MUI Menyusup ke Al-Zaytun
Kemenag Jangan Membisu
AS Panji Gumilang Al-Zaytun dan Pancasila Al-Zaytun Patut Dicontoh Al-Zaytun yang Terbaik
Penulis Rukmana Fadli, Wartawan Tokoh Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak bisa bertindak seperti aparat penegak hukum yang bisa melakukan penyelidikan dengan melakukan penyusupan atau infiltrasi. Jika ini dilakukan tentu itu sudah melanggar ketentuan Ormas itu sendiri seperti yang tertera dalam Pasal 59 ayat 3 huruf d. Ormas dilarang melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pernyataan Ketua MUI KH. Cholil Nafis di TVOne beberapa hari lalu yang mengatakan telah menyusupkan anggota/pengurus MUI ke Al-Zaytun mendapatkan reaksi keras dari pimpinan pondok pesantren Al-Zaytun Prof. DR. HC. Syaykh Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, karena menurut hukum positif di Indonesia penyusupan atau infiltrasi hanya boleh dilakukan oleh aparat kepolisian selaku penegak hukum.
“Kalau MUI masuk tanpa ijin dari kami itu namanya menyusup dan ilegal. Dalam Islam jika kita mau memasuki tempat orang lain atau rumah lain adabnya adalah ijin terlebih dahulu dan jika tidak diijinkan maka tidak boleh memaksa apalagi menyusup, kecuali aparat penegak hukum yang dilindungi undang-undang,” ujar Syaykh Al-Zaytun dalam berbagai kesempatan.
“Sudah masuk tanpa ijin, kemudian membuat kesimpulan a, b, c terhadap Al-Zaytun. MUI kirim surat dan meminta masuk untuk melakukan investigasi atau penelitian, kami menolaknya karena Wakil Ketua MUI Pusat di media massa mengatakan saya ini (AS Panji Gumilang) komunis, padahal hanya berdasarkan Tiktok yang sudah diedit atau dipotong-potong. Tanpa tabayun sudah menjustifikasi seseorang komunis, dan ini memantik kemarahan massa dalam bentuk demo ke Al-Zaytun, Kamis 22/06/23,” jelas AS.Panji Gumilang.
“Kami ingin MUI (Waketum MUI) mencabut pernyataannya bahwa AS Panji Gumilang komunis, dan Al-Zaytun menyimpang ini-itu, barulah kami dengan senang hati menerima MUI sebagai tamu kehormatan di Al-Zaytun. Karena sesungguhnya kita ini sama-sama ulama yang harus saling menasehati dalam kebenaran tanpa merasa paling benar.” tandas Syaykh Al-Zaytun di hadapan Dandim Indramayu Letkol Kolonel ARM. Andang Radianto, S.A.P. ketika ‘memfasilitasi’ Kesbangpol Provinsi Jawa Barat Iip Hidajat datang ke Al-Zaytun Kamis 22/06 mengantarkan ‘surat Gubernur Jawa Barat’ dan diterima dengan tangan terbuka serta penuh hormat oleh Syakh Al-Zaytun, Prof. DR. HC. Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang.
Kemenag Jangan Membisu
Melihat polemik Al-Zaytun yang terus bergulir bagaikan bola salju, negara dalam hal ini Kemenag harus mengambil sikap tegas, mengambil tanggung jawab penyelesaian polemik tersebut, jangan biarkan antar ulama (Syaykh AS.Panji Gumilang pimpinan Ponpes Al-Zaytun dengan MUI) saling melontarkan argumen di media massa yang pada akhirnya masyarakat memandang kinerja pemerintah (Kemenag) tidak profesional dan tidak sesuai ekspektasi masyarakat, tidak sesuai dengan maksud serta tujuan dibentuknya Kemenag.
Pembentukan Kementerian Agama dalam Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Kementerian Agama.
Pembentukan Kementerian Agama pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Maksud dan tujuan membentuk Kementerian Agama, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di tanah air, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian dengan urusan keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis berada di tangan seorang menteri.
Melihat historinya, Kemenag dibentuk sudah sesuai keinginan masyarakat Indonesia termasuk umat Muslim dan seharusnya menjadi satu-satunya lembaga yang mengurusi masalah keagamaan di Indonesia, mengapa kemudian muncul Majelis Ulama Indonesia (MUI)?
Bukankah kehadiran MUI ini untuk membantu pemerintah dalam menyelenggarakan negara yang good governance namun tidak menjadi lembaga adhoc seperti KPK, karena MUI berdiri berdasarkan undang-undang ormas No. 16 tahun 2017 atau Peraturan Pemerintah No. 02 tahun 2017 yang tentu saja kewenangannya sangat terbatas.
Tidak elok melihatnya dan tidak sesuai dengan undang-undang ketika Kemenag menyerahkan penyelesaian polemik Al-Zaytun kepada MUI, karena MUI ini bukan lembaga negara yang sejajar dengan Kemenag, MUI adalah organisasi kemasyarakatan yang sama kedudukan hukumnya dengan Al-Zaytun, yakni sama-sama didirikan berdasarkan undang-undang ormas. Oleh karenanya pantas jika AS Panji Gumilang mengatakan Hum rijal wanahnu rijal yang artinya jika mereka para ulama bisa berijtihad, saya juga bisa. Ungkapan ini menunjukan bahwa Syaykh Al-Zaytun memposisikan diri sebagai ulama yang mempunyai hak yang sama dengan alim ulama yang ada di MUI.
Tentu ini adalah hak daripada Syaykh Al-Zaytun selaku pemangku pondok pesantren terbesar di Asia Tenggara, maka tak heran jika Syaykh membuat pilihan fiqih dalam pelaksanaan ibadah tidak taqlid buta terhadap satu bidang ilmu fiqih. Menurut pandangan kami selaku wartawan yang sudah lebih 20 tahun meliput kegiatan Al-Zaytun, Syaykh Al-Zaytun membuat formula fiqih dari keempat madzhab besar yakni Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hanafi dan Imam Hambali dan diperbaharui sesuai konteks atau kondisional yang ada maka disebutlah madzhab Soekarno.
Mengapa Madzhab Soekarno? Karena Ir.Soekarno dikenal dengan terobosan-terobosan berfikir yang revolusioner dalam segala bidang terutama dalam hal bernegara atau fiqih Siyasah (politik). Mungkin masyarakat Indonesia sudah lupa bahwa; Soekarno merupakan salah satu dari tiga serangkai murid dari HOS Tjokroadminoto seorang ulama besar di era pra kemerdekaan.
Pemilik nama lengkap Oemar Said Tjokroaminoto (16 Agustus 1882 – 17 Desember 1934), lebih dikenal di Indonesia sebagai HOS Tjokroaminoto, adalah seorang tokoh Islam nasionalis Indonesia. Ia menjadi salah satu pemimpin Sarekat Dagang Islam, yang didirikan oleh Samanhudi, yang menjadi Sarekat Islam, yang mereka dirikan bersama.
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto sebagaimana tercatat dalam Arsip Nasional Republik Indonesia dan Direktorat Pahlawan Nasional Kementerian Sosial Republik Indonesia, diarsipkan 2021-08-18 di Wayback Machine), lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto, merupakan salah satu pemimpin organisasi pertama di Indonesia, yaitu Sarekat Islam
Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno, salah seorang pejabat wedana Kleco, Magetan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo, Mertuanya adalah R.M. Mangoensoemo yang merupakan wakil bupati Ponorogo. Beliau adalah keturunan langsung dari Kiai Ageng Hasan Besari dari Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo.
Pemahaman Islam Soekarno tentu tidak kalah fasih dengan ulama-ulama zaman sekarang, namun karena Ia dipersiapakan oleh Tjokroaminoto sebagai seorang yang mewakili kaum nasionalis maka keislaman Soekarno tidak terlalu diketahui orang, tetapi dalam hal protesnya Soekarno terhadap Muhammadiyah yang memisahkan jama’ah laki-laki dengan jama’ah perempuan dengan tabir.
Dari buku-buku yang ditulisnya dapat tergambarkan bagaimana jalan pikiran seorang Soekarno, dan salah satu bukunya berjudul Dibawah Bendera Revolusi sudah cukup membuktikan bahwa Soekarno seorang yang visioner, nasionalis dan religius. (Ed: MLP)
Assalamu Alaikum
Merdeka
Semoga Allah SWT Selalu Memberikan Kesehatan Paripurna Rezeki Sempurna untuk YAB Syaykh Al-Zaytun,Umi dan Keluarga Ma’had Al-Zaytun dimanapun Berada.
Sukses Grenss Ekonomi, Blue Ekonomi dimana Kita Bertugas
Al-hamdulillah