
[DIREKTORI] Anggota DPR RI periode 2009-2014 yang memiliki moto ‘mengalir tapi tidak hanyut’ ini dikenal kritis dan berani dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Politisi perempuan PDI-P ini banyak menyoroti isu seputar gender, diskriminasi agama dan kelompok minoritas.
Sejatinya, manusia, baik pria maupun wanita memiliki kedudukan yang setara. Namun, tak dapat dipungkiri jika saat ini belum banyak orang yang menyadari hal tersebut, bahkan termasuk mereka yang berkecimpung sebagai pembuat kebijakan sekali pun. Kenyataan miris itulah yang kemudian mengetuk hati seorang perempuan bernama Eva Kusuma Sundari. Eva demikian wanita Jawa kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 8 Oktober 1965 ini kerap disapa merasa terpanggil untuk memperjuangkan kesetaraan bagi kaumnya.
Menurut anggota Komisi III DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan ini, seharusnya bukan perempuan yang ‘diemansipasikan’, tapi pemahaman emansipasi itu harus dipupukkan kepada bangsa ini. Bahwa perempuan dan lelaki mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam seluruh sendi pembangunan. Namun, soal prestasi, biarkan kapabilitas dan integritas masing-masing yang menentukan. Intinya, Eva ingin merombak pola pikir masyarakat serta menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
Bagi ibu dua anak ini, memperjuangkan kesetaraan gender bagi kaum hawa sebenarnya bukanlah hal baru. Perjuangannya sudah dimulai sejak di bangku kuliah dengan seringnya ia melakukan advokasi di bawah bendera sejumlah organisasi, di antaranya GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), advokasi buruh dan perempuan, serta Pramuka. ”Energiku banyak hilang. Tidak ada-lah waktu pacaran. Tiap hari pulang jam empat pagi,” akunya seperti dikutip dari situs Media Indonesia.
Mengutip amanat Bung Karno, Eva menyebut kebesaran bangsa dan kemakmuran tidak jatuh gratis dari langit. Kebesaran bangsa dan kemakmuran merupakan hasil kristalisasi keringat. Ia merasa gelisah sebab dikotomi kemanusiaan masih nyata terjadi di masyarakat meski dirinya kini sudah berjuang sekian generasi dengan Kartini yang juga menggemakan kesetaraan. Eva yang memang amat mengagumi tokoh perempuan asal Jepara itu melihat sosok idolanya itu bukan sekadar tokoh feminis dan emansipasitoris. Tapi lebih dari itu, Kartini adalah tokoh kemanusiaan dan kebangsaan.
Eva yang juga mengagumi perempuan pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi ini memang belum merasa puas dengan perkembangan kesetaraan gender di Tanah Air. Sebab di lingkungan kerjanya sendiri yakni DPR, keberadaan kaumnya masih 18%. Padahal peraturan sudah menentukan bahwa calon legislatif harus diisi oleh sedikitnya 30% calon perempuan. Istri dari Jose Antonio Amorim Dias ini memang tak menutup mata dengan penilaian beberapa pihak yang menyebutkan peran politik perempuan di tingkat nasional dewasa ini sudah memuaskan. Namun bagi Eva, pencapaian itu belum seperti yang diharapkan. Dalam pandangannya, kuantitas merupakan kekuatan utama dalam politik. Representasi kaum perempuan yang lebih besar akan memperkuat upaya untuk melanjutkan persamaan hak manusia.
Sekadar memberi contoh, Eva menyebut bahwa dalam pembahasan UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), ketika mengusulkan harus ada representasi perempuan di pimpinan parlemen, dirinya malah dikeroyok. Perjuangannya akhirnya hanya menghasilkan masuknya ketentuan ‘dapat’ dalam aturan itu. Di gedung DPR, sebenarnya Eva sudah terbiasa menjadi minoritas. Dalam tim Pansus Hak Angket Kasus Bank Century tahun 2009 lalu misalnya, Eva menjadi satu-satunya anggota perempuan setelah anggota perempuan lainnya, Anna Muawanah, ditarik F-PKB saat pansus memasuki minggu keenam.
