Astronom, Filsuf dan Feminis
Karlina Leksono Supelli
[DIREKTORI] Sejak Reformasi 1998, filsuf dan astronom perempuan pertama di Indonesia terutama di bidang kosmologi ini aktif dalam kegiatan kemanusiaan. Bersama para ibu dan aktivis perempuan lainnya, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini pernah memprotes harga susu yang mahal, membela kaum perempuan korban perkosaan bahkan mengkritik pemberantasan korupsi di Indonesia.
Karlina Leksono Supelli lahir di Jakarta, 15 Januari 1958, merupakan putri ke-11 pasangan Supelli dan Margaretha.Perempuan yang akrab dipanggil Lina di masa kecilnya ini mengaku sudah menyukai semua yang berhubungan dengan alam semesta terutama bintang-bintang. Bahkan sejak kelas tiga SD, Lina mengaku sudah mengetahui akan menjadi apa setelah dewasa. Obsesinya terhadap alam semesta muncul lantaran ia membaca buku karangan Madame Curie, seorang ilmuwan Inggris kelahiran Polandia.
Awalnya, seperti anak kecil lain, Lina senang melihat bintang pada malam hari di Salabintana, Jawa Barat. Setiap malam, Lina suka ke luar rumah hanya untuk memandangi bintang. Karena takut sang anak sakit, sang ibu sering berteriak menyuruhnya untuk segera masuk ke rumah. Namun, diam-diam ia kembali menyelinap keluar.
Kecenderungan dirinya untuk menjadi orang yang soliter sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh lingkungan masa kecil. Ibunya adalah seorang Belanda yang dalam kesehariannya kurang suka bergaul dan lebih memilih berada di rumah untuk membaca buku. Sedangkan sang ayah adalah orang sunda asli. Ketika pecah konfrontasi RI-Belanda dalam soal Irian Jaya, posisinya sebagai anak keturunan dirasa kurang menguntungkan. Ketika sedang belajar sejarah di sekolah, ia kerap menjadi bahan guyonan. Ia dikatakan sebagai orang yang ketinggalan kapal saat kaum pengungsi Belanda pulang ke negaranya.
Walaupun kata-kata itu dimaksudkan sebagai canda semata, namun Lina sempat merasa kalau asal-usulnya dipertanyakan. Ia merasa tidak punya akar budaya. Jika ia pergi ke Belanda, ia disebut orang indo karena bapaknya orang Indonesia, sedangkan jika di Indonesia dia disebut penjajah. “Saya punya akar, tetapi tidak pernah merasa menapaknya dengan kokoh,” kenangnya.
Karlina mencontohkan, jika saat itu ia ditanya budaya sang ayah, ia tidak bisa secara rinci menjelaskannya. Baginya, Jawa Barat tidak menjadi rumah budaya, karena ada darah Belanda dalam tubuhnya. Sebaliknya, ia juga tidak mampu berbicara bahasa Belanda secara utuh, karena ia tidak pernah dibesarkan di sana. Bahkan ada penolakan dalam dirinya karena di sekolah diajarkan bahwa Belanda itu jahat. Akibatnya, ia pun tidak mau masuk ke dalam rumah budaya Belanda.
Lantaran hal itulah, ia selalu merasa aman jika berada di tengah alam. Sebaliknya berada di antara manusia membuatnya merasa tidak nyaman. Malahan, ia sempat makin tidak percaya diri jika bertemu orang. Sampai-sampai ia disebut sebagai pengecut oleh Toetie Heratie mantan dosen filsafatnya di Universitas Indonesia (UI).
Karlina yang menyukai ilmu eksakta sejak SMA memilih Fakultas Matematika Ilmu Alam (MIPA) Jurusan Astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun belakangan, Karlina banting setir dan melirik ilmu filsafat. Di Indonesia saat itu, tidak banyak orang eksakta yang akhirnya mendalami filsafat. Apalagi, ilmu yang disebut terakhir ini kemudian dipilih sebagai program studi untuk mengambil gelar master dan doktor. Adapun gelar doktor astronomi (MSc) diperolehnya di University College of London, Inggris. Sedangkan gelar doktor filsafat dirampungkannya di UI tahun 1997.
Menurut Lina, awal mula perkenalannya dengan dunia filsafat cukup unik. Semula ia tidak berminat sama sekali pada filsafat. Suatu hari, Ninok Leksono Dermawan, sang suami yang juga wartawan senior di harian Kompas, tidak bisa masuk kuliah. Kala itu suaminya sedang menempuh pendidkan untuk meraih gelar doktor di UI dan kebetulan juga satu mata kuliah dengan Lina. Sebagai istri, Lina menawarkan untuk menggantikannya mengikuti kuliah filsafat dengan dosen Toetie Herawati. Setelah itu, Lina merasa filsafat adalah ilmu yang menarik.
Lebih jauh Lina menceritakan, sebelum mengenal filsafat, ia memang cukup lama tenggelam dalam dunia kosmologi. Dalam penelitian yang dilakukannya, ia hanya menemukan pertanyaan-pertanyaan bersifat kosmologi, sangat mendasar dan tidak bisa terjawab melalui data-data empiris. Dengan ilmu filsafatlah akhirnya Karlina bisa mulai menemukan titik terang dari pertanyaan tersebut.
Menurut Lina, pada akhirnya ia menarik kesimpulan bahwa apa yang dianggap sebagai kebenaran ilmiah dalam kosmologi, sebenarnya hanya konstruksi benak manusia dan selalu berubah. Dan ilmu memang memiliki keberhinggaan atau finite.
Pada tahun 1992, akhirnya Karlina memutuskan ikut kuliah program master filsafat UI. Menurutnya, filsafat itu ternyata luar biasa menarik. Awalnya, ia sempat bengong karena banyak istilah yang sama tetapi pengertiannya berbeda dengan ilmu yang dikuasainya. Selama satu semester ia harus beradaptasi. Tetapi kemudian, ia tertarik dan merasa tidak bisa lepas lagi.
Bahkan ketika ia meneruskan program doktor filsafat, Karlina baru melihat adanya koneksi antara semua ilmu yang dikuasainya. Menurut Lina, pada akhirnya ia menarik kesimpulan bahwa apa yang dianggap sebagai kebenaran ilmiah dalam kosmologi, sebenarnya hanya konstruksi benak manusia dan selalu berubah. Dan ilmu memang memiliki keberhinggaan atau finite.
Dengan kata lain, pemahaman itu hanya bisa diperoleh kalau manusia mau masuk ke hakikat kehidupan transedental yang akan tercapai ketika seluruh pengetahuan ditanggalkan. “Anda bilang Tuhan Maha Besar. Tapi sebesar apa? Sebab itu metafor yang menggunakan bahasa manusia. Semacam bahasa kosmologi dalam dunia,” jelasnya.
Meski sempat merasa minder dan tak percaya diri di masa kecilnya, Karlina mulai senang berorganisasi dan lebih berani dan peduli dengan berbagai keadaan yang terjadi di negeri ini. Ketika menjadi mahasiswa di ITB, tahun 1978, Lina menjadi aktivis kampus dan sempat pula menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB.
Namun, yang menarik adalah saat reformasi 1998 terjadi, ia mendadak menjadi sorotan media karena berdiri di bundaran HI sambil memprotes soal harga susu bersama para ibu dan aktivis perempuan lainnya dalam aksi Suara Ibu Peduli (SIP). Akibatnya, ibu dua anak, Fitri Armalivia dan Angga Indraswara ini bermalam di Polda selama 23 jam. Bersama kedua rekannya, Gadis Arivia dan Wilarsih, Lina didakwa dengan tuduhan melanggar Pasal 510 KUHP.
Saat itu Karlina adalah seorang peneliti pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan dosen luar biasa Jurusan Filsafat UI. Beliau juga wakil pemimpin redaksi (wapemred) pada media Jurnal Perempuan. Menurut Karlina, ketika Jurnal Perempuan didirikan, teman-teman memintanya ikut membantu. Saat itu, karena ia masih sibuk dengan disertasi program doktor, keterikatan itu membuatnya tidak berani terlibat penuh.
Ketika disertasinya selesai, ia diminta terlibat penuh sebagai wapemred. Terkait aksinya dan rekan-rekannya dalam aksi Suara Ibu Peduli (SIP) itu, menurut Lina dimulai dengan sesuatu yang sederhana dan spontan. Rekannya, Gadis Arivia yang juga Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan saat itu berbincang dengannya tentang keadaan negara ini. Lina melihat, mahasiswa zaman sekarang diam dan sukar bersuara karena sanksi akademisnya memang berat, misalnya bisa sampai drop-out atau diskors.
Lantas kawannya Gadis mengatakan, kita masih memiliki perempuan. Bersama kawan lainnya, mereka kemudian berkumpul dan membahas masalah harga susu yang memang mahal saat itu. Akhirnya mereka bersepakat untuk menjual susu murah dengan cara menjual kupon. “Jika harga di toko belasan ribu, kami menjualnya dengan harga pabrik. Kami mendapat subsidi dari donatur untuk membeli susu itu dan menjualnya dengan harga murah. Itu untuk kelas bawah, maka kupon itu dijual melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM),” terangnya.
Mengapa ia bersama rekan-rekan aktivisnya hanya memperjuangkan susu? Inilah alasannya. Waktu itu kenaikan harga susu dirasakan paling mahal dan susu sangat subtansial untuk balita untuk pertumbuhan otaknya. Itulah wujud keprihatinan Karlina terhadap masa depan anak-anak Indonesia.
Protes yang dilakukannya bersama kawan-kawannya itu kemudian menuai perhatian dari berbagai pihak yang pro maupun kontra. Aksi gerakannya dianggap sebagai gerakan dari kaum ibu-ibu menengah yang tidak menyusui anaknya. Dari pernyataan tersebut, Karlina pun menjawab, “I think, he missed the point (Saya pikir, ia tidak memahami permasalahan). Naif sekali, pendapat yang seolah-olah kami tidak menyusui anak kami,” ujarnya.
Menurut Karlina, protesnya tersebut dilakukan bukan hanya soal air susu ibu (ASI) dan non-ASI. ASI memang diperuntukkan bagi anak-anak hingga usia dua tahun dan anak-anak yang berusia di atas dua tahun masih harus minum susu. Menurut Karlina, mereka tidak tahu kalau dirinya juga menyusui anaknya selama 4 tahun. Bahkan ia pernah berkampanye tentang pentingnya ASI di stasiun TV RCTI. Selain itu, bagaimana pula dengan ribuan anak-anak yatim piatu di panti-panti asuhan? Siapa yang menyusui mereka? Pada akhirnya, mereka juga menggunakan susu kaleng.
Mengenai penangkapan dirinya waktu itu, menurut Karlina, rencana awal ia dan kawan-kawan adalah menjual susu murah. Aksi turun ke jalan hanya spontanitas. Untuk itu ia sudah sangat sadar akan risikonya dan siap untuk bertanggung-jawab karena dialah koordinatornya.”Kami memang sudah sepakat, kalau terjadi apa-apa, saya harus bertanggung-jawab. Dan, saya sudah siap,” ujar perempuan yang mengaku sebagai seorang feminis ini.
Lebih jauh menurut Karlina, kesiapannya tersebut dalam arti, ia tidak bisa lagi memilah dirinya sebagai seorang perempuan, ilmuwan, atau anggota masyarakat. “Ketika masyarakat sudah dalam keadaan membutuhkan perhatian yang lebih serius. Pada saat itulah seorang ilmuwan yang mengetahui kondisi obyektif akan tahu bahwa masa depan anak-anak akan terancam. Ini soal kebenaran. Tugas ilmuwan, antara lain, mencoba menyuarakan hal itu. Siapa pun kita, jika memiliki tanggung jawab moral, kita akan merasa memiliki tanggung jawab besar daripada sekadar ilmu,” terangnya.
Belakangan bersama para tokoh pro pemberantasan korupsi Indonesia, Karlina juga melayangkan seruan dan kritikan terhadap Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kritikan tersebut ditujukan terutama menyikapi kepemimpinan SBY yang dinilai kurang kuat dalam membangun ketertiban hukum. Dalam aksi itu, para tokoh juga menandatangani sebuah surat Seruan terhadap Penyelamatan Bangsa dan dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin. guh, red