Pemerhati Lingkungan Hidup
Alexander Sonny Keraf
[DIREKTORI] Doktor lulusan Universitas Katolik Leuven, Belgia ini secara mengejutkan pernah mengemban tugas sebagai Menteri Lingkungan Hidup Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Gus Dur. Kiprahnya di dunia politik kemudian berlanjut dengan menjadi anggota DPR RI (2004-2009). Saat menjadi menteri, anggota DPR dan dosen, ahli filsafat kelahiran Flores ini banyak menyumbangkan pemikirannya di bidang lingkungan hidup, walaupun saat menjabat Menteri KLH tidak banyak prestasi yang dilakukannya.
Meski berlatar belakang pendidikan filsafat, Dr. Alexander Sonny Keraf berusaha menyumbangkan pemikirannya dalam bidang lingkungan hidup baik ketika bekerja sebagai menteri, anggota dewan, maupun dosen. Saat tiba-tiba menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, akademisi yang kemudian menjadi kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini kerap kali mengampanyekan betapa pentingnya menjaga lingkungan, layaknya aktivis lingkungan hidup.
Pria kelahiran Lembata, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 1 Juni 1958 ini memulai karirnya sebagai Staf Editor pada Penerbit Yayasan Obor Indonesia di tahun 1985. Pekerjaan tersebut dilakoninya sambil kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara hingga ia berhasil meraih gelar sarjananya pada 1988. Setelah itu, Sonny bekerja sebagai Staf Pusat Pengembangan Etika dan dosen filsafat di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Meski terlahir jauh dari ibukota, Sonny amat sadar pentingnya pendidikan. Maka tak heran, setelah gelar sarjana berhasil diraihnya, ia tak langsung berpuas diri. Gelar master dan doktor pun disandangnya yakni pada 1992 dan 1995 setelah beberapa tahun menimba ilmu di Universitas Katolik Leuven, Belgia. Dengan semakin bertambahnya ilmu, Sonny pun mulai dipercaya untuk menjadi Dosen Pasca Sarjana Unika Atmajaya Jakarta.
Pada 26 Oktober 1999, suami dari Maria Mia Tufan ini mendapat kepercayaan dari Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengisi posisi Menteri Negara Lingkungan Hidup Kabinet Persatuan Nasional. Ketika menjalankan perannya sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup, Sonny pernah memberikan tanggapannya mengenai kasus kabut asap yang terus menerjang sebagian wilayah Indonesia hampir setiap tahunnya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa hal tersebut bukan bencana alam tapi bencana buatan manusia. Karena itu, pemerintah merumuskan kebijakan untuk membenahi aspek kebakaran hutan dan sanksi bagi pembakar hutan dalam skala besar. Sonny juga menyampaikan harapannya kepada pihak penegak hukum agar membuat putusan yang bisa membuat jera para pelaku.
Begitu pula dengan izin HPH di kawasan Pulau Siberut, Mentawai, Sumatera Barat. Karena dinilai bertentangan dengan upaya dan prinsip pelestarian alam, Sony Keraf mendesak Menteri Kehutanan dan Perkebunan untuk mencabut kembali izin HPH yang sudah terlanjur diberikan kepada pengusaha di kawasan konservasi itu. “Izin HPH secara prinsip akan dicabut dari pada akan menimbukan dampak yang lebih parah di kemudian hari,” ujar Sonny saat upacara puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia tahun 2001 seperti yang dilansir situs mentawai.org. Sayang, belum dua tahun menjabat, meski dinilai cukup baik menunjukkan komitmennya sebagai pembantu presiden di bidang lingkungan hidup, Sonny harus rela digantikan Nabiel Makarim pada 9 Agustus 2001 seiring dengan tumbangnya pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Meski tak lama menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, namanya sempat diseret-seret dalam beberapa kasus pelanggaran bidang lingkungan hidup. Walaupun ketidakbenaran sangkaan itu belakangan bisa dibuktikannya di depan publik maupun pengadilan, tapi kasus itu sudah sempat merusak integritasnya.
Perihal kasus penyuapan Monsanto misalnya, Sonny Keraf sempat diminta penjelasan oleh Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Dalam penjelasannya, Sony mengakui memang dirinya pernah bertemu dengan utusan Monsanto, PT Monakro Kimia (afiliasi Monsanto di Indonesia) dan PT Harvest Internasional. Namun, ia menolak jika dinyatakan terlibat dalam kasus suap itu. “Mungkin karena keputusan saya untuk memasukkan AMDAL sebelum proyek kapas transgenik dimulai, Monsanto merasa usaha untuk menyebarluaskan benih trasgenik akan mendapatkan hambatan,” jelas Sonny Keraf kepada pers usai memberikan penjelasan kepada KPK, 14 Januari 2005 seperti dikutip dari situs tempo.com.
Menurutnya, pada saat dirinya menjabat Menteri lingkungan Hidup, Departemen Pertanian telah memberikan izin kepada Monsanto untuk mengembangkan tanaman transgenik di Indonesia. Padahal belum ada bukti benih transgenik aman bagi lingkungan dan kesehatan. Kemudian departemennya, yakni Departemen Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan pengembangan tanaman transgenik harus memperoleh izin AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). “Berdasarkan hukum ini, Kementerian Lingkungan Hidup mempunyai kewenangan apakah transgenik bisa masuk atau tidak,” lanjut Sony. Namun setelah tidak menjabat, ia mengaku tidak mengetahui kelanjutan masalah tersebut.
Demikian halnya dalam kasus pencemaran lingkungan oleh PT Newmont Minahasa Raya (NMR). Sonny Keraf dalam jabatannya sebagai mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup sempat digugat Walhi telah memberikan izin kepada PT NMR. Namun ia mengaku tidak pernah memberi izin kepada PT Newmont Minahasa Raya (NMR) untuk membuang limbah tailing di Teluk Buyat. Alasannya, dari hasil studi ecological research assessment (ERA), PT NMR belum memenuhi syarat.
“Sejak saya menjabat sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Oktober 1999, sampai dengan saya berhenti pada awal Agustus 2001, belum ada keputusan dari saya,” kata Sony dalam keterangannya sebagai saksi dalam sidang gugatan legal standing Walhi di PN Jakarta Selatan pada 26 Juli 2007.
Setelah tak lagi duduk di kursi kabinet, ayah tiga anak ini kembali ke dunia pendidikan. Tahun 2001, ia diangkat menjadi Dosen Luar Biasa Pasca Sarjana (S3) Program Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, sedangkan di Unika Katolik Atmajaya, ia mengajar bidang filsafat pada program Pasca Sarjana.
Tiga tahun kemudian, Sonny kembali ke ranah politik dengan maju sebagai calon anggota dewan dari PDIP Dapil Jawa Tengah 3 pada Pileg 2004. Sonny yang kala itu maju sebagai caleg bernomor urut 2 berhasil melenggang ke Senayan dengan raihan suara sebesar 20.291. Di DPR, sesuai dengan bidang yang pernah ia tangani sebelumnya di kementerian, ia duduk dan kemudian terpilih sebagai Wakil Ketua Komisi VII F-PDIP periode 2004-2009 yang salah satunya menangani bidang lingkungan hidup.
Sebagai putra asli NTT, Sonny juga menyumbangkan pemikirannya demi kemajuan tanah kelahirannya. Ia menyarankan kepada pemerintah daerah setempat agar melakukan pembangunan dengan tetap mempertimbangkan lingkungan hidup.
Ketika menjabat sebagai anggota legislatif, ia kerap menyoroti berbagai isu yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Salah satunya pendirian pabrik PT Semen Gresik di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Ketika itu, Sonny menyatakan ada ketidakwajaran dalam proses penyusunan izin eksploitasi saat penelitian analisis dampak lingkungan (amdal) dalam pendirian pabrik tersebut. Karena itu, ia meminta agar proses pembangunan pabrik itu ditunda terlebih dulu. “Tidak disusun sebagaimana mestinya. Padahal amdal ini harus formal dengan struktur pembahasan yang baik,” tutur Sonny seperti dikutip dari korantempo.com.
Menurutnya, dalam forum konsultasi di lapangan, selalu ada forum yang melibatkan warga, tapi forum tersebut justru digunakan beberapa orang yang mengancam agar pabrik harus segera dibangun. Selain itu, Sonny juga menyentil sikap Balai Lingkungan Hidup Jawa Tengah yang seharusnya netral, profesional, dan menjaga lingkungan. Bukan malah memaksa agar proyek pabrik bernilai investasi Rp 3,5 triliun tersebut segera direalisasikan. “Pasti ada sesuatu antara BLH dan Semen Gresik. Ini sudah di luar akal sehat,” ujarnya saat itu.
Sebagai putra asli NTT, Sonny juga menyumbangkan pemikirannya demi kemajuan tanah kelahirannya. Ia menyarankan kepada pemerintah daerah setempat agar melakukan pembangunan dengan tetap mempertimbangkan lingkungan hidup.
Dalam diskusi yang digelar Forum Sahabat Bangun Flores, Sumba, Timor, Alor, Rote, Sabu dan sekitarnya (Forsab Flobamora) bertajuk “Pertambangan di NTT” pada Maret 2011 misalnya, Sonny Keraf dan mantan Gubernur NTT, Herman Musakabe menyarankan kepada pemerintah dan masyarakat NTT agar tak terlalu fokus ke pertambangan. Pasalnya, pertambangan bukan merupakan pilihan yang tepat dalam membangun NTT. Menurutnya, NTT sebagai wilayah kepulauan masih bisa dibangun dengan meningkatkan kapasitas di bidang pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata, dan pendidikan kejuruan. Jika tetap fokus dengan tambang, masyarakat menurut mereka bisa menderita akibat lingkungan dirusak, di samping itu seberapa besar deposit mangan yang terkandung di perut bumi NTT juga belum diketahui dengan pasti.
“Tambang itu dipilih sebagai alternatif terakhir jika pertanian, perikanan, pariwisata sudah tak bisa lagi menghidupi masyarakat NTT,” ujar Sonny seperti dikutip dari situs timorexpress.com. Sonny lebih lanjut menjelaskan, dari perundang-undangan yang ada, sebenarnya izin usaha pertambangan harus dimulai dulu dari permintaan dukungan penduduk /masyarakat di lokasi tambang dan seterusnya, serta harus ada analisis dampak lingkungannya (amdal) dan ketentuan lainnya. “Tapi yang terjadi di NTT, hal ini tidak pernah dilakukan. Tahu-tahu tambang sudah berjalan,” urai Sonny.
Perhatian Sonny terhadap penyelamatan lingkungan kemudian diapresiasi sejumlah kalangan. Salah satunya, penghargaan dari Green Radio. Pemikirannya tentang “Etika Lingkungan”juga telah mengharumkan namanya di kalangan penggiat lingkungan hidup dalam negeri.
Dalam teorinya, Sonny mengatakan terdapat tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal sebagai Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics, dan Deep Environmental Ethics. Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Lebih jauh Sonny menjelaskan bahwa etika lingkungan yang bercorak antroposentrisme merupakan sebuah kesalahan cara pandang Barat, yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf modern, di mana perhatian utamanya menganggap bahwa etika hanya berlaku bagi komunitas manusia. Maksudnya, dalam etika lingkungan, manusialah yang dijadikan satu-satunya pusat pertimbangan, dan dianggap relevan dalam pertimbangan moral. Akibatnya, secara teleologis, lingkungan diupayakan agar menghasilkan akibat baik sebanyak mungkin bagi spesies manusia, dan menghindari akibat buruk sebanyak mungkin.
Cara pandang antroposentrisme, menurutnya, dikritik secara tajam oleh etika biosentrisme dan ekosentrisme. Bagi biosentrisme dan ekosentrisme, manusia tidak hanya dipandang sebagai makhluk sosial. Manusia pertama-tama harus dipahami sebagai makhluk biologis, makhluk ekologis. Dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Etika ini mengakui nilai intrinsik semua makhluk hidup dan memandang manusia tak lebih dari satu untaian dalam jaringan kehidupan.
Ekosentrisme berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas. Berbeda dengan biosentrisme yang hanya memusatkan pada etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Karena secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama lain, oleh karenanya, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.
Selain menyumbangkan pemikiran tentang lingkungan hidup, Sony Keraf juga menuangkan pemikirannya di bidang filsafat dalam bentuk buku dan artikel di media massa. Tulisan-tulisannya yang pernah diterbitkan antara lain: Pragmatisme Menurut William James, Etika Bisnis, Pasar Bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah, Telaah Atas Etika Politik Adam Smith, dan Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi. muli, jk, red