Sederhana dan Merakyat
Paku Alam IX
[DIREKTORI] Sebisa mungkin memilih untuk melayani dari pada dilayani serta memiliki jiwa keterbukaan telah membuatnya memilih untuk menjauhkan diri dari popularitas yang disandangnya dengan bergaul karib dengan masyarakat. Itulah gambaran kehidupan Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (K.G.P.A.A) Paku Alam IX yang juga merupakan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta periode 2003-2009.
Terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Hariyo (B.R.M.H) Ambarkusumo, pria kelahiran Yogyakarta 7 Mei 1938, ini merupakan putra tertua dari pasangan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (K.G.P.A.A) Paku Alam VIII dan ibunya K.R.Ay. Purnamaningrum. Setelah Paku Alam VIII mangkat pada 11 September 1998. Kanjeng Pangeran Haryo (K.P.H.) Ambarkusumo dinobatkan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (K.G.P.A.A.) Paku Alam IX mengantikan ayahnya, pada 26 Mei 1999.
Sementara itu terpilihnya Paku Alam IX menjadi wakil gubernur dalam prosesnya sempat diwarnai konflik internal di keluarga istana (Puro Pakualaman). Akibatnya proses pemilihan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta periode 1999-2004 sempat tertunda. Dimana pihak keraton mengajukan dua nama. Calon pertama Gusti Bendoro Pangeran Haryo Probokusumo didukung keluarga KRAy Retnaningrum yang merupakan istri kedua Sri Pakualam VIII. Sedangkan calon kedua, Sri Pakualam IX Kanjeng Pangeran Haryo Ambarkusumo didukung keluarga istri pertama Sri Pakualam VIII, KRAy Purnamaningrum. Namun pada akhirnya pada tahun 2003 Sri Pakualam IX terpilih menjadi wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta mendampingi Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X untuk periode 2003-2009.
Meski tidak dihadiri lima saudaranya laki-laki, dari sembilan bersaudara lain ibu saat ia naik tahta. Paku Alam IX setelah resmi dinobatkan, ia kemudian mengangkat istrinya sebagai permaisuri yang diberi gelar Kanjeng Bendoro Raden Ayu (K.B.R.Ay.) Ambarkusumo. Kemudian mengukuhkan permaisuri PA VIII dari bergelar Kanjeng Raden Ayu (K.R.Ay.) menjadi K.B.R.Ay. Sedangkan putra pertamanya R.M. Wijoseno Hariyo Bimo yang juga istri Atika Purnomowati diangkat menjadi Bendoro Pangeran Hariyo (B.P.H.) Suryodilogo. Sementara dua anaknya lagi, Haryo Seno dan Haryo Danardono sama-sama diberi gelar Bendoro Raden Mas Hariyo (B.R.M.H.)
Sejak dinobatkan KGPAA Paku Alam IX memimpin Kadipaten Pakualaman meliputi Kecamatan Pakualaman di Kota Yogyakarta dan Karang Kemuning atau Adikarto di Kabupaten Kulon Progo bagian selatan.
Tinggal di luar istana
Meninggalkan kemewahan dalam istana, pada saat Sri Paku Alam IX masih berusia 20-an. Ia banyak menghabiskan masa mudanya dengan tinggal di luar Istana Kadipaten Pakualaman. Seperti masyarakat pada umumnya ia biasa bekerja dengan melakoni beragam pekerjaan kasar. Ia tidak menggunakan statusnya untuk mendapat kemudahan dalam mencari pekerjaan walaupun hal itu sangat dimungkinkan. Namun ia lebih memilih melakukan pekerjaan kasar. Menjadi pesuruh dan petugas kebersihan sempat dikerjakannya. Selain itu, ia juga pernah menjadi karyawan sebuah biro perjalanan.
Selain sederhana dan merakyat, ia juga antifeodalisme. Ia merasa lebih nikmat bergaul dengan rakyat dan menjauhkan diri dari popularitas yang dimilikinya. Sikap ini terlihat dalam diri Ambarkusumo saat mengunjungi warga dari satu desa ke desa lain. Dengan tidak sungkan-sungkan ia bisa betah berlama-lama berbicara dengan petani di pinggir sawah, mengenai tanaman ataupun ternak.
Prinsip hidupnya jika masih bisa melayani maka sebisa mungkin, Ambarkusumo tak bersedia untuk dilayani. Hal itu terlihat, meski berstatus sebagai wakil gubernur. Ambarkusomo lebih banyak menyetir mobil sendiri. Walau kadang tindakan tersebut membuat keluarganya berharap-harap cemas setiap kali ia keluar bepergian menelusuri jalan-jalan di pelosok desa.
Selain itu, ia juga memiliki kebiasaan untuk mematikan telepon selulernya. Lagi-lagi hal ini dilakukanya saat ia meluncur dengan mobil pribadinya. Ia pernah seorang diri menyetir hingga ke Wonogiri, Jawa Tengah dan menikmati kesendiriannya tersebut. Baginya menyetir mobil merupakan bagian dari olahraga untuk penyehatan tubuh sehingga ponselpun tidak diaktifkannya.
Di usianya yang tidak tergolong muda lagi, ia pernah selama dua minggu harus menjalani istrahat total akibat gangguan pada otot yang mengharuskannya menggunakan tongkat. Namun begitu bebas dari tongkat, kembali dengan sifat kemandiriannya, ia kembali melakukan pekerjaannya seorang diri.
Selain itu juga, ia kadang pergi sendiri ke Pasar sentul, Yogyakarta untuk membeli gerontol. Jenis makanan tradisional dari jagung. Karena kecintaannya akan makanan tersebut, walau ia sendiri mengalami sedikit stroke ringan yang mengharuskannya harus menjauhi makanan tersebut. Namun sifat sederhana yang telah mendarah daging dalam dirinya tidak bisa menjauhkanya dari gerontol.
Bagi BPH Suryo Dilogi putra tertuanya menggambarkan ayahnya sebagai sosok yang serius, mandiri, namun terbuka. Nilai-nilai hidup yang dijalankan sang ayah tidak lepas dari keteladanan yang di dapatkannya dari para leluhur Keraton Mataram, seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Sambernyawa.
Selain sederhana dan merakyat, ia juga antifeodalisme. Ia merasa lebih nikmat bergaul dengan rakyat dan menjauhkan diri dari popularitas yang dimilikinya. Sikap ini terlihat dalam diri Ambarkusumo saat mengunjungi warga dari satu desa ke desa lain. Dengan tidak sungkan-sungkan ia bisa betah berlama-lama berbicara dengan petani di pinggir sawah, mengenai tanaman ataupun ternak.
Sebagai birokrat kesan untuk menjauhkan diri dari populiritas juga terlihat saat dirinya diwawacarai wartawan. Ia lebih banyak mengumbar senyum dan mengatupkan kedua tangan di dada sebagai tanda penolakan. Karena tidak suka memberi komentar, para kuli tinta pun memberinya julukan “Mr No Comment”.
Dengan filosofis Paku Alam IX mengibaratkan sikapnya tersebut dengan Gangsir, binatang sejenis jangkrik. Jika bersuara pada malam hari terdengar sampai jauh. Menurutnya seseorang tak perlu menampakkan diri dengan kemegahannya, tetapi dengan satu-dua kata akan terdengar dan terasa getarannya.
Bagi yang tidak mengenalnya, sikap penolakannya tersebut memunculkan kesan Paku Alam IX seorang yang tertutup. Namun sebaliknya kalau ia menolak memberi komentar ke media. Ia malah membuka Puro Pakualaman (Pusat Kadipaten Pakualaman) seluas-luasnya bagi para seniman, budayawan, dan akademisi untuk menggali dan menemukan ajaran luhur budaya Jawa yang tersimpan dalam tradisi dan naskah kuno. Sebanyak 250 naskah mitologi, babad, ajaran, primbon, agama, dan pemikiran serta perasaan manusia Jawa tersimpan di Puro. Sekali sepekan Puro dibuka untuk melakukan diskusi. e-ti | hs, red