Surat Bismar ke Pak Harto
Bismar Siregar02 | Pak Harto Pernah Berjasa

Tegakkanlah Keadilan Tanpa Kebencian! Hai orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah kebencian orang mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adil, itu lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah. Sungguh. Allah tahu benar apa yang kamu lakukan (QS. AI-Maidah 5:8).
Soal tuntutan pengadilan Pak Harto, Bismar Siregar mengutip peringatan Allah SWT, tentang penegakan keadilan dalam Islam. Menurut Bismar, bagi orang yang matanya tidak buta, telinganya tidak tuli, dan hatinya tidak mati, makna peringatan penegakan keadilan itu sangat jelas. “Janganlah karena kebencian bersarang di dada, dilampiaskan dengan marah dan menuntut seseorang diadili dan dihukum seberat beratnya,” tulis Bismar dalam bukunya: Sajadah Panjang Bismar Siregar (Refleksi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara).
Bismar, dengan saran tersebut, tidak ingin mengurangi akibat buruk yang ditimbulkan karena kekuasaan tunggal mantan Presiden Soeharto selama 32 tahun. Namun dia mengingatkan, sebaiknya tidak mengingkari hukum sejarah, tidak sekedar menghujat tanpa memahami penyebab kejadian tersebut. Apalagi Pak Harto selama pemerintahannya juga berjasa.
Tulis Bismar, Pak Harto manusia biasa. Dia lahir di Desa Kemusuk, Yogyakarta, dari keluarga miskin papa, dibesarkan tidak dari keluarga utuh. Pak Harto tak pernah bermimpi jadi orang nomor satu di negara ini. Awalnya dia penumbang orde lama, lengsernya Bung Karno tidak secara konstitusional. Lantas muncul orde baru. Selama periode itu tujuh kali dia menjabat sebagai presiden.
Terepilihnya Pak Harto adalah atas dukungan mayoritas tunggal Golkar dan ABRI. Dari sisi ini, di mata Bismar, era kekuasaan orde baru bisa disebut sebagai awal pemerkosaan demokrasi Pancasila oleh Golkar. Sayangnya, Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung sesudah reformasi tak mau mengakui kesalahan itu. Akbar berkilah itu kesalahan bersama. Kata Bismar, biarlah, Golkar masih eksis di era reformasi, biar saja. Masyarakat tidak buta mata, tidak tuli telinga, dan tidak beku hatinya.
Pak Harto dibesarkan oleh Golkar. Kini Pak Harto ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya. Bahkan ada petingi yang Golkar tega berpesan bahwa dia siap menjadi saksi bilamana diperlukan dalam pembuktian keterlibatan KKN Pak Harto. Komentar Bismar, Alhamdulillah! Inilah contoh hamba yang beriman. Demi tegaknya hukum dan keadilan dia mampu melepaskan loyalitas kepada mantan bosnya. Memang, kesetiaan terhadap sesama manusia tak ada yang langgeng lestari, berbeda halnya setia kepada Khalik Maha Pencipta.
Namun pertanyaan Bismar, apakah penegakan hukum itu yang tepat diterapkan terhadap Pak Harto? Bekas praktisi hukum itu menjawab: “benar.” Jaksa Agung berwenang memeriksa kasus Pak Harto, tetapi di dalam kinerjanya tersendat-sendat. Tidak salah pemerintah mengeluarkan Keppres guna mempercepat penyelesaian kasus ini. Tapi itu tidak diperlukan. Sebab, Jaksa Agung sudah mafhum dengan tugas dan kewajibannya. Tidak perlu ada instruksi dari “atasan.” (Apalagi budaya petunjuk adalah budaya orde baru yang harus dihilangkan). Menurut Bismar, Jaksa Agung harus mengambil prakarsa menunaikan amanah jabatannya untuk mengusut, menyidik dan menuntut kasus KKN Pak Harto dan kroni-kroninya, kalau dinilai telah cukup dugaan adanya pelanggaran hukum.
Bismar juga mempertanyakan slogan penegakan hukum dan keadilan tanpa pilih bulu. Dia menerima itu sebagai prinsip, tetapi di dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara harfiah. Ada adab sopan santun. Tidak sama perlakuan dan bahasa memeriksa si tukang becak, pencuri ayam, dengan (sebutlah) pejabat. Jadi maksud tegakkan hukum tanpa pilih bulu, tidak ditafsirkan secara harfiah.
Yang jelas, setiap orang yang berbuat salah harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, bukan saja di hadapan mata manusia, namun juga di mata Tuhan. Bismar merujuk bukti peradilan yang dilakukan Khalifah Umar bin Khatab. Di dalam peradilan itu Umar dalam posisi yang sangat dilematis. Pertama, Umar sebagai amirul mu’minin. Kedua, sebagai hakim, dan ketiga, sebagai ayah kandung terdakwa, Abu Syahmah. Syahmah diadili karena tuduhan berbuat zina. Umar harus menegakkan keadilan tanpa pilih bulu meskipun yang diadili putranya sendiri. Abu Syahmah dijatuhi hukuman rajam sampai mati.
Tentang peringatan ini, Bismar mengutip firman Allah SWT: Hai orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, sebagai saksi bagi Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, atau orang tuamu, atau kerabatmu, baik ia kaya maupun ia miskin. Karena Allah dapat melindungi keduanya. Janganlah ikuti hawa nafsu. Supaya jangan kamu menyimpang (dari kebenaran). Sungguh, Allah tahu benar apa yang kamu lakukan. (An-Nisa:135).
Demikian perintah Allah SWT tentang penegakan hukum dan keadilan dalam iman Islam. “Indah dan luhur sekali,” kata Bismar. Perintah itu dilaksanakan dengan luhur, karena Umar memberi contoh mengadili anak kandungnya sendiri dengan putusan hukuman mati. Perhatikan kalimat di antara dua ayat Ilahi yang dikutip di atas. “Tegakkan keadilan seba-gai saksi karena Allah, bukan sekadar hukum semata. Jangan karena kebencian lantas menyimpang dari keadilan.”
Singkat kata, tulis Bismar, andaikan setan sekalipun yang harus diadili, wajib menyampingkan rasa kebencian terhadapnya. Keadilan murni harus ditegakkan. Begitu pula terhadap umat (muslim) yang bernama Soeharto. Dia pernah menjadi Imam, Kepala Negara, Presiden RI. Dia pernah berjasa untuk bangsa ini. Bukankah diingatkan, wajib bagimu mencintai sesama seperti mencintai dirimu sendiri? Hilangkan rasa dendam dan kebencian, karena itu sumber akhlak setan.
Karena itu, menurut Bismar, Jaksa Agung harus berpedoman pada peringatan Ilahi bahwa ia wajib menegakkan keadilan, pertama-tama bukan terhadap orang lain, tetapi terhadap dirinya sendiri. Maknanya, sebagai Jaksa Agung harus menyadari apa yang ia lakukan dalam jabatannya, karena kelak di hadapan Khalik akan dituntut pertanggung jawabannya. Sehingga tanpa Keppres sekalipun, ia harus menegakkan keadilan terhadap Pak Harto. “Jangan sungkan, jangan pakewuh (karena sesuatu),” tulis Bismar.
Darah segar melalui Keppres telah disuntikkan, sekali lagi Bismillah! Mari tunggu hari mainnya. Pesan, laksanakan dengan niat LilIahi Ta ‘ ala. Bukan lil (karena) pemerintahan semata. Pergunakan akhlak mulia, menjunjung tinggi harkat seorang hamba Allah, dahulu ia disanjung pula, kini dihina, dihujat semena-mena. Naudzubi//ah min dzalik! Sikap demikian bukan akhlak seorang Pancasilais, tapi akhlak setan dajjal.
Mari ditunggu peradilan Pak Harto, peradilan yang tidak diwarnai balas dendam. Tapi, lebih dekat pada kasih sayang mengajaknya bertaubat. Di samping memohon maaf kepada Tuhan, juga kepada umat dan bangsa atas kesalahan yang pemah terjadi. Kesalahan itu bukan kesalahan sendiri, tapi juga kesalahan para pembantu sekelilingnya.
Kalau Pak Harto tak diadili di dunia, ia juga tak lepas dari peradilan di akhirat. Jangan lupa, masih ada peradilan Hakim yang Maha Adil.
Mantapkan dalam diri, tidak ada manusia yang bersih dari dosa, dan hamba yang paling mulia di mata. Tuhan ialah mereka yang mampu menebus dosanya, ikhlas menerima hukuman. Bertaubatlah baik kepada Khalik maupun kepada makhluk sesama manusia. Dan bila itu sudah dilakukan, tentu kita tidak berkata: “Tiada maaf bagimu, Soeharto!” Jangan, sekali lagi jangan. Bersikap demikian, murka Ilahi menimpa bangsa. Bismar mengajak anak bangsa untuk membudayakan sikap saling memaafkan. Melalui budaya itu rekonsiliasi nasional Insya Allah dapat diwujudkan. Mari, jangan menunggu sampai esok. MTI/CRS-SH | Bio TokohIndonesia.com