Walau menjadi perempuan satu-satunya dan mewakili partai oposisi pula, namun Eva tidak pernah merasa canggung untuk melontarkan kritik pedas kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia bahkan dengan lantang menyuarakan pemanggilan terhadap Presiden SBY saat bergulirnya pansus. Hal itu kian membuktikan bahwa dirinya adalah wanita yang tidak gampang kecut dengan ancaman yang kerap diterimanya selama aktif di tim tersebut. Bahkan setelah Pansus Century berakhir, ia juga tetap ikut mendukung penggunaan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut kasus Bank Century.
Tekanan dan ancaman saat menunaikan tugasnya sebagai wakil rakyat sudah menjadi kesehariannya. Bukan hanya ketika menangani kasus Bank Century yang merugikan negara sebesar triliunan rupiah itu, namun juga saat menangani kasus lain. Misalnya, ketika ia terlibat dalam Pansus Pembahasan RUU Pornografi, Eva mendapat teror berupa pesan pendek ke telepon selulernya yang menyebutkan dirinya tidak Islami. Namun untunglah semua rintangan itu tak juga menyurutkan semangat berjuangnya.
Sarjana Ekonomi lulusan Universitas Airlangga tahun 1991 ini tak hanya vokal dalam hal perjuangan persamaan gender dan kesetaraan hak warga. Ia juga vokal menanggapi berbagai soal yang hangat diperbincangkan di tengah publik, seperti korupsi, hak TKI, hingga sejumlah aksi kekerasan yang terjadi terhadap kaum minoritas selama ini.
Tentang pemberantasan korupsi, Eva menyebut bahwa inti dari pemberantasan korupsi adalah penegakan hukum dan konsistensi pemerintah. Tidak perlu penambahan lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi karena sekarang ini sudah ada beberapa lembaga yang masih bisa diandalkan. Intinya pemberantasan korupsi itu adalah penegakan hukum, tidak elok kalau misalnya KPK bersusah payah mengumpulkan data tetapi para koruptor itu kemudian mendapat grasi,” katanya seperti dikutip dari kompasiana.com.
Tentang banyaknya tersangka korupsi yang kabur ke luar negeri dan tidak boleh dipulangkan karena alasan belum ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara penempatan misalnya, Eva mengatakan, alasan itu selalu dijadikan alasan berkelit aparat penegak hukum untuk menutupi kegagalan mereka mengejar, menangkap dan membawa pulang para koruptor untuk diadili dan dihukum di dalam negeri. Padahal, lanjut Eva, ekstradisi bukanlah satu-satunya cara. Alasan itu menurut Eva seperti sudah menjadi mitos, oleh karena itu harus segera dihapus. Eva menilai masih ada mekanisme yang lebih efektif untuk menjerat para koruptor, yakni lewat mekanisme interpol. Atas kegigihannya mendorong pemberantasan korupsi di negeri ini, pada 23 Agustus 2010, United Nation Drugs And Crimes (UNDOC) menobatkan Eva Kusuma Sundari sebagai Tokoh Anti Korupsi untuk bulan itu.
Sarjana Ekonomi lulusan Universitas Airlangga tahun 1991 ini tak hanya vokal dalam hal perjuangan persamaan gender dan kesetaraan hak warga. Ia juga vokal menanggapi berbagai soal yang hangat diperbincangkan di tengah publik, seperti korupsi, hak TKI, hingga sejumlah aksi kekerasan yang terjadi terhadap kaum minoritas selama ini.
Mengenai permasalahan yang membelit Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari tahun ke tahun, Eva menilai sistem perlindungan TKI masih lemah sebab pemerintah masih memandang sebelah mata kondisi para TKI. Menurutnya, permasalahan TKI dan hukuman bagi TKI di negara penempatan sudah cukup banyak, namun sayangnya hal itu tidak pernah menjadi cambuk bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan. “Sudah beberapa tahun lalu pihak-pihak terkait dengan TKI hanya berjanji akan melakukan pembenahan, tapi realisasinya tidak ada,” cetus Eva dalam dialog dengan Pro 3 RRI, Selasa (21/6/2011).
Eva menambahkan, tidak ada cara lain yang dapat menyelamatkan nasib para TKI selain pemerintah harus melakukan moratorium ke semua negara penempatan TKI. Negara harus menghentikan pengiriman TKI sampai ada pembenahan yang jelas. Moratorium menjadi langkah awal membenahi kesepakatan dan kebijakan yang berpihak pada TKI. Ia menegaskan, ketika moratorium dilakukan maka dalam waktu yang sama pembenahan juga harus dilakukan. Terkait TKI yang terancam hukuman mati, Eva menganjurkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun langsung meminta pengampunan dari pemerintah setempat. “Komitmen perlindungan bagi TKI harus dijawab dan dijalankan langsung oleh kepala negara dan pemerintah RI. Bukan hanya pembantu-pembantunya,” tegas Eva.
Sementara untuk kasus kekerasan terutama yang kerap menimpa kelompok minoritas menurut Eva adalah bukti kegagalan negara menjamin keamanan warganya. Salah satu contohnya adalah penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten (6 Feb 2011). Eva mengaku sempat kaget karena pihak penegak hukum tidak langsung menindak para pelakunya. Hal itu menurutnya akan membuat para pelaku kekerasan besar kepala dan semakin bertindak seenaknya. Menanggapi hal itu, Eva menyampaikan penilaiannya, “Ini beda dengan zaman Pak Harto. Meski tidak demokratis tapi tegas, tapi bukan berarti di dalam negara demokratis tidak harus tegas, itu kan asumsi yang salah. Saya melihat ini salahnya aparat hukum dan keamanan kita,” kata Eva seperti dikutip dari situs kbr68h.com.
Eva berpendapat, aksi kekerasan dalam bentuk fisik serta ancaman bom diperkirakan masih akan terus terjadi apabila polisi tidak tegas memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang acap berbuat anarkis. Tentang konflik yang sering terjadi di tengah masyarakat dengan alasan agama, Eva menyarankan agar pemerintah melarang berdirinya organisasi kemasyarakatan yang kerap melakukan kekerasan. Dengan langkah itu, konflik yang dialami kelompok minoritas seperti Ahmadiyah di Cikeusik, diharapkan dapat dicegah. Eva juga mengatakan pelarangan tersebut sebagai bukti tindakan tegas pemerintah. Kalau pun kemudian belum bisa menyelesaikan secara tuntas, paling tidak ada tindakan tegas yang dilakukan pemerintah yang menunjukkan sinyal bahwa bangsa ini tidak mentolerir kekerasan.
Itulah Eva dengan segala sikap kritis dan suara vokalnya dalam menyikapi semua permasalahan yang membelit bangsa. Mengenai predikat sebagai politisi perempuan vokal yang disematkan kepadanya, dengan nada merendah Eva menepisnya. Ia mengatakan, saat ini sebenarnya sudah banyak aktivis perempuan yang cukup vokal di parlemen. Namun sebaliknya, banyak juga anggota DPR pria yang banyak diam. Tentang hal itu, Eva melihat penyebabnya adalah proses rekrutmen calon anggota DPR yang tidak ideal dilakukan partai politik. Salah satu contohnya, rekrutmen dengan model koneksi dinasti. Selama ini, partai menurutnya belum serius melakukan pendidikan untuk kadernya. Dan mengenai kualitas anggota DPR, menurutnya bukan karena gender, tapi karena proses rekrutmen partai.
Di samping dikenal vokal, Eva Kusuma Sundari juga rajin terjun langsung melakukan advokasi kepada masyarakat. Saat penyerangan jemaat gereja HKBP di Ciketing, Bekasi, Jawa Barat misalnya, ia terlibat aktif melakukan advokasi dan mediasi melalui kaukus Pancasila. “Saya kerap melakukan advokasi langsung ke masyarakat,” aku pemilik motto ‘mengalir tapi tidak hanyut’ ini seperti dilansir situs inilah.com.
Sementara terkait laporan UKP4 yang menyebutkan banyak kinerja menteri yang tak jalan, Eva dengan tegas mengatakan hal itu merupakan bukti Presiden SBY tak mampu lagi mengatur bawahannya. “Itu bukti SBY sudah nggak mampu. Jadi, mending mundur saja. Bawahannya saja, sudah nggak jalan,” sindir Eva seperti dikutip dari situs yahoo.com.
Selain masalah-masalah di atas masih banyak persoalan bangsa yang tidak lepas dari sorotannya. Eva tidak pernah canggung apalagi takut ketika mengemukakan pendapatnya atau memberi solusi. Sarjana Ekonomi lulusan Universitas Airlangga tahun 1991 ini merupakan sosok politikus perempuan yang kritis dan berani.
Itulah sebagian kecil dari pernyataan-pernyataan kritis dan berani yang dilontarkan Eva Kusuma Sundari. Boleh jadi, latar belakangnya sebagai dosen serta pengalamannya di berbagai LSM sedikit banyak mempengaruhi gaya dan caranya berpolitik. “Dulu saya pernah jadi dosen, terus aktif di LSM, kemudian aktif di PDI Perjuangan,” ujar ibu dari Maria dan Dani ini.
Jika melihat bendera politik yang diusungnya, sosok Eva terbilang unik lantaran orang tuanya merupakan aktivis Partai Golkar di Jawa Timur, namun Eva lebih memilih bergabung ke PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri. Walau demikian, ia mengaku bahwa sebenarnya tidak ada rencananya dari awal untuk masuk ke partai berlambang Banteng Moncong Putih itu. Tapi komunikasi secara intensif sudah ia lakukan sejak dini dengan politisi PDIP ketika masih aktif di GMNI. Selain itu, Eva sempat membantu Fraksi PDIP di DPRD Jawa Timur.
Di samping itu, kemampuannya menjalankan tugas sebagai politisi vokal sebagaimana diperlihatkannya selama ini tentu tidak terlepas dari latar belakang pendidikan yang dimilikinya sebelum duduk sebagai anggota dewan. Eva memang termasuk tipe politisi yang menyadari arti pentingnya pendidikan. Tak cukup puas dengan gelar sarjana yang berhasil dicapainya tahun 1991, Eva melanjutkan pendidikannya ke tingkat magister di Institut of Social Studies, The Hague, Netherland. Setelah beberapa tahun menimba ilmu di negeri kincir angin tersebut, Eva akhirnya berhasil menyabet gelar MA pada tahun 1996. Setelah itu, Eva kembali meneruskan studinya, kali ini ia mengambil S2 di Faculty of Ekonomics, University of Nottingham, Inggris. Tepat di tahun 2001, Eva meraih gelar MDE dari universitas tersebut. Dua gelar sarjana strata 2 yang telah disandangnya rupanya tak membuat Eva berpuas diri. Di sela-sela kesibukannya sebagai aktivis, Eva masih menyempatkan waktunya untuk menimba ilmu di Universitas Padjajaran, Bandung mengambil program doktoral Public Administration.
Selain pendidikan formal, Eva juga rajin mengikuti pelatihan-pelatihan terkait isu perempuan dan anggaran. Sepanjang tahun 2008 misalnya, ia mengikuti pelatihan Public Account Committee di Melbourne, Effective Budget Scrutiny di Jakarta dan Public Finance Management di Jakarta. Sebelumnya, Eva juga mengikuti pelatihan Global Woman Leadership di Washington pada tahun 2007.
Selama dua periode menjabat sebagai anggota DPR, Eva mengaku pekerjaan yang ia rasa paling monumental adalah saat ia dan rekan-rekannya memperjuangkan keberadaan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan DPR yang tertuang dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Menurutnya, perjuangan demi keberadaan badan itu dianggap berkesan karena dengan BAKN, DPR memiliki peran untuk melakukan kontribusi dalam pemberantasan korupsi. muli, jk, red