
[DIREKTORI] Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Bidang Kesra ini mengatakan Jakarta barometer ekonomi nasional, sekaligus menjadi tumpuan harapan bagi penduduk dari propinsi lain. Implikasinya, arus urbanisasi terus meningkat. H. Djailani seorang dokter dan pensiunan mayor jenderal kelahiran Jakarta 17 Juni 1942.
Bicara soal Jakarta, agaknya tepat bila dr. H. Djailani mengutarakan pandangan dan harapannya. Menurut analisisnya, kota Jakarta mengalami pembangunan fisik dan ekonomi yang berjalan dengan pesat, menjadi suatu kota metropolitan.
“Kemajuan yang dicapainya telah menjadikan kota ini sebagai barometer bagi kemajuan perekonomian nasional”, katanya.
Tidak mengherankan jika dalam perkembangan kemudian, Jakarta menjadi tumpuan harapan bagi penduduk dari propinsi lain. Implikasinya, arus urbanisasi terus meningkat. Hal ini tentu saja membawa dampak permasalahan yang tidak sederhana. Karena persoalan ikutan yang muncul bersamaan dengan arus urbanisasi, ternyata cukup kompleks.
Di bidang kependudukan, misalnya, urbanisasi telah mendorong terjadinya pengangguran dan kemiskinan kota. Sedangkan di bidang pemukiman, telah menimbulkan persoalan baru berupa makin bertambahnya pemukiman kumuh.
Menurut Djailani, permasalahan pokok yang dihadapi Jakarta setidaknya bisa dilihat dalam tiga dimensi. Pertama, situasi kesejahteraan. Kedua, situasi sosial budaya yang menggambarkan kerukunan, kepedulian, kemandirian serta kemajuan. Ketiga, terjadinya krisis kepercayaan. Ketiga dimensi ini pada hakikatnya dialami seluruh elemen masyarakat yang tinggal dan hidup di Jakarta.
Jika kini ibukota negara ini dihadapkan kepada permasalahan sosial budaya yang kompleks, hal itu merupakan dampak interaksi yang berkesinambungan diantara berbagai pihak.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan, katanya, telah menyebabkan terjadinya penurunan tingkat kesejahteraan hidup secara lahir dan batin. Karena bersamaan dengan krisis moneter, terjadi pula peningkatan aksi kekerasan kolektif. Jakarta seakan-akan menjadi tidak nyaman bagi warganya.
Situasi kesejahteraan di Jakarta khususnya setelah krisis moneter dan ekonomi, cenderung mengalami penurunan. Bukan saja dibidang ekonomi, tapi melebar ke bidang sosial dan budaya. Untuk membangun Jakarta dengan segala permasalahannya, tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong, tapi secara keseluruhan melalui perencanaan yang mendasar.
Jadi, yang mesti dilakukan adalah menetapkan strategi pembangunan, dengan menyikapi perubahan sosial budaya yang berkembang. Dengan kondisi Jakarta seperti sekarang, ujarnya, perencanaan pembangunan harus dirumuskan bersama para pakar, tokoh masyarakat, pemimpin agama sampai kepada lapisan paling bawah. Artinya, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan diserahkan kepada komunitas, bisa dimulai ditingkat RT/RW dan kelurahan, melalui Dewan Kelurahan. Saya kira hal ini yang diprioritaskan, disamping upaya penegakan kepastian hukum dan perlindungan hak warga kota,” kata Djailani. Untuk itulah maka organisasi di tingkat komunitas, perlu dihidupkan dan difungsikan, agar komunitas siap menjadi unit pelaku pembangunan yang dapat diandalkan.
Intinya adalah bagaimana membangun Jakarta yang mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat. Memberdayakan masyarakat akar rumput, sehingga menjadi kekuatan yang mendukung pembangunannya, dengan jalan membuka akses sumber modal dan akses politik kepada seluruh warga, agar peran mereka dapat dikerahkan secara lebih optimal.
Diakui oleh Djailani, selama ini RT/RW yang merupakan organisasi warga di tingkat komunitas yang merupakan perpanjangan tangan birokrasi, peranannya selalu dikesampingkan. Bila pemerintah merasa perlu membagi peran, maka peran tersebut lebih banyak diberikan pada swasta.
Masyarakat tidak pernah dapat mengontrol hubungan antara pemerintah dan swasta. Bahkan, untuk suatu pembangunan yang sederhana sekalipun, mereka tak pernah dilibatkan. Pemerintah sering mengunakan istilah partisipasi untuk menunjukkan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Tetapi, konsep partisipasi di masa lalu ternyata hanya dibatasi pada peran menunjang kegiatan pemerintah. “Ke depan, cara-cara seperti ini tidak bisa di pakai lagi. Yang dikembangkan adalah pembangunan dari rakyat untuk rakyat. Artinya, mulai dari tingkat perencanaan sampai kepada pelaksanaannya diserahkan kepada mereka melalui mekanisme yang ada. Karena merekalah yang mengetahui aspirasi warganya,” kata Djailani.
Jadi, peranan pemerintah adalah memotivasi, memfasilitasi dan melakukan pengawasan. Disamping itu, katanya, pembangunan Jakarta tidak saja berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak sosialnya bagi masyarakat. Untuk menciptakan hal tersebut, maka pembangunan ekonomi DKI Jakarta harus lebih diarahkan kepada pemberdayaan ekonomi rakyat, tentunya dengan memperhatikan hubungan ekonomi antar daerah dan internasional.
Pembangunan ekonomi Jakarta juga harus dijiwai oleh citra kota ini sebagai ibukota negara dan sebagai pusat kegiatan ekonomi yang menjadi dinamisator bagi perkembangan wilayah lain, melalui pemihakan kepada golongan kecil. Untuk mewujudkannya diperlukan strategi pokok, yaitu penataan kembali manajemen pemerintahan, melakukan perbaikan sekaligus pengembangan kehidupan bermasyarakat, baik dalam bentuk peningkatan disiplin dan rasa kebersamaan diantara sesama warga.
Barometer Perekonomian Jakarta menjadi barometer bagi kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional, karena memikili kondisi umum yang jauh lebih baik dibanding propinsi lain. Sebagai ibukota negara dan wilayah konsentrasi dari berbagai kegiatan perekonomian nasional dan internasional, Jakarta memiliki basis ekonomi yang lebih baik. Karena, didukung oleh sumber daya manusia yang relatif baik, infra-struktur yang lebih memadai serta daya tarik investasi di sektor-sektor produktif.
Daya tarik dan keunggulan ekonomi ini pula yang secara terus menerus berpotensi menciptakan urbanisasi ke Jakarta., dengan dampak negatif pada melemahnya daya dukung lahan dan lingkungan serta masalah-masalah kemasyarakatan.
Krisis ekonomi yang ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sejak Juli 1997, memberi dampak luar biasa pada berbagai kehidupan masyarakat. Secara ekonomi, kota Jakarta menerima dampak paling buruk dibanding propinsi lain.
Sebabnya, pertama karena struktur industri yang dimiliki sangat tergantung pada bahan baku, barang modal, dan teknologi impor. Kedua, Jakarta tidak memiliki sumber daya alam. Ketiga, kegiatan perekonomian banyak dibiayai pinjaman luar negeri.
Dampak krisis itu, menurut Djailani akhirnya meluas pada kehidupan sosial, politik dan hukum, yang memunculkan semangat reformasi secara luas di segala bidang. Walaupun dilanda krisis, banyak kalangan baik birokrat maupun pengamat percaya bahwa kondisi perekonomian Jakarta tetap lebih baik dibanding wilayah lain, karena memiliki basis ekonomi yang kuat.
Kemerosotan ekonomi telah berdampak pula pada menurunnya penghasilan dan daya beli masyarakat yang menyebabkan ketahanan masyarakat menjadi rentan, mudah marah dan merusak, emosional dan mudah terprovokasi. Sifat mudah merusak ini sangat berbahaya bagi eksistensi prasarana yang ada.
Di pihak lain, masalah ekonomi yang dihadapi Jakarta saat ini, masih harus ditambah dengan tantangan ke depan berkaitan dengan kuatnya arus globalisasi dan persaingan antar negara yang semakin ketat. Sebagai pusat pertumbuhan nasional, Jakarta harus menempatkan dirinya, ke depan, mampu menghadapi persaingan dalam perdagangan dan investasi. Ke belakang, mampu menarik daerah-daerah lain untuk meningkatkan sektor produksi dan membuat sinergi ekonomi yang saling menguntungkan.
Pekerjaan ini tentunya tidak mudah dilakukan bila tidak dibarengi dan dipadukan dengan pemikiran dan terobosan baru berkaitan dengan strategi pembangunan ekonominya. Dari kenyataan ini, kata Djailani, pembangunan ekonomi di Jakarta akan menghadapi tiga persoalan pokok. Bagaimana mengupayakan rehabilitasi prasarana dan sarana ekonomi secepatnya, agar dunia usaha dapat beroperasi kembali secara normal.
Penataan kembali sektor usaha terutama pedagang kaki lima yang sekarang ini semakin semrawut dan sementara penegakan ketertiban menghadapi hambatan psikologis. Menciptakan investasi awal (initial investment) sebagai prasyarat menjadikan Jakarta sejajar dengan kota-kota besar di negara maju yang mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. e-ti/Repro Garda