JAM Pidsus Saat Citra Terpuruk
Marwan Effendy
[DIREKTORI] Setelah dilantik sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus), 14/4/2008, Marwan Effendy mengatakan akan melakukan pembenahan dalam penanganan perkara di Kejaksaan Agung. Mantan Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Kejagung kelahiran Lubuk Linggau, Sumsel 13 Agustus 1953, itu berjanji berupaya mengembalikan dan menjaga kredibilitas lembaganya.
Citra Kejaksaan Agung sangat buruk setelah terpuruk dengan terbongkarnya kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap Rp 6 miliar (dihukum 20 tahun) dan berakibat dicopotnya para pejabat di Kejaksaan Agung termasuk Jampidsus Kemas Yahya Rahman, yang digantikan Marwan.
Namun, janji adalah tetap janji. Selama kepemimpinannya nyaris tidak ada perbaikan kinerja Kejaksaan Agung, khususnya bidang pidana khusus. Bahkan kepercayaan publik kepada Kejaksaan Agung makin melorot. Salah satu kasus yang mendapat perhatian publik dan memperburuk citra Kejaksaan Agung adalah dugaan rekayasa penetapan Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM sebagai tersangka korupsi Sisminbakum, Kementerian Hukum Dan Perundang-Undangan.
Prof. Romli yang terkenal sebagai cendekiawan antikorupsi dituduh melakukan korupsi 400-an milyar rupiah tanpa bukti yang kuat. Guru besar Hukum Pidana Internasional dan mantan Dirjen AHU Kemhumdang itu ditahan selama 305 hari sejak 10 November 2008, beberapa saat menjelang Pemilu 2009. Tuduhan korupsi ratusan milyar itu ternyata hanya bualan Marwan kepada pers. Sebab terbukti dalam dakwaan Kejagung yang dibacakan di pengadilan, Romli hanya ditdakwa korupsi Rp.25 juta yang katanya diterima oleh sekretarisnya dan sama sekali tidak ada bukti uang Rp. 25 juta itu pernah diterima Romli. Romli sendiri menyatakan sama-sekali tidak pernah menerima uang Rp.25 juta itu. Kwitansi penerimaan uang Rp. 25 juta yang ditandatangani sekretarisnya itu diduga direkayasa.
Namun, dengan dakwaan itu, Romli dihukum 2 tahun penjara di PN Jaksel. Romli naik banding. PT mengurangi hukuman menjadi 1 tahun. Romli kasasi. Mahkamah Agung membatalkan keputusan PN dan PT dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan keputusan membebaskan Prof. Romli dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) dan memulihkan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Keputusan MA No.591 K/Pid.Sus/2010 itu menguatkan dugaan berbagai pihak bahwa kasus yang menimpa Prof. Romli tersebut adalah rekayasa untuk membungkam dan membunuh karakter Prof. Romli menjelang Pemilu 2009, karena sebagai cendekiawan aktivis antikorupsi (Ketua Forum 2004), Prof. Romli sangat giat mengkritisi kinerja Kejagung yang antara lain mendorong KPK untuk mengambil-alih kasus BLBI dari Kejagung. Juga mengkritisi dan mendorong KPK menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi besar lainnya, termasuk agar KPK tidak tebang pilih dalam menangani kasus Bank Indonesia. Sehingga diduga pihak penguasa merasa gerah. Bertindih dengan dugaan dendam pribadi Marwan kepada Romli terkait dugaan plagiat disertasi yang terungkap saat Marwan mengikuti seleksi pimpinan KPK. Marwan sendiri berulangkali membantah adanya dendam pribadi tersebut dan sekaligus membantah dugaan plagiat dimaksud serta membantah adanya rekayasa dalam penetapan Romli sebagai tersangka dan terdakwa tindak pidana korupsi.
Namun, apa pun penjelasannya, Keputusan MA yang membebaskan Romli tersebut telah membuat kredibilitas Kejagung semakin dipertanyakan publik. Kejaksaan Agung sendiri sampai saat ini belum meminta maaf atas kasus ini.
Soal Gaji
Dibandingkan gaji pejabat negara lainnya, gaji jaksa dianggap tergolong rendah. Kiranya, begitu pula dengan gaji Marwan Effendy sebagai Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus). Dari laporan kekayaan saat mendaftar sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, Marwan melaporkan gajinya Rp 5,5 juta. Jumlah tersebut terkait dengan jabatan sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Kejagung. Setelah menjadi JAM Pidsus, gaji plus tunjangan Marwan naik menjadi Rp 6,5 juta.
Barangkali, bagi Marwan pun, gaji sebesar itu masih kurang memadai dibandingkan tanggung jawab profesi yang diembannya. Yang pasti, peraih gelar doktor ilmu hukum (S3) dari Unpad, Bandung ini masih menyempatkan diri menulis, mengajar hukum (dosen), dan sesekali menjadi pembicara di seminar-seminar. Dari kegiatan itu pula, Marwan bisa menambah pundi-pundinya.
Apakah hanya dari disitu saja penghasilan Marwan? Ternyata tidak! Siapa sangka, lelaki kelahiran Lubuk Linggau, Sumsel, 13 Agustus 1953 ini, memiliki sebuah hotel di Lampung yang bernilai miliaran rupiah.
Tapi, bagaimana mungkin seorang jaksa yang gajinya tergolong kecil mampu memiliki sebuah hotel yang harganya miliaran rupiah?
Jangan menduga yang tidak-tidak. Sebab menurut dia, hotel tersebut milik ibunya yang kemudian diatasnamakan untuk dirinya. “Keuntungan hotel itu bukan untuk saya, tetapi membiayai adik-adik saya yang belum memiliki pekerjaan tetap,” kata Marwan kepada pers.
Anda, juga mungkin tidak menyangka, kalau keluarga dari ayah empat anak laki-laki ini memperoleh penghasilan dari sumber lain: kue brownies. Istri Marwan, Sudarsih, ternyata juga menjalankan usaha kue brownies di Bandung yang dalam laporan tadi, penghasilan istrinya mencapai Rp 10 juta.
Lantas, berapa sebenarnya penghasilan keluarga Jampidsus itu setiap bulannya?
Masih menurut laporan kekayaan saat dirinya mendaftar KPK (2007), penghasilan keluarga Marwan per bulan adalah Rp 23,5 juta. Perinciannya yaitu penghasilan dari kejaksaan Rp 5,5 juta, dosen Rp 3 juta, seminar Rp 5 juta, istri Rp 10 juta. Sedangkan total kekayaannya adalah Rp 2,18 miliar.
Gaji di Kejaksaan
Sebagai pejabat kejaksaan, Marwan Effendy mengaku merasa sedih melihat penghasilan jaksa yang dianggapnya pas-pasan meskipun dana operasional penyelesaian perkara sudah ada.
“Tetapi, per perkara amat kecil, hanya Rp 3 juta untuk tiga orang. Itu pun tidak mungkin mereka (dalam) satu bulan menangani perkara. Benar-benar terbatas. Kalau mereka pakai anggaran itu untuk membiayai hidupnya, juga tidak mungkin. Permasalahan ini dilematis. Masyarakat kadang tidak melihat permasalahan ini. Coba bandingkan dengan gaji (penyidik) KPK yang demikian besar (gaji Ketua KPK Rp 43 juta per bulan). Padahal, beban kerjanya sama, bidang penanganan korupsi,” katanya suatu ketika. Itulah sebabnya mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ini mengharapkan kenaikan gaji yang besarnya, minimal sama nilainya dengan gaji hakim. “Gaji mereka kan sudah naik,” tambahnya.
Berdasarkan PP No 10/2007, gaji pokok hakim antara Rp 1.796.900 sampai dengan Rp 4.525.400. Namun, berdasarkan Perpres No 19/2008, hakim mendapat tunjangan antara Rp 4,2 juta-Rp 31,1 juta.
Sementara itu gaji jaksa berada jauh di bawahnya. Dari hasil assesment satu tahun agenda pembaruan kejaksaan 2006, gaji pokok pegawai kejaksaan terendah Rp 575 ribu (golongan I/a : masa kerja nol tahun), yang tertinggi Rp 2,07 juta (IV/e : masa kerja paling lama 32 tahun).
Adapun tunjangan fungsional jaksa – sesuai Keppres No 158 Tahun 2000 – terendah Rp 600 ribu (III/a) dan tertinggi Rp 2,5 juta (IV/e). Dengan demikian, berdasarkan data tersebut, gaji pegawai kejaksaan terendah Rp 575 ribu, sedangkan gaji plus tunjangan tertinggi Rp 4,57 juta.
Kenaikan gaji bagi pejabat dikejaksaan memang wajar. Apalagi, setelah dilantik sebagai JAM Pidsus (14/4), Marwan Effendy langsung melakukan pembenahan dalam penanganan perkara di kantor barunya, Kejaksaan Agung. Bahkan beberapa hari kemudian pihaknya mulai banyak menahan tersangka pelanggaran hukum. Hingga kini Marwan masih terus berupaya mengembalikan dan menjaga kredibilitas lembaganya. Ini berarti berhubungan langsung dengan peningkatan kinerja dan profesionalisme para pejabatnya. e-ti/spn