
[OPINI] – Oleh Ch. Robin Simanullang | Bagaimana pandangan Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang tentang Pancasila (lima nilai-nilai dasar bernegara)? Apakah pemuka agama (Islam) dan pemangku pendidikan ini patut digugu dan ditiru (diteladani) dalam hal bagaimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam tatanan nilai-nilai dasar negara yang sudah disepakati bersama itu?
Pengantar
Artikel ini telah diterbitkan Majalah Berita Indonesia Edisi 76 dalam rubrik Lentera dengan judul Al-Zaytun dan Lima Nilai Dasar Negara. Artikel ini merupakan bagian keenam dari rangkaian Al-Zaytun Sumber Inspirasi, yang kami pilih menjadi judul utama dari serangkaian tulisan Lentera di majalah tersebut.
@tokoh.id (Quote Version) AS Panji Gumilang: Hilangkan Kredo Mayoritas-Minoritas. Yang Ada, Persatuan Indonesia. #panjigumilang #alzaytun #mahadalzaytun #persatuanindonesia #pesantrenalzaytun
Lima seri (bagian) sebelumnya adalah: Bagian Satu (sebagai pembukaan) berjudul Al-Zaytun Sumber Inspirasi (Edisi 57); Bagian Dua, Toleransi Sebagai Akidah (Edisi 62); Bagian Tiga, Laboratorium Indonesia Kuat (Edisi 65); Bagian Empat, Obor Demokrasi Masa Depan (Edisi 66); dan, Bagian Lima, Koalisi dalam Kesadaran Interdependensi (Edisi 67).
Inti sari bagian enam ini adalah bagaimana Al-Zaytun menginspirasi (mengilhami dan mencerahkan) setiap orang supaya berkemampuan pikir secara konsisten menjiwai dan mengejawantahkan lima nilai dasar yang telah disepakati dalam Pembukaan UUD 1945, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menginspirasi banyak orang untuk berkemampuan secara dinamis mengembangkan visi, prinsip dan kepribadian serta mengungkapkan (memahami) dan menjiwai nilai-nila dasar negara tersebut secara terbuka.
***
Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang adalah sosok pemuka agama (Islam) dan pemangku pendidikan yang patut digugu dan ditiru (diteladani) dalam hal bagaimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam tatanan nilai-nilai dasar negara yang sudah disepakati bersama. Dia tidak hanya berbicara tetapi dengan konsisten mengejawantahkannya dalam kehidupan keseharian. Dia mengilhami (inspirasi) banyak orang tentang nilai-nilai dasar negara. Dalam konteks ini, dia seorang negarawan sejati.
Bagi setiap orang yang berpikir positif dan telah mengenal dekat sosok, visi-misi dan keseharian Rektor Universitas Al-Zaytun Indonesia ini, pastilah mengamini pernyataan di atas. Namun, tidaklah mustahil, bagi sebagian orang yang seringkali berpandangan negatif dan belum mengenal atau hanya mengenalnya dari gosip dan sas-sus, mungkin pernyataan itu bisa dipandang berbeda.
Bagi kami, yang sudah sejak beberapa tahun mengenal sangat dekat dengan Syaykh Panji Gumilang, sosoknya adalah sumber inspirasi yang amat perfek, bagaimana seharusnya seorang warga negara, penganut dan pemuka agama dan para pemimpin, berpikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dasar negaranya. Bahkan dalam konteks ini, seringkali dia lebih patut diteladani daripada para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara di negeri ini.
Bayangkan, Presiden dan Ketua MPR saja pernah tidak lagi konsisten mendasarkan platformnya pada nilai-nilai dasar negara. Bahkan seringkali tampil pada area abu-abu. Maka, jabatan tidaklah otomatis menjamin orang sebagai berjiwa negarawan. Menurut hemat kami, kriteria pertama dan utama bagi seseorang pantas diposisikan sebagai negarawan adalah sejauh mana dia konsisten menjiwai dan melaksanakan nilai-nilai dasar negara yang ditetapkan dalam konstitusi.
Jika ada pemimpin – Presiden atau Ketua MPR sekalipun – menerapkan politik seolah-olah, tentu tidak pantas digelari negarawan. Bagaimana mungkin seseorang yang dalam jabatan dan kesehariannya hanya menerapkan politik seolah-olah Pancasilais serta seolah-olah bermoral dan beretika, patut disebut negarawan?
Negarawan, sepatutnyalah hanya milik dari orang-orang yang tulus dan tanpa pamrih serta konsisten menjiwai nilai-nilai dasar negaranya yang termaktub dalam konstitusi. Dalam konteks inilah, kami menampilkan bagaimana Syaykh AS Panji Gumilang, sebagai personifikasi Al-Zaytun, sebagai sumber inspirasi yang amat baik, inovatif dan kreatif.
Untuk lebih memaknai apa yang kami maksud sebagai sumber inspirasi, barangkali perlu dikemukakan kembali pengertian dasarnya. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta (1976), inspirasi diartikan sebagai ilham; bisikan. Ilham berarti: (1) petunjuk yang datangnya dari Tuhan yang terbit di hati; (2) sesuatu yang menggerakkan hati untuk…
Dalam bahasa Latin, perkataan inspirasi berasal dari dua kata yaitu in dan spiro yang secara harfiah berarti menghembuskan ke dalam. Arti yang hampir sama dalam bahasa Ibrani, kata inspirasi adalah neshama dan nismah yang berarti nafas. Dalam bahasa Arab kata inspirasi adalah fikrah dari asal kata fikrun yang berarti ide, pikiran atau pergerakan pikiran dalam otak.
Jadi, inspirasi (ilham, yang menggerakkan hati dan pikiran) secara intuisi bisa dimaknai semacam nafas, bisikan dan penglihatan yang amat tajam dan menggerakkan (memengaruhi) hati dan pikiran seseorang untuk berkemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaan dan pandangannya.
Inspirasi juga bermakna pencerahan (iluminasi) berupa petunjuk dari Tuhan yang terbit di hati dan pikiran sehingga meningkatkan kemampuan pikir, ide, gagasan, perasaan dan imajinasi seseorang. Kemudian secara dinamis, seseorang itu mampu mengembangkan visi, prinsip dan kepribadian dalam memilih kata dan cara mengungkapkannya serta menjiwainya.
Dalam pengertian inilah kami memaknai bahwa Al-Zaytun sebagai sumber inspirasi dalam memahami dan menjiwai nilai-nilai dasar negara Republik Indonesia (Pancasila) sebagai ideologi terbuka. Hal mana, Syaykh Panji Gumilang melalui visi, sikap dan tindak-lakunya menginspirasi, mengilhami, menggerakkan hati, pikiran dan intuisi (nafas, bisikan dan penglihatan yang tajam) untuk menggerakkan seseorang berkemampuan berimajinasi mengembangkan perasaan dan pandangannya secara terbuka tentang nilai-nilai dasar negaranya.
Lebih daripada itu, Syaykh al-Zaytun juga membuka cakrawala inspirasi sebagai pencerahan (iluminasi) berupa petunjuk dari Tuhan. Dengan penegasannya bahwa nilai-nilai dasar negara Indonesia, sepenuhnya merupakan ajaran Ilahi, yang dapat berlaku untuk semua rakyat dan bangsa Indonesia. Sebuah ideologi modern, untuk masyarakat majemuk yang modern, yakni masyarakat Indonesia. Ideologi terbuka, yang pola pemahamannya juga terbuka bagi segenap masyarakat Indonesia yang majemuk.
Sejalan Visi-Misi Al-Zaytun
Sejak berdirinya Al-Zaytun pada 1999, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kehidupan keseharian, penjiwaan atas nilai-nilai dasar negara itu sangat menonjol. Hal ini sejalan dengan visi dan misi lembaga pendidikan Islam yang didirikan Yayasan Pesantren Indonesia itu, sebagai Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian. Visi dan misi ini mengacu pada nilai-nilai dasar negara Republik Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan norma-norma hak dasar manusia secara universal.
Syaykh al-Zaytun Panji Gumilang tampaknya tidak jemu-jemu menjelaskan betapa penjiwaan atas kelima nilai-nilai dasar negara itu amat penting. Tidak hanya dalam proses belajar di ruang kelas, bahkan juga dalam khutbah dan tausiyah, serta dalam percakapan keseharian.
Dalam suatu percakapan, kami pernah mengajukan pertanyaan kepada Syaykh al-Zaytun, kenapa sedemikian intens, berulang kali menjelaskan dan menanamkan mutlak perlunya menjiwai nilai-nilai dasar bernegara itu. Salah satu jawabannya adalah proses penjiwaan sebuah nilai harus dilakukan secara terus-menerus. Selain itu, bagi Syaykh al-Zaytun, nilai-nilai dasar negara Indonesia itu, sepenuhnya merupakan ajaran Ilahi yang berlaku untuk semua rakyat dan bangsa Indonesia. “Nilai-nilai dasar negara ini merupakan ideologi modern, untuk masyarakat majemuk yang modern, yakni masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Hampir pada setiap event besar di Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang dalam tausiyah dan khutbahnya menjelaskan bahwa nilai-nilai dasar negara Indonesia itu, sepenuhnya merupakan ajaran Ilahi.
Dalam pengamatan kami, penjelasan demi penjelasan tentang nilai-nilai dasar bernegara itu, sedemikian sempurna menginspirasi setiap orang untuk menginterpretasi dan menjiwainya secara terbuka. Tidak perlu dipaksakan dalam sebuah pola pengamalan yang dilatarbelakangi budaya dan ajaran suku, golongan atau agama tertentu. Sehingga, kemajemukan dalam ke-bhinneka tunggal ika-an terejawantahkan secara alamiah dalam keseharian bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pandangan Syaykh al-Zaytun
Pada kesempatan ini, kami merangkum pandangan Syaykh Panji Gumilang tentang kelima nilai-nilai dasar negara Republik Indonesia, khususnya dari yang pernah dikemukakan pada Khutbah ‘Ied Al-Fithri 1429, Idul Adha 1429 H, Ied Al-Fithri 1430 dan pidato perayaan peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-64.
Secara khusus, Idul-Fithri 1429 H bertepatan dengan 1 Oktober 2008 yang pernah ditetapkan pemerintah sebagai hari Kesaktian Pancasila (Dasar Negara Indonesia), Syaykh Panji Gumilang dalam khutbahnya mengatakan bahwa dia ingin memanfaatkan momentum dan mimbar itu untuk menyampaikan pesan singkat tentang makna nilai-nilai dasar negara tersebut.
Syaykh al-Zaytun menegaskan bahwa nilai-nilai dasar negara Indonesia, sepenuhnya merupakan ajaran Ilahi, yang dapat berlaku untuk semua rakyat dan bangsa Indonesia. Nilai-nilai dasar negara ini merupakan ideologi modern, untuk masyarakat majemuk yang modern, yakni masyarakat Indonesia.
Menurutnya, nilai-nilai dasar negara Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 itu merupakan nilai-nilai dasar yang modern, juga menjadi ideologi yang dinamis; dimana watak ideologi dinamis itu adalah terbuka. “Konsekuensinya, seluruh nilai yang terkandung di dalam konstitusi/UUD negara sepenuhnya harus berlandaskan ideologi dan nilai-nilai dasar negara tersebut,” jelasnya.
PANCASILA | Para pendiri bangsa Republik Indonesia, telah bersepakat merumuskan dan menetapkan lima nilai-nilai dasar bernegara di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Yakni, Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebelumnya, Bung Karno dalam pidatonya 1 Juni 1945, menyebut lima dasar itu dalam bahasa Sansekerta, Panca (lima) Sila (prinsip, dasar, asas). Sehingga selanjutnya, sebutan lima dasar itu menjadi populer: Pancasila. Walau sebutan lima nilai prinsip dasar itu secara eksplisit dalam Pembukaan UUD 1945 tidak disebut demikian. Kemudian setiap tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila (Lima Dasar Negara).Syaykh berpandangan, tafsir daripada nilai-nilai dasar negara yang baku sesungguhnya adalah konstitusi atau UUD negara. “Karenanya, UUD menjadi tidak relevan bahkan tidak valid bila bertentangan dengan nilai-nilai dasar negara,” katanya.
Secara rinci Syaykh al-Zaytun menyampaikan pesan dalam khutbahnya tentang makna kelima nilai-nilai dasar negara yang termatub dalam Pembukaan UUD 1945 itu secara berurutan. Tugas sosialisasi seperti ini seyogyanya merupakan tanggung jawab utama para Pimpinan MPR, tetapi bagi Syaykh al-Zaytun hal ini adalah menjadi tanggung jawab dan kewajiban setiap warga negara.
Nilai Dasar Pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa: Memahami substansi nilai-nilai dasar negara adalah menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara. Tatkala memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup ini maknanya: mewujudkan masyarakat yang berketuhanan, yakni masyarakat yang anggotanya dijiwai oleh semangat mencapai ridlo Tuhan / Mardlatillah, melalui perbuatan-perbuatan baik bagi sesama manusia dan kepada seluruh makhluk.
Karenanya, membangun Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa adalah membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut pandang etis keagamaan, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa ini pula menyatakan bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan, dan masyarakat yang beragama, apapun agama dan keyakinan mereka.
Nilai Dasar Kedua
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: Sejarah adalah wujud pengalaman manusia untuk berperadaban dan berkebudayaan, karenanya, peradaban, politik, dan kebudayaan adalah bagian dari pada kehidupan manusia.
Kemanusiaan, sangat erat hubungannya dengan ketuhanan. Ajaran Illahi menjadi tidak dapat diimplementasikan jika tidak wujud dalam sikap kemanusiaan yang hakiki. Struktur pemerintahan tidak sepenting semangat perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab yang jauh dari pada pendendam dan egoistik (ananiyah).
Demokrasi yang paling menyeluruh sekalipun akan membawa sengsara, jika rakyat tidak memiliki sikap kemanusiaan yang adil dan beradab (jujur), apapun sistem pemerintahan yang ditempuh, tanpa semangat kemanusiaan yang adil dan beradab sengsara jua ujungnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab memerlukan kesetiaan pada diri ketika menjalani kehidupan. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah sebuah semangat dan kegigihan mengajak masyarakat agar kembali ke pangkal jalan dan membangun kembali revolusi bathin masing-masing, mendisiplinkan diri dengan baik, untuk menemukan kendali dan penguasaan diri.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu kemampuan untuk menyeimbangkan antara kemakmuran lahiriyah dengan kehidupan ruhaniyah.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah semangat mempersiapkan generasi penerus yang mampu melihat lebih dari kepentingan diri sendiri serta memiliki perspektif yang jelas untuk kemajuan masyarakatnya.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan. Sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yakni manusia yang berperadaban. Manusia yang berperadaban tentunya lebih mudah menerima kebenaran dengan tulus, dan lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, yang mengenal hukum. Hidup dengan hukum dan peraturan adalah ciri masyarakat berperadaban dan berkebudayaan.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah semangat membangun pandangan tentang kehidupan masyarakat dan alam semesta untuk mencapai kebahagiaan dengan usaha gigih.
Kemanusiaan yang adil dan beradab menimbulkan semangat universal yang mewujudkan sikap bahwa semua bangsa dapat dan harus hidup dalam harmoni penuh toleransi dan damai.
Kemanusiaan yang adil dan beradab akan menghantar kehidupan menjadi bermakna, karena dicapai dengan berbakti tanpa mementingkan diri sendiri demi kebaikan bersama.
Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah suatu sikap revitalisasi diri, untuk memupuk dinamisme kreatif kehidupan, yang menghantarkan seseorang menjadi selalu dinamis, selalu sensitif dan peka pada gerak perubahan dan pembaharuan.
Revitalisasi diri sebagai buah kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak terbatas bagi pemeluk agama tertentu siapapun dengan agama apapun dapat melakukannya. Semakin teguh seseorang menempuh kemanusiaan yang adil dan beradab, semakin rendah hati, dan semakin teguh keyakinannya semakin murah hati pula. Dalam hal ini, misi tulen agama adalah untuk memupuk pembentukan sifat dan menggalakkan usaha menguasai diri, yakni toleran dan damai.
Nilai Dasar Ketiga
Persatuan Indonesia: Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian yang telah bersatu. Persatuan Indonesia adalah suatu landasan hidup bangsa atau sistem, yang selalu mementingkan silaturahim, kesetiakawanan, kesetiaan, dan keberanian.
Kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Indonesia wujud dan hidup untuk mewujudkan kasih sayang sesama bangsa maupun antarbangsa.
Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan sempit. Namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dengan dunia luar. Suatu upaya untuk mengimbangi kepentingan diri dengan kepentingan bangsa lain, atau dalam tataran yang lebih mendalam antara individu bangsa dan alam sejagad, yang merupakan suatu ciri yang diinginkan sebagai warga dunia.
Dalam jangka panjang, prinsip persatuan Indonesia harus menjadi asas ruhaniah suatu peraturan-peraturan dan struktur membangun satu orde antarbangsa yang adil.
Persatuan Indonesia harus mampu menanamkan pemikiran terbuka dan pandangan jauh bagi bangsa Indonesia. Sebab hanya mereka yang berpandangan jauh dan berpikiran terbuka yang dapat mendukung aspirasi ke arah internasionalisme maupun globalisme.
Persatuan Indonesia seperti ini, akan menghantar rakyat Indonesia memiliki kebanggaan yang tulus tentang identitas mereka sebagai warga negara maupun warga dunia.
Pandangan dan sikap seperti ini tidak akan melenyapkan ciri-ciri unggul suatu bangsa. Malahan akan dapat memantapkan ciri-ciri unik sebuah masyarakat bangsa, yakni masyarakat bangsa yang sadar terhadap tanggung jawab global, bersatu dalam mewujudkan persatuan universal, masing-masing menyumbangkan keistimewaannya.
Persatuan Indonesia seperti ini akan mampu menyingkirkan permusuhan internal bangsa. Sebab pencapaiannya tidak melalui kekuatan militer, melainkan melalui tuntutan ilmu, dan peradaban yang membudaya dalam kehidupan masyarakat. Persatuan Indonesia yang berpegang pada prinsip bahwa kemajuan kebudayaan dapat menyamai nilai-nilai universal, sehingga dapat menjadi kekuatan yang dapat mengangkat harkat martabat rakyat untuk menjadi warga negara dan seterusnya warga dunia yang baik.
Persatuan Indonesia Sebagai Fitrah
Secara khusus pemaknaan tentang nilai dasar Persatuan Indonesia disampaikan Syaykh Panji Gumilang dalam Khutbah ‘Ied Al-Fithri 1430 (20 September 2009). Secara fitrah pembawaan, kata Syaykh, manusia bergerak mewujudkan dan membangun suatu masyarakat, bangsa dan negara, oleh itu manusia selalu ketergantungan (interdependen) satu dengan lainnya. “Sesungguhnya fitrah manusia tak dapat menghindar dari hidup dalam persatuan,” jelasnya.
Menurutnya, wadah persatuan yang dapat menghimpun segala aktivitasnya adalah negara. Karena negara merupakan organisasi suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat, karena memiliki lembaga politik, pemerintahan yang efektif, kesatuan politik, kedaulatan, dan tujuan nasional.
Pemilik wadah persatuan yang berwujud negara itu adalah warga negara, yaitu suatu bangsa yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai warga dari negaranya itu. Syaykh mengemukakan bahwa karunia besar telah dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kita, berupa negara dan kebangsaan, yakni Indonesia, maka kita berkewajiban sekaligus berkepentingan mendhahir wujudkan Persatuan Indonesia itu.
Persatuan Indonesia yang segenap warga negaranya berkedudukan sama di dalam hukum dan pemerintahan, dan berkewajiban sama dalam menjunjung hukum dan pemerintahan negara tanpa kecuali.
Persatuan Indonesia yang selalu diupayakan untuk membela tujuan bersama (yang sama) menemukan sesuatu bagi kehidupan bersama bangsa Indonesia, yakni keadilan dan kemakmuran serta kedamaian.
Karunia besar berupa kebangsaan, yakni bangsa yang multikultural namun menyatu dalam persatuan, harus selalu dijadikan landasan membangun budaya Indonesia.
Dimana budaya itu sendiri bersifat dinamis dan tidak statis, mencakup keseluruhan gaya hidup, agama, teknologi, kesusasteraan, dan hasil kesenian bangsa, karenanya manusia terikat oleh kebudayaannya (suigeneris).
Mengenai semua itu harus disadari bahwa kepelbagaian kebudayaan itu mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman kultur manusia Indonesia.
Membangun budaya dalam bingkai Persatuan Indonesia yang majemuk, dan multikultural itu, harus selalu mengutamakan nilai dan praktik hidup bersama, pengenalan melalui pendidikan sejak dini, sebab hidup bersama dalam lingkungan masyarakat majemuk harus dituntun oleh pembelajaran yang terencana.
Persatuan Indonesia harus dapat mengembangkan masyarakat yang rukun, tidak menciptakan ruang bagi terjadinya pengotakan sosial berdasar perbedaan agama, ras, dan lain-lainnya. Dalam kontek kehidupan bersama di dalam masyarakat majemuk, hubungan antar agama tidak boleh tertutup.
Dalam kehidupan yang majemuk, kita selalu berhadapan dengan sikap manusia. Dalam hal ini yang paling diperlukan adalah terwujudnya sikap etis dalam pergaulan dengan sesama umat manusia dengan berbagai perbedaannya. Sikap etis ini juga perlu dibiasakan melalui pembelajaran dan pendidikan tanpa henti.
Agama akan menjadi kaya makna, dan berpengaruh signifikan dalam kehidupan umat manusia, jika pemeluknya selalu cenderung kepada aspek kemanusiaan dan tidak hanya aspek teologis. Dalam berbagai problem sosial, peran agama dapat menyumbangkan pemecahan masalah menuju perubahan dan perbaikannya, bila pemeluknya cenderung kepada aspek kemanusiaan.
Beragama semestinya berfungsi untuk mempertahankan dan memperkuat rasa solidaritas dan kewajiban sosial, dalam masyarakat yang memegang fungsi ini, maka fungsi agama tersebut dapat secara nyata ditegakkan.
Agama memungkinkan manusia melakukan hal-hal besar yang mampu dilakukannya, dan ia menyebabkan orang dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain, ia memberikan kepadanya kedamaian, kebahagiaan, dan keharmonisan. Namun bila seseorang kehilangan pemaknaan yang hakiki dan sikap toleransi, agama juga dapat mendatangkan akibat-akibat lain, berupa timbulnya berbagai konflik dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, juga dapat membendung berbagai kemajuan yang berdasar pengalaman maupun ilmu pengetahuan.
Untuk mewujudkan cita-cita persatuan yang ideal, dan memperkecil hambatan-hambatannya, maka diperlukan dialog sehat antar sesama warga bangsa yang majemuk ini. Manusia yang menyendiri sajalah yang akan kehilangan kesempatan untuk berdialog, sekaligus kehilangan kesempatan untuk bermasyarakat. Dan ketika manusia membentuk masyarakat, maka dialog itu akan terjadi dengan sendirinya.
Hubungan antar umat beragama pada era ini, ditandai dengan apa yang disebut dialog. Dialog berarti percakapan tentang hal-hal esensial dan eksistensial. Indonesia yang masyarakatnya beraneka ragam dan dengan latar belakang yang berbeda-beda, sangat disadari akan pentingnya arti dan fungsi dialog itu.
Kita pahami dari berbagai dokumentasi dialog-dialog antaragama telah terselenggara, sejak masa-masa lalu dalam waktu dan proses yang panjang, dengan harapan dapat meraih hasil dialog yang signifikan. Walau dalam kenyataan masih belum dapat diraih seperti yang diidam-idamkan itu.
Khususnya di Indonesia, konflik sosial yang diatasnamakan agama masih sering kali terjadi. Juga masih terdapat kecenderungan pemeluk agama yang belum bisa menerima keberadaan pemeluk lainnya. Itulah yang mendorong bahwa dialog masih memerlukan daya upaya yang serius agar cita-cita persatuan dan kebersamaan dalam kebhinekaan dapat terwujud.
Daya upaya dialog keagamaan/antaragama, di dalam masyarakat Indonesia semestinya terwujud pola kegiatan yang menyeluruh, maknanya dialog tersebut bukan hanya dilaksanakan oleh elit-elit tertentu, yang kesannya berlangsung elitis. Namun, harus dibiasakan pelaku maupun partisipan dialog justru dari lapisan masyarakat kebanyakan/umum. Sehingga apa yang dihasilkan dari dialog kata-kata, dapat diwujudkan dalam praktik perbuatan oleh lapisan paling bawah masyarakat secara menyeluruh. Demikian Syaykh Panji Gumilang.
Nilai Dasar Keempat
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan: Suatu landasan yang harus mampu menghantar kepada prinsip-prinsip republikanisme, populisme, rasionalisme, demokratisme, dan reformisme yang diperteguh oleh semangat keterbukaan, dan usaha ke arah kerakyatan universal.
Prinsip-prinsip kerakyatan seperti ini, harus menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia meyadari potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaruan. Yakni kerakyatan yang selalu memberi nafas baru kepada bangsa dan negara dalam menciptakan suatu kehidupan yang penuh persaingan sehat.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan adalah kerakyatan yang dipimpin oleh pendidikan yang mumpuni. Sebab pendidikan merupakan prasyarat untuk menyatukan rohaniah.
Pendidikan adalah tonggak utama makna daripada hikmah kebijaksanaan. Hikmah kebijaksanaan atau pendidikan akan mewarnai kerakyatan yang penuh harmoni, toleransi dan damai, jauh daripada sikap radikalisme apalagi terorisme.
Hikmah kebijaksanaan atau pendidikan, mampu menciptakan interaksi dan rangsangan interdependensi antarmanusia dalam lingkungan bangsa yang multikultural dan majemuk. Sebab manusia berpendidikan akan selalu menghormati suatu proses dalam segala hal.
Hikmah kebijaksanaan atau pendidikan menjadi pedoman kerakyatan, sebab ia merupakan cara yang paling lurus dan pasti, menuju ke arah harmoni, toleransi dan damai. Pendidikanlah yang memungkinkan kita selaku rakyat suatu bangsa dapat bersikap toleran atas wujud kemajemukan bangsa.
Hikmah kebijaksanaan menampilkan rakyat berpikir pada tahap yang lebih tinggi sebagai bangsa, dan membebaskan diri daripada belenggu pemikiran berazaskan kelompok dan aliran tertentu yang sempit.
Karenanya membangun hikmah kebijaksanaan adalah membangun pendidikan, dan itulah hakekat membangun kerakyatan yang berperadaban yang kaya akan kebudayaan, yakni kerakyatan yang terhindar dari saling curiga dan permusuhan.
Nilai Dasar Kelima
Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial: Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah merupakan tujuan dari cita-cita bernegara dan berbangsa, menyangkut keilmuan, keikhlasan pemikiran, kelapangan hati, peradaban, kesejahteraan keluarga, keadilan masyarakat dan kedamaian.
Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik yang setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Dengan mewujudkan segala usaha yang berarti yang diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga memiliki pendirian dan moral yang tegas.
Mewujudkan suatu keadilan sosial, juga berarti mewujudkan azas masyarakat yang stabil yang ditumbuhkan oleh warga masyarakat itu sendiri, mengarah pada terciptanya suatu sistem teratur yang menyeluruh melalui penyempurnaan pribadi anggota masyarakat, sehingga wujud suatu cara yang benar bagi setiap individu untuk membawa diri dan suatu cara yang benar untuk memperlakukan orang lain.
Karenanya, mewujudkan suatu keadilan harus menjadi suatu gerakan kemanusiaan yang serius, dan sungguh-sungguh dilakukan oleh rakyat, dengan metoda dan pengorganisasian yang jitu sehingga tujuan mulia ini tidak berbalik menjadi paradoks dan kontradiktif yakni menjadi gerakan pemerkosaan terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Demikian Syaykh al-Zaytun AS Panji Gumilang.
Tata Ulang Ketaatan pada Dasar Negara
Dalam menanggulangi krisis yang terjadi silih berganti yang belum tertanggulangi secara tuntas sejak 1998, menurut Syaykh Panji Gumilang, sebagai bangsa, kita harus berani mengadakan evaluasi. Apa gerangan yang kita harus tata ulang?
Dalam Khutbah Idul Adha 1429 H (8 Desember 2008), Syaykh menegaskan, sebagai bangsa, dalam bernegara, sesungguhnya kita telah memiliki landasan dasar yang kokoh yang mumpuni, sebagai landasan strategi budaya, strategi mengelola cara berpikir, bertindak, bereaksi lokal, nasional, maupun global.
Syaykh memandang, mungkin yang harus ditata ulang adalah ketaatan dan keberpihakan serta kesetiaan bangsa terhadap asas dan dasar negara yang telah disepakati bersama. Mungkin sebagai bangsa, belum sepenuhnya konsen, untuk meletakkan dasar-dasar negara ini sebagai suatu sistem yang utuh, sehingga tindakan yang dilakukan, orientasinya selalu belum, bahkan tidak berpihak kepada dasar-dasar yang telah disepakati.
Bahwa terjadinya perubahan politik (reformasi) yang dibarengi oleh terjadinya krisis ekonomi jilid I di negara kita, yang telah berjalan sejak 1998, kita selalu saja menyaksikan sajian tindakan-tindakan yang selalu antagonistis terhadap dasar-dasar negara yang telah disepakati.
Sebagai negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya.
Jaminan yang diberikan oleh dasar dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia ini sungguh sangat mendasar dan menyeluruh bagi bangsanya, tidak terkecuali. Namun dalam praktek kehidupan nyata selama era reformasi berjalan, justru semakin bebas kita menyaksikan kemunafikan sikap sebagian rakyat bangsa Indonesia. Praktek-praktek kebrutalan atas nama agama, kejahatan kemanusiaan atas nama agama dilakukan dengan enteng tanpa beban, bahkan mereka berkeyakinan bahwa tindakan-tindakan mereka itu mendapat ridlo Tuhan.
Sebagai negara yang berdasar atas kemanusiaan yang adil dan beradab, yang telah dijabarkan oleh UUD negara dalam bab hak azasi manusia, yang secara panjang lebar diurai dalam berbagai pasal dan ayat-ayatnya, bahkan dipertegas lagi dalam petunjuk detail berupa UU tentang hak azasi manusia. Semuanya itu agar dapat melindungi manusia dan kemanusiaan serta mengajak dan mendorong bangsa Indonesia agar dapat memiliki budaya saling mengorangkan orang.
Dalam konteks budaya saling mengorangkan orang ini, kita bangsa Indonesia masih perlu terus memupuk dan meningkatkan kemampuan.
Walhasil, seluruh dasar negara Indonesia yang kita simpulkan sebagai ajaran Illahi dan merupakan ideologi modern ini, akan menjadi tidak bermakna, jika tidak menjadi pola pikir, sistem berpikir dan bertindak bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai masalah hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Syaykh Panji Gumilang mengajak, mari kita yakini bahwa kita bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang majemuk, majemuk dalam kesukuan, keagamaan, ras dan golongan, namun menyatu dalam kebangsaan, yakni Indonesia. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya kecuali yang hidupnya dapat lebih bermanfaat dan menyebarkan manfaat bagi kemaslahatan hidup bangsanya dan manusia pada umumnya.
Tatkala bangsa ini dapat menyingkirkan dan mengendalikan keangkuhannya dan rasa superioritas kesukuan, keagamaan, ras, dan golongannya, maka akan terkikis rasa saling curiga, saling merasa benar sendiri, angkuh, yang pada gilirannya akan tumbuh rasa saling toleransi dan terbukalah semangat dan harapan untuk menata masa depan bersama yang cerah.
Solidaritas yang kita maksudkan adalah, sifat satu rasa, senasib, setia kawan, dan lain-lain. Sifat solider semacam ini baru akan timbul jika kita telah menyatu dalam pola pikir dan sistem berpikir bersumber dari dasar yang sama, yakni nilai-nilai dasar negara Indonesia yang telah disepakati. Dengan didukung oleh potensi-potensi yang dimilki oleh warga bangsa dan didukung oleh rasa solidaritas yang tinggi dalam menghadapi berbagai tantangan, kita yakin, harapan kita untuk masuk ke dalam masa depan yang cerah dalam wujud Indonesia Kuat, menjadi sangat mungkin untuk wujud.
Dengan bermodalkan solidaritas sesama bangsa dan sikap toleransi yang tinggi antara sesama warga bangsa, dan dengan Kekuatan Besar serta kasih sayang-Nya, akan memampukan kita berbuat hal-hal yang besar, bahkan melebihi apa yang telah kita perbuat selama ini, untuk mengatasi kesulitan, tantangan dan krisis yang menghimpit secara nasional maupun global. Dan kita diberi kemampuan melihat masa depan, ke suatu masa dimana kita akan terus mengambil bahagian untuk kestabilan dan ketertiban dunia.
Jiwai dengan Konsisten
Lalu, bagaimana seharusnya bangsa Indonesia mengisi kemerdekaan untuk mencapai cita-cita Indonesia yang kuat? Syaykh Al-Zaytun menegaskan, Bangsa Indonesia, dari seluruh lapisan generasi, mesti kembali kepada nilai-nilai dasarnya, serta konsisten meyakini dan menjiwainya. Setiap tindakan harus berdasarkan nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan oleh bangsa ini.
Penegasan ini telah berulang kali dikemukakan Syaykh Abdussalam Panji Gumilang. Namun secara khusus, dia menegaskannya kembali dalam amanat perayaan peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-64 di Al-Zaytun, 17 Agustus 2009.
Syaykh mengatakan bahwa membangun bangsa Indonesia tidak boleh lepas daripada membangun karakter bangsa. “Membangun jiwa raga artinya adalah membangun karakter bangsa. Karakter bangsa yang menunjukkan bahwa dirinya memiliki jati diri yang hakiki, memiliki ketangguhan yang hakiki seperti yang dicita-citakan dalam dasar negara itu sendiri,” tegas Syaykh.
Tanpa karakter yang jelas, bangsa ini tidak mampu menciptakan kesejahteraan rakyat dan bangsanya, maupun mempertahankan kesatuan kenegaraan yang dimiliki ini. Bangsa Indonesia sekali lagi tidak boleh lepas daripada pembangunan karakter bangsanya dan terus meningkatkan pembangunan untuk kesejahteraan rakyatnya.
Pada kesempatan lain (pidato sambutan peringatan 1 Muharram 1426 H (10 Februari 2005 M), Syaykh Panji Gumilang juga menegaskan bahwa ummat muslim, merupakan komponen ummat manusia penghuni dunia yang majemuk, bertanggung jawab secara bersama, mewujudkan kehidupan penuh harmoni, toleransi dan damai, antar sesama ummat manusia.
Dalam konsepsi nasional, Syaykh mengatakan, kita merupakan warga bangsa yang mendiami sebuah negara Bhinneka Tunggal Ika, bertanggung jawab secara bersama dalam mencapai tujuan nasional yang mencakup pewujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, sosial, budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan.
Karenanya, tatkala kita bersikap, berbuat, berkarya, dan berjuang, tidak keluar dari wawasan dan konsepsi nasional, sebagai partisipasi aktif kita mewujudkan Dunia Harmoni Penuh Toleransi dan Perdamaian, bersama ummat dan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. Itulah manifestasi Rahmatan lil ‘alamin, yakni: Berpikir Global dan Bertindak Lokal.
Demikian, sebagian pokok-pokok pandangan Syaykh al-Zaytun tentang lima nilai-nilai dasar negara Republik Indonesia. Tanpa perlu dijelaskan lagi, pandangan itu pastilah berguna sebagai sumber inspirasi bagi setiap orang dalam memahami dan menjalankan hak-kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Sekaligus sebagai inspirasi untuk lebih mendalami visi kebangsaan Al-Zaytun. Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA