Tegas Suarakan Kebenaran

Ribka Tjiptaning
 
0
530
Ribka Tjiptaning
Ribka Tjiptaning | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Divonis sebagai anak antek PKI, ia tumbuh menjadi pribadi yang tegar, tegas, dan peduli pada masyarakat hingga berhasil duduk sebagai wakil rakyat di DPR. Kejujuran Ning dalam menyuarakan kebenaran pada setiap aktivitas politiknya juga memperoleh cobaan yang berat, mulai dari diciduk aparat, masuk penjara dan pengrusakan kliniknya.

Perempuan kelahiran Solo 1 Juni 1959 ini terlahir dari keluarga Jawa ningrat. Ayahnya seorang keturunan Kasunanan Solo (Pakubowono) bernama Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro, sedangkan sang ibu, Bandoro Raden Ayu Lastri Suyati merupakan keturunan Kasultanan Kraton Yogyakarta.

Karena berasal dari keluarga berdarah biru, anak ketiga dari lima bersaudara ini di masa kecilnya hidup dalam keadaan yang serba kecukupan. Pada masa itu, ayahnya memiliki lima pabrik besar. Meski tergolong orang berada dan tinggal di rumah yang cukup besar, ayahnya selalu mendidik kelima anaknya untuk selalu rendah hati dan membumi. Sebagai contoh, sang ayah mengajarkan agar rumah tidak memiliki pagar yang tinggi. Karena menurutnya, kalau ingin hidup selamat dan senang, rumah tidak boleh memiliki pagar tinggi atau pagar besi tetapi harus seperti piring. Dalam arti hidup harus peka terhadap lingkungan sekitar terutama pada penderitaan rakyat.

Selain senantiasa mengajarkan untuk selalu berempati pada orang lain, ada satu hal lagi yang paling diingatnya dari sosok sang ayah tercinta. Suatu kali ayah Ning, begitu Ribka biasa disapa, mendapat kenang-kenangan berupa pulpen emas dari China. Namun pulpen emas yang sangat berharga pada saat itu justru dijual orang tuanya. Kemudian uang hasil dari penjualan pulpen tersebut dibelikan kain dan dibagikan kepada masyarakat sekitar.

Masa-masa bahagia Ning bersama keluarga rupanya tidak berlangsung lama. Titik balik kehidupan Ning terjadi saat meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang seketika mengubah jalan hidup Ning sekeluarga. Ning yang masih duduk di TK kelas nol besar harus menyaksikan awal-awal kejatuhan keluarganya. Di usia yang masih sangat muda itu, ia harus menelan kenyataan pahit ketika mendapati ayahnya tidak pernah lagi pulang ke rumah. Nestapa Ning semakin bertambah ketika ibunda tercinta dibawa oleh tentara.

“Dalam sehari, kehidupan yang saya alami berubah drastis,” kata Ning mengingat masa lalunya. Pengakuan dan kebanggaannya sebagai seorang anak PKI kembali menyadarkan semua pihak bahwa banyak anak-anak yang menjadi korban atas peristiwa yang tidak mereka ketahui.

Namun Ning sadar, ia harus tetap bertahan, ia tak boleh menyerah begitu saja dengan keadaan yang memang kala itu kurang menguntungkan baginya. Sejak saat itu Ning hidup dalam pelarian. Ia sering berpindah-pindah tempat atau hidup berkelana.
Salah satu peristiwa yang hingga kini masih membekas dalam ingatannya adalah ketika Ning bermalam di terminal bis Cililitan bersama sang kakak. “Waktu itu kami hanya berbekal salak lima buah. Sampai sekarang kalau saya ulang tahun, kakak saya selalu memberikan lima buah salak,” kenang ibu enam anak itu. Ning menambahkan, salak yang diberikan tersebut untuk mengingatkannya akan masa-masa sulit di waktu lampau.

Dibanding saudara-saudaranya yang lain, Ning sebenarnya termasuk beruntung karena masih sempat mengenyam pendidikan formal. Kala duduk di bangku SMP, karena kesulitan biaya, Ning tidak mampu membeli buku tulis dan buku pelajaran. Meskipun begitu, semangatnya untuk terus bersekolah tak pernah redup. Ning tak kehabisan akal. Untuk mengejar ketertinggalan pelajaran dari teman-teman sekelasnya, ia meminjam buku temannya untuk kemudian disalin dengan menggunakan kertas bekas.

Jika sekarang ia telah dikenal sebagai sosok yang cukup berpengaruh, mungkin tak akan ada yang menyangka jika di masa lalunya ia sempat tinggal di bekas kandang sapi. Cerita pilu itu terjadi ketika ia hidup dalam pengembaraannya. Kandang sapi milik Haji Aman yang tinggal di Kuningan Timur, Jakarta Selatan memang sempat menjadi tempatnya bernaung. Untuk menutupi sekeliling kandang yang menjadi rumahnya itu, Ning mengumpulkan seng dan triplek bekas. “Waktu itu saya dikasih ikan asin sama Pak Haji. Sebelum saya makan, ikan itu saya jemur terlebih dahulu. Tapi ikan yang waktu itu jadi makanan istimewa saya dibawa kucing. Saya lihat kucing yang masih makan ikan saya itu, terus saya kejar dan timpuk sampai kucing itu mati,” kata Ning.

Tinggal di bekas kandang sapi adalah satu dari sekian banyak cerita menarik seputar perjuangan seorang Ribka Tjiptaning dalam bertahan hidup. Dari mulai menjadi pengamen di wilayah Senen hingga menjadi pencopet, pernah dilakoninya. “Pencopet itu punya perjanjian kalau dompet itu jangan ditaruh di sebelah kanan tetapi di sebelah kiri. Karena kalau ditaruh sebelah kiri mereka tidak berani mencopet, karena yang tahu itu hanya keluarga copet atau dia sendiri seorang pencopet,” kata Ning sedikit bercanda.

Advertisement

Namun Ning menuturkan, meskipun tercela tapi ada nilai positif yang dapat diambil dari kehidupan para preman di jalan raya. Menurutnya, preman sangat tinggi loyalitas, kejujuran dan komitmennya terhadap temannya. Ini sangat berbeda dengan teman-teman di sini (DPR), dikit-dikit merapat (sesuai kepentingannya),” sindir Ning.

“Kalau mereka (preman), tidak berani mengambil jatah hasil copetan bersama karena percaya adanya tulah (bencana). Itu artinya belajar jujur. Karena itu, kalau dasarnya preman, masuk politik maka hasilnya akan bagus, menjadi konsisten, komitmen dengan kawan dan organisasi,” kata Ning.

Meskipun kerap berpindah-pindah tempat tinggal, bahkan sempat tinggal di bekas kandang sapi, hal itu tak sedikit pun mengendurkan semangat Ning untuk terus maju. Keuletan dan tekadnya yang bulat pulalah yang akhirnya membuat prestasi belajar Ning mengagumkan.

Semasa sekolah, ia dikenal sebagai murid yang pintar karena selalu menjadi juara kelas. Karena prestasi belajar Ning yang jauh melampaui teman sebayanya, Ning mendapat simpati dari para guru di sekolahnya dengan dispensasi uang sekolah.

Setelah merampungkan pendidikannya di SMP pada tahun 1975, Ning melanjutkan studinya ke SMA Negeri 14 Cililitan, Jakarta Timur. Saat duduk di bangku SMA, yang bersedia menjadi wali murid adalah orang yang menolongnya saat bermalam di terminal Cililitan yang juga sahabat ayahnya yaitu Om Tjip.

Perjalanan hidup masih sangat panjang untuk dilalui Ning. Beban berat yang dipikul membuat Ning mencoba mencari penghasilan tambahan untuk tetap bisa bertahan hidup dan meneruskan pendidikan. Pada saat itulah, ia mulai mengenal dunia jalanan dengan menjadi pengamen di terminal bis dalam kota Cililitan. Kegigihan Ning dalam mengais rejeki tak hanya dilakukannya dengan mengamen. Tak tanggung-tanggung, profesi sebagai kondektur bis MDT jurusan Blok-M-Cililitan pun dilakoninya demi sesuap nasi.

Namun karena tuntutan hidup yang kian mendesak termasuk agar dapat meneruskan sekolahnya, Ning terpaksa terjun ke dunia hitam dengan menjadi pencopet. Padahal pekerjaan yang dijalaninya tergolong berisiko karena bila ia sampai tertangkap maka bui ataupun bogem mentah dari masyarakat akan mendarat di tubuhnya. “Saya mencopet karena terpaksa harus bayar uang sekolah,” jelasnya.

Ning sempat mengutarakan tekad kerasnya untuk terus bersekolah pada ibundanya. Sejak kecil Ning telah memupuk impiannya untuk menjadi seorang dokter dan oleh sebab itu ia sangat berharap dapat meneruskan pendidikan di fakultas kedokteran. Namun, karena keadaan yang serba sulit, keinginannya itu ditanggapi dengan nada pesimis oleh sang ibu.

Tapi Tuhan berkata lain, keberuntungan menghampiri Ning saat ia bekerja sebagai tukang pel di Gereja Bethel. Waktu itu Ning bertemu dengan Letnan AURI Soewito. Melihat ketekunan Ning dalam bekerja serta tekad kerasnya untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran membuat Soewito menawarkannya untuk melanjutkan jenjang pendidikannya ke universitas.

Tak ada kata yang pantas untuk menggambarkan suasana hati Ning saat itu selain kebahagiaan yang tiada terkira. Doanya terkabul, tahun 1978 Ning berhasil diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI). Ning merampungkan kuliahnya pada tahun 1990. Kelulusannya memang jauh lebih lama dari kawan seangkatannya, hal itu disebabkan keterlibatannya di organisasi pemuda. Ketekunan Ning membuahkan hasil dengan tercapainya gelar dokter yang sangat didambakannya. Di tengah cemoohan dari saudara dan kerabat terdekatnya, Ning berhasil membuktikan dengan keberhasilannya meraih gelar dokter.

Setahun setelah selesai kuliah, tepatnya tahun 1991, Ning mulai menerapkan ilmu kedokterannya dengan bekerja sebagai dokter di Rumah Sakit Tugu Ibu. Masih segar dalam ingatannya, honor pertama yang diterimanya pada awal tugas sebagai dokter yakni sebesar Rp 7.500 per hari tanpa mendapat uang makan dan transport.

Pada tanggal 26 Maret 1992, istri Sigit Herlambang ini berhasil membuka klinik kesehatan yang diberi nama Klinik Waluya Sejati Abadi di bilangan Ciledug, Tangerang. Modal awalnya ia dapat dari pinjaman seorang teman tanpa bunga. Ning tak memerlukan waktu yang lama dalam mengembangkan klinik yang didirikannya dengan berhasil membuka cabang di daerah Petukangan, Jakarta Selatan. Dari hasil kerja kerasnya dalam mengelola klinik itulah, Ning akhirnya dapat menyicil sebuah rumah.

Perkenalannya dengan dunia politik diawali ketika Ning berkenalan dengan tiga orang aktivis muda di Jakarta yang giat menentang pemerintahan Orde Baru. Awalnya ketiga orang tersebut mendatangi kliniknya untuk berobat. Perjuangan mereka, menurut Ning, paling tidak membuka mata masyarakat Indonesia untuk bisa tampil dalam pentas politik tanpa dihantui rasa takut.

Banyaknya aktivis yang datang ke kliniknya untuk berobat menimbulkan kecurigaan dari aparat keamanan. Sejak saat itu kliniknya selalu diawasi bahkan hingga saat ini terutama menjelang peringatan Hari Buruh Sedunia. Terlebih ketika para aktivis muda tersebut banyak yang terluka ketika berdemonstrasi di Kedutaan Belanda. Ketika itu para aktivis yang terluka dibawa ke kliniknya, sampai ada satu aktivis yang ditangkap di klinik miliknya ketika sedang berobat.

Karena alasan semakin tingginya kegiatan aktivis, klinik yang didirikan Ning dengan dana pinjaman itu terpaksa ditutup. Aparat terkait menduga akan ada resolusi di klinik tersebut. “Mereka menganggap di klinikku akan ada resolusi dan anak-anak PRD dirawat di Ciledug, juga anak-anak anti Menwa, kalau berantem mereka dibawa ke klinikku, terang Ning.

Ning mengakui, saat itu kliniknya juga pernah menyembunyikan buronan Timtim Xanana dkk. Bahkan saat Xanana dan kawan-kawan di penjara dan tidak diperbolehkan mendapat obat-obatan saat sakit, akhirnya Ning memberanikan diri memberikan obat untuknya. “Saat kemerdekaan Timtim saya mendapat undangan VIP, bahkan Panglima tentaranya Xanana saat itu, sempat kita bela-bela juga,” ungkapnya.

Cobaan tak berhenti sampai di situ saja. Klinik Ning juga pernah dikepung tentara sebanyak tiga truk. Mereka kemudian memaksa masuk. Kedatangan para tentara itu menimbulkan ketakutan dari para dokter dan suster. “Mereka takut dan lari semua menghadapi tentara,” kata Ning.

Namun Ning tak gentar, dengan memberanikan dirinya, Ning menemui para aparat. Di saat yang bersamaan, seorang anak Ning yang kebetulan saat itu berada di klinik, bertanya kepada aparat. “Om mau menangkap mama saya yah?” kata bocah yang saat itu masih duduk di bangku kelas 1 SD. Mendengar celoteh polos dari anak ke-4 Ning itu, tentara tersebut kemudian menjawab, “Om temannya mama,” katanya.

Anak Ning kemudian berkata, “Mama tidak punya teman yang bersepatu (boot PDL)”. Mendengar perkataan sang buah hati, seketika airmata membasahi pipi Ning. Ia menangis karena teringat pada peristiwa yang hampir sama dengan kejadian di masa kecilnya saat orangtuanya diperiksa aparat.

Masa lalunya yang hitam dan didikan yang diberikan sang ayah untuk selalu berpihak kepada rakyat akhirnya menarik minat Ning untuk merealisasikan tekadnya dalam membela kaum lemah dengan terjun ke dunia politik. Sebelum terjun ke dunia politik, ia selalu terngiang pesan bundanya yang kala itu mengharuskan dirinya untuk siap dibui, dibuang, diburu dan dibunuh. “Biasanya orang akan menjadi pengkhianat saat diburu (dikejar-kejar) dan dibuang seperti dibuang dari keluarga besar dan anak-anak marah dengan aktivitas politik kita, sedangkan kalau dibui itu sudah divonis,” tuturnya.

Sepak terjangnya sebagai politisi diawali dengan keterlibatannya pada organisasi massa Pemuda Demokrat. Baru kemudian pada tahun 1983, Ning masuk ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Lima tahun bergabung dengan PDI, Ning mulai diberi kepercayaan untuk menduduki jabatan sebagai Ketua Ranting PDI Kelurahan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Totalitasnya sebagai politisi ditunjukkannya dengan semangat dan tekad berpolitik yang kuat. Sebagai bukti, ia tak pernah absen ketika pemilihan-pemilihan di partai berlambang banteng itu. “Meskipun tidak terpilih menjadi ketua, setiap ada pemilihan pimpinan organisasi saya selalu ikut,” tuturnya. Belakangan, berkat keuletannya, saat Megawati Soekarnoputri terpilih menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pada tahun 1993, Ning dipilih untuk menduduki posisi Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Kodya Tangerang.
Cobaan kembali menghadang ketika tahun 1996 PDI mengalami dualisme kepemimpinan. Saat itu Ning menjadi salah seorang yang memimpin aksi demonstrasi menentang kepemimpinan Suryadi yang dinilai merupakan boneka pemerintah Orde Baru.

Konflik kepemimpinan pada partai yang identik dengan warna merah itu kemudian berujung pada meletusnya tragedi berdarah 27 Juli 1996. Peristiwa kelam itu akhirnya membuat nama Ning masuk dalam daftar pencarian orang. Buntut peristiwa itu, pada tanggal 14 Agustus 1996, Ning dijemput paksa oleh aparat dan baru dilepaskan tiga hari kemudian, pada 17 Agustus 1996 bertepatan dengan HUT RI ke 51.

“Seharusnya, itu kan sudah penahanan bukan lagi interogasi saja. Bahkan Munir saat itu, membuat surat tegas teguran kepada Pangdam Silliwangi dan Pangdam Jaya. Munir juga membuat dan menulis spanduk di Klinik Waluya Sejati Abadi, yang menyatakan tentara tidak boleh masuk ke klinik karena klinik rakyat namun mereka tetap masuk saja,” tandas Ning. Ribka Tjiptaning memang memiliki hubungan yang sangat akrab dan dekat dengan aktivis HAM almarhum Munir. Munirlah yang menjadi kuasa hukum Ning saat dirinya mengalami tekanan dari para aparat.

Akibat aktivitas politiknya yang tinggi, Ning sering diinterogasi dan bahkan ditahan oleh aparat. Hal tersebut sempat membuat Ning menjadi sedikit trauma dan takut mengalami penculikan oleh oknum aparat. “Saya sempat kaget dan sering memakai sepatu kalau sedang tidur,” katanya.

Perjuangan Ning untuk duduk di kursi parlemen juga dirasa teramat berat. Meskipun rintangan yang harus dihadapinya tak mudah, bahkan dirinya menyadari tidak akan lolos, Tjiptaning tetap datang dan mengikuti penelitian khusus (Litsus) di Rindam, Condet. “Saya tetap datang dan ikut walaupun saya tahu tidak akan lolos,” jelasnya. Dalam perjalanannya, karena aktivitasnya, ia kerap berhadapan dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Polri, Badan Intelejen ABRI (BIA).

Penantian Ribka Tjiptaning untuk dapat terjun ke parlemen semakin mendekati kenyataan ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden Republik Indonesia. Gus Dur kala itu mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan litsus. Hal tersebut bak angin segar bagi Ning. Dengan kebijakan yang dikeluarkan presiden RI ke-4 itu, langkah Ning untuk lebih nyata lagi berkarya di dunia politik semakin mulus.

Ketika Pemilu 2004 bergulir, Ning maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ning saat itu mendapat nomor urut dua dari daerah pemilihan Jawa Barat III, tepatnya wilayah Sukabumi dan Cianjur. Ning merasa pada waktu itu perjuangannya cukup berat karena menurutnya daerah pemilihannya bukan basis pendukung partainya.

Walau demikian, Ning tetap konsisten dalam perjuangannya. Dedikasinya dalam membela masyarakat lemah membuat Ning lebih mudah dikenal masyarakat. Bahkan dalam kampanyenya untuk merebut simpati masyarakat, Ning memasang foto saat ia memeriksa warga masyarakat. “Orang-orang melihat foto itu, dan mereka bilang ini bu dokter,” katanya seraya tertawa riang mengingat hal tersebut.

Hasil dari semua cobaan hidup yang dilaluinya ternyata berbuah manis dengan diangkatnya Ribka Tjiptaning menjadi Ketua Komisi IX DPR membidangi masalah Kesehatan. Sikap Ning yang keras ternyata belum bisa dilepasnya meskipun telah menjadi Ketua Komisi IX DPR.

Salah satu sikapnya yang keras adalah tidak hadir pada saat pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ia menyatakan tidak takut di tegur Partai ataupun Fraksinya atas sikap tersebut. “Saya tidak tahu kalau Bu Mega juga tidak datang,” kata aktivis yang dekat dengan para buruh itu. Meskipun telah duduk di Parlemen, Ning tetap menjaga idealismenya dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. “Politik atau parpol itu bukan tujuan kepentingan tetapi alat perjuangan rakyat,” katanya. e-ti | muli, red

Data Singkat
Ribka Tjiptaning, Anggota DPR (2004-2009) / Tegas Suarakan Kebenaran | Direktori | Partai, DPR, dokter, PDI Perjuangan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini