Kiprah Politik Sang Permaisuri

GKR Hemas
 
0
238
Lama Membaca: 7 menit
GKR Hemas
GKR Hemas | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Berbagai permasalahan sosial dan budaya yang masih ditemui di tengah masyarakat membuat Permaisuri Raja Yogyakarta ini terjun ke dunia politik. Setelah menjadi anggota MPR-RI (1997-1999), penggiat kebudayaan dan aktivis perempuan ini masuk menjadi anggota DPD dari DI Yogyakarta dua periode, 2004-2009 dan 2009-2014.

Sejak kecil, meski terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya, putri pasangan Kolonel Radin Subanadigda Sastrapranata dan Raden Nganten Susantilah Soepono ini sudah dididik mengenai kedisiplinan dan kemandirian oleh orangtuanya. Bakat organisasi pun sudah diperolehnya sejak remaja, dan terus berlanjut ketika ia dipersunting Bendara Raden Mas Herjuno Darpito atau yang lebih dikenal sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana X pada 1968.

Pada tahun 1989, suaminya naik tahta sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta. Meski dibesarkan di Jakarta, GKR Hemas sama sekali tidak canggung menjalani perannya sebagai permaisuri raja yang disegani rakyatnya. Meski diakuinya, ia berdiri di dua dunia. Di satu sisi, ia adalah seorang ratu yang harus mempertahankan tradisi, di sisi lain ia adalah bagian dari masyarakat modern. Karena itu, ia tidak bisa memakai kebaya lengkap dengan sanggulnya setiap hari. “Dandannya lama sekali. Selain itu jalannya jadi harus pelan-pelan,” katanya seperti dikutip Kompas. Menurutnya, yang penting kinerja, perhatian dan perasaannya kepada rakyat Yogyakarta yang ia cintai.

Sejak menjadi permaisuri Raja Yogyakarta, keseharian Hemas disibukkan dengan berbagai kegiatan sosial. Tahun 1990, Hemas berpartisipasi dalam seminar Disable People International di Singapura. Dua tahun kemudian, ia mengikuti forum International Elderly Organization, setelah itu disusul dengan sejumlah event internasional lainnya yakni Hongkong International Conference On Street Children, International Council of Social Welfare, serta Tanpopo No Ye Able Art Movement.

Aktivitas itu terus berlanjut dan semakin bertambah ketika Sri Sultan Hamengku Buwono X menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di tahun 1998. Menjadi pendamping orang nomor satu di Yogyakarta membuat keseharian Gusti Kanjeng Ratu Hemas makin padat dengan beragam kegiatan sosial kemasyarakatan. Ia pun tampil sebagai sosok Ratu penggiat kebudayaan dan aktivis perempuan yang dicintai rakyat Yogyakarta.

Selama terlibat dalam beragam kegiatan sosial, Hemas terusik dengan kenyataan bahwa Indonesia kaya sumber daya alam tetapi masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk terjun ke dunia politik untuk membantu mereka agar dapat hidup lebih layak lagi. Apalagi pilihannya itu banyak mendapat dukungan baik dari teman, sahabat , dan tentunya keluarga. “Suami saya tidak hanya memberi restu tetapi banyak memberi nasehat karena beliau sudah lama berkecimpung di dunia politik. Nasehatnya antara lain, politik itu memang kekuasaan, tetapi ambillah kekuasaan secara etis dan selalu dialamatkan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Hal ini bisa dilakukan kalau kita bisa selalu mendengar hati nurani diri kita sendiri. Wejangan ini yang selalu membekas pada diri saya untuk terjun ke dunia politik,” tutur mantan pemred majalah Kartini ini seperti dikutip dari situs gkrhemas.com.

Selain sang suami, Hemas juga mendapat dukungan penuh dari kelima putrinya, menantu, serta para cucu. Dengan restu orang-orang terkasih itu pula, ia semakin termotivasi dalam melakoni tugasnya. Karena itu, segala konsekuensi yang diperolehnya selama berkiprah di berbagai bidang pun dirasakannya sangat ringan. Bahkan, yang sangat mengharukannya, keluarganya ikhlas kalau prioritas waktu maupun perhatian kepada mereka harus “diambil” oleh aktivitas politiknya. Kendati demikian, di tengah kesibukannya, GKR Hemas tetap berupaya secara optimal untuk berkomunikasi dan bercengkerama dengan keluarga.

Berbekal doa restu dari orang-orang terdekatnya, maka pada tahun 1997, Hemas secara resmi berkecimpung di ranah politik dengan menjadi anggota MPR RI dari Fraksi Utusan Daerah hingga tahun 1999. Dalam kurun waktu itu, GKR Hemas merasa bahwa kebijakan politik, baik legislatif maupun eksekutif lebih efektif dalam mendorong pengambilan keputusan yang berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat. Karena itu ia makin menikmati perannya sebagai seorang politisi.

Setelah dua tahun menjabat sebagai anggota MPR, Hemas kemudian menjadi anggota DPD DI Yogyakarta 2004-2009. Dalam kapasitasnya sebagai anggota DPD, ibu lima putri ini memandang, anggota DPD sebagai anggota legislatif yang dipilih langsung dan mewakili rakyat memiliki hak-hak yang sama dengan anggota DPR sehingga betul-betul berfungsi sebagai penyeimbang bagi anggota DPR yang dipilih sebagai wakil parpol, dalam hal ini jumlah, idealnya juga sama dengan jumlah anggota DPR. Dengan begitu, aspirasi dan kesejahteraan khususnya masyarakat marjinal, seperti perempuan dan anak-anak yang selama ini terabaikan, dapat dikanalisasi secara konkret dalam kebijakan undang-undang. Karena menurut Hemas, anggota DPD selama ini tak ubahnya seperti hiasan atau dekorasi dari sebuah kehidupan berdemokrasi. Selain jumlahnya yang tidak signifikan, mereka juga cenderung tidak punya hak suara.

Selama lima tahun berkiprah sebagai anggota DPD RI periode 2004-2009, GKR Hemas turut terlibat aktif dalam sejumlah kegiatan, antara lain Panitia Ad Hoc (PAH), PKALP (Panitia Kerja Sama Antar Lembaga dan Parlemen), Panitia Musyawarah (Panmus), serta menjabat sebagai Wakil Ketua Kelompok DPD di MPR RI. Selain kegiatan-kegiatan di atas, keseharian Hemas sebagai anggota DPD juga diwarnai dengan berbagai aktivitas antara lain, melakukan
kunjungan ke luar negeri, yakni Australia dan Swiss untuk melakukan studi banding mengenai pelaksanaan sistem bicameral, menjadi pembicara di sejumlah seminar, wawancara, serta tampil dalam talk show di berbagai media, dalam rangka menyosialisasikan DPD RI kepada masyarakat, khususnya untuk penguatan DPD RI yang salah satu ultimate goal-nya adalah dilakukannya amandemen UUD 1945. Sebagai aktivis perempuan, Hemas juga tak lupa menyelenggarakan dan menghadiri berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pengarusutamaan gender, Perempuan Parlemen (politik), kebudayaan, LSM dan masih banyak lagi.

Advertisement

Sejak menjadi anggota DPD, ia harus bolak-balik Yogya-Jakarta demi mengemban tugasnya sebagai wakil daerah. Semua itu dilakukannya dengan tulus. Ia pun berusaha berada di tengah rakyatnya yang tengah menderita. Memberikan suntikan semangat agar mereka bangkit dari nestapa.

Selama terlibat dalam beragam kegiatan sosial, Hemas terusik dengan kenyataan bahwa Indonesia kaya sumber daya alam tetapi masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk terjun ke dunia politik untuk membantu mereka agar dapat hidup lebih layak lagi.

Dalam pemilihan legislatif tahun 2009, Hemas kembali mencalonkan diri dan berhasil meraih perolehan tertinggi untuk prosentase berbanding jumlah pemilih bagi anggota DPD di seluruh Indonesia. Perempuan yang meraih lebih 50 % suara di daerahnya ini, memiliki tekad yang lebih menggebu lagi dalam kiprah politiknya di DPD RI periode kedua ini, demi kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat dan daerah. Bahkan, awal Oktober 2009, demi mendorong penguatan kewenangan DPD, serta membangun sistem ketatanegaraan yang lebih baik lagi, GKR Hemas memutuskan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan pimpinan DPD RI, yang akhirnya membawanya ke posisi Wakil Ketua DPD RI periode 2009-2014 bersama wakil ketua lainnya, Laode Ida.

Selama mendampingi Ketua DPD RI, Irman Gusman, Hemas mengkoordinasi bidang II, yang terdiri dari Komite II, Komite IV, Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT), Panitia akuntabilitas Publik (PAP) dan Badan Kehormatan (BK). Selain melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah, GKR Hemas juga sempat memimpin delegasi DPD RI dalam Pertemuan ASEAN Inter Parliamentary Assembly (AIPA) di Hanoi, Vietnam mengenai “Role of Woman Parliamentarians in Law-making Process” yang berlangsung pada 29 November sampai 3 Des 2009, kemudian pada 18-21 Januari 2010, ia menghadiri pertemuan The Exchange Program for Woman Members Parliamentary di Dhaka, Bangladesh.

Sebagai aktivis perempuan, ia pun lantang menyuarakan pemberdayaan perempuan dalam upaya mendukung kaum hawa agar dapat berperan lebih di tengah masyarakat. Upayanya itu dilakukan terhadap semua lapisan mulai dari penjual jamu gendong, buruh tani, para isteri PNS sampai politikus melalui organisasi yang dipimpinnya seperti TP PKK (Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga), Dharma Wanita atau BKKKS (Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial). Ia selalu mendorong pemberdayaan perempuan dalam setiap kesempatan, bahkan untuk urusan yang dianggap paling sepele sekalipun. Misalnya, ia pernah meminta para isteri agar bisa menyupir mobil atau motor agar bisa membantu keluarga.

Saat diundang menjadi pembicara dalam Sarasehan 150 tahun Sekolah Santa Ursula Jakarta, dengan tema Perempuan Serviam Menjawab Tantangan Zaman, Sabtu Agustus 2008, Hemas berpendapat bahwa perempuan harus bisa menjadi agen perubahan di segala lini. Terlebih sekarang ini secara perlahan tapi pasti, dunia politik mulai membuka peluang yang lebih besar bagi partisipasi kaum perempuan. Aturan dalam UU Partai Politik dan UU Pemilu mensyaratkan angka minimal 30 persen bagi parpol untuk menempatkan perempuan dalam kepengurusan partainya dan dalam daftar calon anggota legislatif yang didaftarkan ke KPU.

Menurut Hemas, keterwakilan perempuan di bidang politik harus bisa mempengaruhi proses demokratisasi dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan. Oleh karena itu, Hemas menambahkan, perempuan harus bisa mendobrak lekatnya budaya patriarki yang mendarah daging di masyarakat, atau yang diistilahkannya ‘satu kaki berada di dalam dan satu kaki di luar’. Maksudnya, di satu sisi Hemas tetap mempertahankan tradisi, namun di sisi lain, ia juga melakukan sesuatu di luar (keraton) untuk berbuat sesuai kebutuhan masyarakat.

Hemas menilai, sejak tahun 1970-an hingga awal tahun 2000-an, ketertinggalan perempuan tidak bergeser jauh. Untuk itu, sudah saatnya bagi kaum perempuan untuk mengejar ketinggalannya di berbagai bidang, yakni dengan cara berusaha meningkatkan kapasitas dan memperluas jaringan. Untuk dapat mewujudkan perubahan tersebut, menurut Hemas ada beberapa fokus yang bisa dilakukan, diantaranya melalui pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta meningkatkan keterwakilan perempuan dalam bidang politik dan pengambil keputusan.

Selain secara khusus menyoroti masalah kaum perempuan, alumni SMA Gadjah Mada tahun 1971 ini juga menanggapi kasus-kasus kekerasan yang dialami para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menjadi korban kekerasan di negara tempat mereka bekerja. Hemas menilai, pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab melindungi hak-hak para pahlawan devisa itu justru gagal menjadi pelindung. Kasus TKI bernama Ruyati yang dihukum pancung pemerintah Arab Saudi misalnya, satu dari sekian banyak masalah TKI yang tak tertangani dengan baik dan memperkuat argumen bahwa pemerintah telah gagal menunjukkan keseriusan dan kemampuannya dalam melindungi warga negara.

Ketua Kaukus Perempuan Parlemen DPD RI ini juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan membela diri atas kejadian yang dialami Ruyati. Menurutnya, hal tersebut menunjukkan peningkatan kebiasaan pemerintah bermain akrobat kata-kata yang sekaligus memperbesar keraguan masyarakat terhadap keberpihakan pada kepentingan rakyat. Di samping itu, Hemas juga meminta instansi yang menangani TKI untuk berbenah agar dapat melindungi para TKI, terutama Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). “Tidak hanya saat mereka di luar negeri, tapi juga ketika mereka kembali ke Tanah Air. Dari bandara harus difasilitasi. Jangan hanya penempatan dan tidak dilindungi sama sekali,” kata Hemas seperti dikutip dari situs tribunnews.com.

Di luar panggung politik, keseharian Hemas juga masih disibukkan dengan kegiatan di sejumlah organisasi sosial kemasyarakatan. Bahkan aktivitasnya pada beberapa organisasi sudah ditekuninya selama puluhan tahun. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ia menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK), Penasehat Dharma Wanita Persatuan, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (DEKRANASDA), Penasehat Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS), Ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah, Ketua Persatuan Wanita Olah Raga Seluruh Indonesia (PERWOSI), Ketua Umum Lembaga Penelitian dan Pengembangan Penyandang Cacat Dria Manunggal, Pelindung Yayasan Penyantun Anak Asma (YAPNAS), Penasehat Yayasan Jantung Indonesia Cabang Utama, Badan Penyantun Yayasan Lembaga Gerakan Orang Tua Asuh, Pembina Yayasan Wredho Mulyo, Dewan Kehormatan Kaukus Perempuan Politik Wilayah, Ketua Tim Pembangunan Berwawasan Jender, dan Pembina Utama Badan Koordinasi Paguyuban Lansia.

Hemas memang amat peduli terhadap pemberdayaan lansia terutama di DIY yang termasuk provinsi yang memiliki jumlah lansia terbanyak. Untuk itu, ia senantiasa mendukung berkembangnya wadah atau forum lansia untuk menunjang para lansia agar dapat memperoleh kesejahteraan. Kepeduliannya itu ditunjukkan dengan kerap berada dan beraktivitas di tengah-tengah para lansia yang pada umumnya masih produktif baik sebagai petani, penjual makanan di pasar atau menjadi buruh pada industri rumah maupun sentra industri. Melalui Badan Kordinasi Paguyuban Lansia, ia bahkan menciptakan senam khusus untuk lansia yang diberi nama Senam Bugar Lansia.

Sementara untuk perannya sebagai Ketua Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) DIY yang diembannya sejak 1999, GKR Hemas membantu proses pembinaan usaha kecil menengah khususnya di sektor kerajinan dengan memberdayakan potensi sektor kerajinan dan seni dengan tak jemu memotivasi, memfasilitasi, dan membuka wawasan para perajin. Tak heran bila di bawah komandonya, Dekranasda DIY pernah dinobatkan sebagai dekranasda paling maju.

Sebagai Ketua Yayasan Kanker, Hemas yang juga bertindak selaku pendiri yayasan tersebut berinisiatif mendirikan “Rumah Singgah” untuk penderita maupun keluarga penderita yang sedang menjaga penderita, yang sekaligus berfungsi sebagai gedung serba guna untuk para lansia. Dunia anak pun tak terlepas dari perhatiannya, saat ia menggagas pengadaan saluran tilpon 128 yang merupakan “Sahabat Anak”, anak-anak yang berkomunikasi di nomor ini dapat berkonsultasi mendengar cerita atau dongeng.

Sedangkan jabatannya untuk tingkat nasional adalah sebagai Badan Penyantun Yayasan Sayap Ibu, Penasehat Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Penasehat Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) Pusat, dan Ketua Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP). muli, red

Data Singkat
GKR Hemas, Wakil Ketua DPD RI (2009-2014) / Kiprah Politik Sang Permaisuri | Direktori | Politisi, MPR, DPD, Ratu, aktivis, pemred, patriarki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini