Entry point-nya adalah peristiwa-peristiwa keluarga, seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, dan sebagainya,” ucapnya.

Advertisement

Atas pemahaman itu, tidak mengherankan apabila sebagai pemimpin, Kardinal sering berpesan agar kehadiran umat Katolik di masyarakat menjadi rahmat bagi yang lain. “Ini tidak mudah dijalankan, di tengah pengaruh macam-macam. Menjadi rahmat bagi masyarakat akan menjadi jelas apabila kedatangannya selalu dirindukan oleh orang lain,” paparnya.

Menyinggung kondisi masyarakat secara umum, Kardinal amat prihatin betapa nilai agama dan iman tidak lagi memengaruhi kehidupan. Orang bisa membunuh seenaknya. Juga nilai budaya tak lagi berdampak pada perilaku. Begitu pula nilai ideologi tak lagi bisa berperan dalam kehidupan bernegara.

“Amat disayangkan, ketiga hal itu tidak lagi bisa banyak berperan dalam membangun hidup bermasyarakat dan bernegara. Maka kekuatan agama diharapkan bisa menjadi kekuatan moral guna membangun kembali nilai agama, budaya, dan ideologi dalam hidup bermasyarakat,” katanya.

Meski demikian, ia enggan menjawab pertanyaan sekitar relasi antar-agama yang didasarkan generalisasi. Masalahnya, begitu banyak hal yang melatarbelakangi berbagai masalah yang ada di masyarakat. Misalnya dikatakan, hubungan antar-agama jelek, sampai saling membunuh. “Bukti ini benar, tetapi ada bukti lain yang juga benar, betapa semua kelompok agama menjalin hubungan dengan amat baik. Ada banyak bukti, saudara-saudara kita yang Muslim mau menjaga gereja agar kita bisa beribadah dengan tenang. Itu pula yang menyebabkan bom yang dikirim ke Katedral beberapa tahun lalu hanya meledak di luar, bukan di dalam gereja,” ujarnya menambahkan.

APABILA di awal tulisan ini disebut postur tubuhnya tampak lebih muda, itu karena Kardinal berusaha menjaga kebugaran dengan hidup teratur, melakukan relaksasi, termasuk rutin berolahraga tread mill setengah jam sehari.

Lahir sebagai anak bungsu dari enam saudara keluarga guru, perjalanan panggilan hidup Rijadi lancar-lancar saja. Tamat sekolah menengah pertama (SMP), masuk Seminari Menengah Mertoyudan, novisiat SJ dua tahun di Girisonta, belajar filsafat di Poona, India, teologi di Yogyakarta, dan ditahbiskan sebagai pastor oleh almarhum Kardinal Darmoyuwono tanggal 18 Desember 1969.

“Kalau diberi umur panjang, tahun 2009 nanti saya genap 13 tahun berkarya di Keuskupan Agung Jakarta, dan berusia 75 tahun. Selama 13 tahun juga saya sebagai Uskup Agung Semarang (1983-1996). Tuhanlah yang mengatur ini semua,” katanya menambahkan. (Kompas, 20 Desember 2004)

Dalam rangka menyambut Natal 2003, alumni Seminari Menengah di Yogyakarta, yang ditahbiskan menjadi imam pada 18 Desember 1969, ini menyampaikan Pesan Natal bertajuk:

Tangis dan Senyum Natal

Tangis kelahiran Bayi Anak Maria di Bethlehem memecah kesunyian malam Natal. Bagi umat Kristiani, tangis ini menjadi lonceng yang menengarai peristiwa mahapenting dalam sejarah umat manusia. Allah yang amat prihatin terhadap situasi manusia yang dikuasai dosa datang sebagai Penyelamat.

Tangis Bayi Anak Maria ini menjadi lonceng pembawa Kabar Gembira yang juga diwartakan oleh malaikat kepada para gembala, “Jangan takut sebab sebenarnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan, di Kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu. Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara surga yang memuji Allah. Katanya, “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di Bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lk 2:8-14).

Bayi Ilahi ini lahir di Bethlehem, Kota Daud, sesuai dengan Nubuat Nabi Micha. Hal ini diketahui para ahli Kitab dan dilaporkan juga kepada Raja Herodes yang lalu menjadi berang dan ingin membunuh Kanak-kanak Yesus. Allah yang mengatur sejarah, membuat Kaisar Agustus mengadakan sensus bagi semua penduduk yang ada di bawah kuasanya, justru saat kandungan Maria pada usia tua. Maria dan Yoseph bersama semua keturunan Daud lainnya pergi mencatatkan diri ke Kota Bethlehem.

Ketika sampai di Bethlehem, sampai pula saat Maria melahirkan anaknya. Tiga peristiwa menyatu, dengan lahirnya Yesus sebagai pusat, yaitu Nabi Micha bernubuat, Maria melahirkan Anaknya, dan Kaisar Agustus mengadakan sensus. Bukti bahwa semuanya dalam rencana Ilahi.

Kelahiran Bayi Ilahi itu sekaligus dikukuhkan dan dicatat dalam sejarah manusia. Allah menjadi manusia, memasuki sejarah umat manusia, menjadi satu di antara manusia, untuk menyelamatkan manusia.

Natal adalah kepedulian Allah kepada manusia yang berdosa, peduli sampai solider ingin senasib sepenanggungan dengan manusia yang papa. Tangis Bayi Anak Maria membawa pesan agar yang kuat, kaya, dan yang lebih peduli dan solider dengan yang lemah, miskin, dan kurang mampu tanpa pandang bulu, tanpa pandang beda suku atau agama.

Ungkapan solidaritas Yesus kepada kaum papa dengan lahir di goa tempat hewan berteduh, dibungkus lampin, dan dibaringkan di atas palungan, tempat makanan ternak. Meski lahir di tempat hewan, ia dilahirkan oleh ibu yang penuh kasih, dijaga oleh Yoseph yang penuh perhatian. Kehangatan cinta Maria dan Yoseph membuat tangis itu berhenti dan Bayi Ilahi itu tersenyum. Demikian pula ketika para gembala datang mengagumi-Nya dan memainkan seruling, juga saat para sarjana dari Timur datang menyembah dan membawa persembahan. Senyum- Nya meneguhkan tumbuhnya relasi persaudaraan dan kasih tidak hanya dalam Keluarga Kudus, tetapi juga di antara para gembala dan para sarjana dari Timur. Yesus datang di dunia untuk membangun kembali budaya kasih, membangun hidup dalam kebersamaan, saling peduli, dan dalam suasana persaudaraan.

Solidaritas Yesus dengan orang miskin dijalani dengan mengalami apa artinya menjadi miskin dan tak berkedudukan. Dia ditolak pemilik penginapan karena orangtuanya tampak tak dapat membayar, sementara banyak orang lain yang mau membayar mahal. Bagi orang yang hanya menginginkan keuntungan, tak ada hati untuk menolong sesama dengan cuma-cuma, apalagi dengan semangat berkorban.

Sejak lahir, Yesus mengalami suasana hidup masyarakat yang diwarnai kecurigaan satu terhadap yang lain, penguasa takut kehilangan kedudukan. Bagi Raja Herodes, kelahiran Yesus merupakan ancaman, takut tersaingi kekuasaannya. Maka, “Herodes menyuruh membunuh semua anak di Bethlehem dan sekitarnya, yaitu anak-anak yang berumur dua tahun ke bawah…” (Mt 2:16).

Oleh Yoseph dan Maria, Yesus dibawa lari ke Mesir. Tetapi, operasi tentara Herodes mengakibatkan terbunuhnya banyak bayi tak bersalah. Tangis Yesus tidak hanya bagi anak-anak yang dibunuh saat itu, tetapi juga menyertai semua korban ketidakadilan dan kekejaman akibat dosa manusia sepanjang zaman. Tangis- Nya juga bagi sikap Herodes dan sikap siapa pun yang penuh iri dan dengki, tak mau disaingi, dan yang main kuasa demi kepentingan pribadi dari zaman ke zaman.

Seandainya Kanak-kanak Yesus sudah dapat berbicara, pesan apakah kiranya yang disampaikan kepada gembala dan tiga sarjana dari Timur yang datang menyembah? Dia pasti mengatakan yang sama: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mt 22:37-39).

Kelahiran Yesus mengungkapkan kasih Allah tanpa pamrih, mengasihi dengan kesediaan mengampuni umat-Nya dan kesediaan untuk berkorban. Ini menunjukkan tanggung jawab yang tinggi terhadap manusia ciptaanNya. Meski manusia celaka karena ulahnya sendiri, ia tetap dicarikan jalan keluar, kendati harus ada korban dari Putra Allah sendiri.

Kita diharapkan saling melindungi dan menyelamatkan. Ajaran kasih: mencintai dan menghormati Allah sekaligus mencakup keharusan saling mencintai dan menghormati sesama manusia, saling bertanggung jawab atas nasib sesama. Bahkan, untuk penilaian pada pengadilan terakhir, Yesus bersabda, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mt 25:40).

Tangis pertama Yesus yang memecah kesunyian malam dan senyum pertama-Nya yang menghangatkan relasi telah membuat kita kini menyanyikan Malam Kudus dengan penuh haru. Tangis dan senyumNya telah menguduskan malam Natal dan menguduskan jagat raya. Tangis-Nya menyertai segala derita manusia, derita ketika lahir dan berkembang, derita saat dewasa dan tua, derita saat orang meninggal dunia. Derita manusia telah dijadikan derita-Nya. Seyum-Nya meneguhkan siapa pun yang menerima Dia, menerima ajaran dan karya penyelamatan-Nya.

Meneguhkan kita yang dengan tak henti bertobat. Tangis-Nya sekaligus menjadi senyum-Nya. Karena derita orang yang disatukan dengan tangis, sengsara, dan wafat-Nya dapat menjadi sumber berkat. Memang tangis dan senyum Kanak-kanak Yesus membawa harapan bagi kita untuk masa depan yang bahagia. Selamat Natal, selamat menyambut tangis dan senyum Kanak-kanak Yesus dalam segala kedalaman maknanya. e-ti

Data Singkat
Julius Kardinal, Uskup Agung Jakarta (1996-2010) / Sang Nelayan Penjaring | Ensiklopedi | Rektor, uskup, kardinal

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini