Produser Film Bertangan Dingin
Mira Lesmana
[DIREKTORI] Karirnya sebagai produser dan sutradara mulai mencuat pada era kebangkitan film nasional sekitar awal tahun 2000-an. Berbenderakan Miles Productions, sejumlah film lahir lewat tangan dinginnya seperti Anak Seribu Pulau, Kuldesak, Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta, Gie, Garasi, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi.
Mira lahir di Jakarta 8 Agustus 1964 dari pasangan musisi jazz almarhum Jack dan Nien Lesmana. Pemilik nama lengkap Mira Lesmanawati ini di masa kecilnya sempat berniat untuk mengikuti jejak sang ayah di dunia musik. Oleh karena itu, sejak kecil ia getol mengikuti les privat piano namun Mira tak kunjung menunjukkan perkembangan yang berarti. Setelah bertahun-tahun belajar tidak pintar-pintar juga, aku pun jadi mulai berpikir bahwa aku tak berbakat,” keluh wanita yang juga akrab disapa Mia ini. Hingga akhirnya ia benar-benar berhenti total belajar piano setelah mendapati sang adik yang kini dikenal sebagai musisi, Indra Lesmana, tengah asyik bermain piano tanpa belajar.
Setelah gagal menjadi pemusik, Mira kemudian mengeksplorasi bakatnya di bidang lain. Memasuki usia remaja, Mira yang gemar menulis puisi sering dimintai bantuannya oleh Indra untuk menulis lirik lagu. Sejak saat itu kakak beradik ini saling bekerja sama dalam dunia musik, Indra menciptakan melodinya dan Mira membuatkan liriknya.
Menurut Mira, bakat menulisnya didapat lantaran sejak kecil ia senang mendengarkan dongeng dari guru SD-nya. Mira kecil yang tergolong tak bisa diam seketika duduk manis tatkala sang guru mulai mendongeng. Sejak itulah daya imajinasi Mira mulai terasah, yang di kemudian hari amat mempengaruhi kemampuan menulisnya di masa remaja.
Setamat SMP, Mira dan keluarganya hijrah ke Australia guna menemani Indra Lesmana yang mendapat beasiswa di salah satu sekolah musik di negeri Kangguru itu, Brooksfield Music Academy. Mira kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah negeri setempat. Untuk bisa masuk ke sekolah yang semuanya perempuan itu, tidak mudah. Mira harus lulus tes bahasa Inggris. Kalau tidak lulus, ia harus masuk ke sekolah bahasa Inggris dulu. Beruntung, ia berhasil lulus menjalani tes itu karena sejak masih duduk di bangku SD, ia sudah mulai bisa berbicara bahasa Inggris.
Yang menarik, kemampuannya dalam berbahasa Inggris tidak didapat dari sekolah atau di tempat kursus. “Aku bisa berbahasa Inggris karena melihat tamu-tamu Ayah. Saat itu terpikir olehku, betapa asyiknya kalau aku bisa berbahasa Inggris sehingga aku bisa berdialog dengan mereka!” ujarnya. Dari situ, ia mulai menggemari buku-buku cerita berbahasa Inggris dan kamus. Tentu saja hal itu sangat membahagiakan kedua orang tuanya, yang langsung membelikan buku-buku cerita bahasa Inggris, dari yang paling sederhana bahasanya sampai yang agak sulit.
Bakat menulis Mira didapat lantaran sejak kecil ia senang mendengarkan dongeng dari guru SD-nya. Mira kecil yang tergolong tak bisa diam seketika duduk manis tatkala sang guru mulai mendongeng. Sejak itulah daya imajinasi Mira mulai terasah, yang di kemudian hari amat mempengaruhi kemampuan menulisnya.
Selain dari buku, bahasa Inggris juga dipelajarinya lewat film. Kedua orang tua Mira memang sangat hobi nonton film. Selain nonton di bioskop, mereka juga sering nonton video di rumah. Sebagian besar film-film dalam pita video itu mereka dapat dari teman-teman yang bermukim di luar negeri sehingga tidak ada terjemahannya. Film-film ini pula yang kian menggugah minat Mira untuk segera mendalami bahasa Inggris. Tanpa disadari, sejak saat itu pula Mira mulai jatuh cinta pada film.
Menurut cerita sang ibu, hampir setiap hari, sepulang sekolah Mira menghabiskan waktunya menonton di bioskop. Kalau kemalaman, ia menelepon ayahnya minta dijemput di stasiun kereta api. “Saya sering tonton apa aja, ya drama, ya komedi, yang penting ceritanya bagus,” kata Mira. Tapi ia tak sekadar menonton. Ia juga tertarik mengetahui siapa orang-orang di belakang pembuatan filmnya. Sejak itu ia pun lantas punya semacam cita-cita menjadi pembuat film. “Saya bilang ke orang tua bahwa kalau saya selesai sekolah, saya mau jadi pembuat film. Mereka mengizinkan lalu menyuruh saya sekolah film,” ujar pengagum Martin Scorsese, Steven Spielberg, Jiang Jin Woo, dan Winn Landers ini.
Setelah lulus SMA, Mira berencana mengambil kuliah film di Australia. Tapi, belum sempat mendaftar, keluarganya sudah memutuskan untuk segera kembali ke tanah air. Setelah menunggu legalisasi ijazah yang sangat lama dan berbelit di Departemen Pendidikan Nasional saat itu, Mira akhirnya masuk ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Jurusan Penyutradaraan. Setamatnya dari IKJ, Mira bekerja pada sebuah perusahaan periklanan, Citra Lintas.
Mira mengakhiri masa lajangnya dengan menerima pinangan aktor Mathias Muchus. Pernikahan keduanya dilangsungkan pada 14 Februari 1990, sehari sebelum ulang tahun Mathias Muchus yang ke-33. Sayangnya sang ayah tidak sempat menjadi wali nikahnya karena sudah lebih dulu dipanggil Tuhan di tahun 1988. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai dua orang putra, Galih dan Kafka.
Sementara itu, karir Mira di Citra Lintas terus berkembang. Setelah 4 tahun menjadi asisten produser, empat tahun kemudian ia diangkat sebagai produser. Beberapa iklan besar berhasil ia buat, antara lain Close Up dan Bir Bintang. Pada 1992, Mira mengundurkan diri dari perusahaan periklanan papan atas itu dan langsung direkrut perusahaan periklanan Katena. Di sini, ia banyak bekerja sama dengan ahli periklanan dari luar negeri seperti Amerika, Inggris, dan Australia. Dua tahun sebagai produser, ratusan karya berhasil dirampungkannya. Di antara karya-karya itu terselip videoklip Indra Lesmana-Sophia Latjuba, sebagai kado perkawinan adiknya itu.
Di Katena, Mira hanya bekerja selama dua tahun, meski begitu ia mengaku banyak menyerap ilmu tentang seluk beluk bisnis periklanan. Hingga pada akhirnya, panggilan untuk terjun ke dunia film dan televisi sesuai latar belakang pendidikannya muncul. Mira kemudian membangun sebuah rumah produksi bernama Miles Film Productions. Karya perdananya adalah film TV dokumenter bertajuk Anak Seribu Pulau.
Dalam penggarapan film tersebut, Mira menggandeng Riri Riza, Nan Triveni Achnas, Noto Bagaskoro, Srikaton, Arturo G.P, Edison Sinaro, Robert Chappell, dan Gary L. Hayes. Yang lebih membanggakan, film produksi pertamanya itu ternyata bisa ditayangkan di lima stasiun TV swasta sekaligus, yaitu RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV.
Dari film televisi, Mira kemudian mulai berpikir untuk membuat film layar lebar. Padahal di masa itu, industri film Tanah Air tengah mengalami mati suri. Kenyataan ini makin memacu Mira untuk menghasilkan film berkualitas karya anak negeri. Dengan menggaet Riri Riza, Rizal Manthovani, dan Nan T. Achnas, Mira berusaha membangkitkan film nasional. Dari kerjasama antara empat sineas muda itu lahirlah film Kuldesak yang rilis Oktober 1998.
Dalam menghasilkan film tersebut, mereka memulai semuanya dari nol, modalnya hanya satu, nekat. Namun siapa sangka dari kenekatan itu justru membuahkan prestasi berupa penghargaan dari Forum Film Bandung (1999) dan Festival Film Kine Club (2000).
Seiring berjalannya waktu, nama Mira kian berkibar. Miles Film Productions yang dikomandaninya terus melahirkan film-film menarik yang mampu menggaet ribuan bahkan jutaan penonton. Untuk layar TV, selain Anak Seribu Pulau, Mira memproduksi Enam Langkah, sebuah sinetron yang disutradarai Noto Bagaskoro sebanyak 13 episode untuk RCTI. Disusul kemudian Buku Catatanku, Kembang Untuk Nur, Pilot Mata Ketiga, Bumiku, dan beberapa film dokumenter yang didanai pihak asing.
Untuk layar lebar, Mira kemudian memproduksi film kedua berjudul Petualangan Sherina di tahun 2000. Film musikal yang juga dibintangi sang suami, Mathias Muchus itu berhasil menyedot jutaan penonton. Film tersebut sekaligus menandai kebangkitan film Indonesia. Nama Mira pun semakin mengorbit sebagai produser film berkualitas. Sukses terus berlanjut saat ia membuat film remaja berjudul Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) yang disutradarai Rudy Soedjarwo. Film yang dibintangi oleh Dian Sastro dan Nicholas Saputra itu meledak di pasaran dengan raihan 1,6 juta penonton. Selain itu AADC juga berhasil terpilih sebagai film terpuji oleh Forum Film Bandung.
Setelah itu, Mira terus membuat karya-karya berkualitas, diantaranya, Eliana, Eliana yang berhasil penghargaan untuk kategori skenario terbaik Festival Film Indonesia tahun 2004. Kemudian Rumah Ketujuh, Gie, Laskar Pelangi, dan Sang Pemimpi. eti | muli, red