Wartawan Pejuang HAM
Maria Hartiningsih
[DIREKTORI] *Peraih Yap Thiam Hien Human Rights Award 2003 Untuk pertama kalinya seorang wartawan mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Human Rights Award 2003. Wartawan senior harian Kompas, Maria Hartiningsih dinilai sebagai jurnalis yang sangat konsisten dalam penulisannya memperjuangkan hak asasi manusia, yang penuh dengan kepekaan dan komitmen membela mereka yang lemah dan terpinggirkan.
Perempuan yang akrab dipanggil Maria oleh teman-temannya atau Mbak Ning oleh orang-orang terdekatnya, selalu serius dalam menggeluti bidang yang ia harus tangani. Namun pada setiap bidang yang ditanganinya itu, ia tidak pernah melepaskan unsur manusianya, terutama mereka yang harus menjadi korban.
Maria misalnya, pernah bertugas lama meliput bidang pembangunan perumahan. Ia bukan hanya dekat dengan para menteri seperti Siswono Yudho Husodo ataupun Akbar Tandjung, tetapi juga dengan kalangan pengusahanya mulai dari Ciputra, Enggartiasto Lukita, hingga Edwin Kawilarang. Namun kedekatan itu tidak pernah mengurangi kekritisannya. Ia sangat keras mengkritik pemerintah yang tidak menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat kecil yang membutuhkan naungan yang pantas ataupun para pegawai negeri sipil yang praktis dilupakan untuk bisa memperoleh rumah yang harga yang terjangkau.
Bukan hanya sekadar mengkritik, Maria selalu memberikan masukan-masukan berdasarkan pengetahuan yang ia miliki.
Bagi saya, Maria merupakan sosok wartawan yang selalu memberi inspirasi. Sebab, ia memang bukan tipe wartawan yang hanya tahu kulit dari persoalan yang ia sedang geluti, tetapi juga dengan kedalaman. Ia tipe orang yang bekerja sekadar dengan tenaga, waktu, dan pikiran, tetapi juga dengan perasaan,” ujar Siswono menilai sosok Maria, yang sejak menjadi Menteri Perumahan Rakyat pada tahun 1988 selalu menjadi lawan dalam berpikir.
Ketika ditugaskan untuk meliput sektor pariwisata, Maria dengan sengaja memilih untuk tidak hanya melihat sisi glamour dari dunia pariwisata itu. Ia juga mengingatkan sisi negatif dari pariwisata, yang juga menimbulkan maraknya perdagangan anak dan perempuan untuk dijadikan pekerja seks.
Maria sangat tidak suka hanya melihat pariwisata dari sisi perolehan devisa semata. Dengan data yang kuat dan penggumpulan fakta di lapangan, ia mampu menunjukkan bahwa miliran dollar devisa yang ada di atas kertas, seringkali tidak dinikmati oleh negara berkembang dan bahkan negara berkembang justru dirugikan.
Cara penyampaian yang apa adanya, seringkali membuat merah telinga dan marah para pelaku dunia pariwisata. Namun Maria tidak pernah mundur pada sikapnya dan terus menyuarakan keberpihakannya kepada mereka yang hanya menjadi korban.
Begitu banyak bidang yang pernah diliputkan selama kiprahnya sejak tahun 1985 menjadi wartawan. Mulai dari urusan perumahan rakyat, pariwisata, lingkungan, hingga isu gender. Namun inti dari semua bidang liputannya itu adalah kemiskinan dan hak dari semua orang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Ketika sudah sampai kepada persoalan itu, maka bagi Maria tidak ada kata menyerah. Tahun 1997, bersama rekan wartawan Sjamin Pardede, ia melihat dari dekat kehidupan anak-anak di Deli Serdang, yang bekerja di jermal-jermal di tengah laut untuk menangkap ikan teri. Maria ingin mengingatkan betapa ikan teri Medan, yang begitu enak dinikmati itu ternyata berasal dari usaha keras anak di bawah umur, yang bukan hanya harus meninggalkan keluarganya, tetapi juga mempertaruhkan nyawa di tengah hantaman ombak dan kehidupan yang sangat keras.
Sekaligus Maria ingin mengingatkan akan hak anak untuk bermain dan mendapatkan pendidikan yang memadai. Atau kalau pun tidak ada pilihan bagi anak-anak itu, janganlah tenaga yang mereka keluarkan tidak dihargai sebagaimana mestinya.
DI tengah ketegaran dan sikapnya yang selalu kukuh, putri pasangan almarhum Hartono dan almarhumah Roepiyatie itu tetap seorang perempuan. Ia bisa menitikkan air matanya, ketika dihadapkan pada keadaan yang mengharukan, apalagi ketika melihat kemiskinan dan ketidakadilan.
“Maria merupakan tipe orang yang bisa bergembira ketika ada momen yang menyenangkan, tetapi terharu ketika ada sesuatu yang menyentuhkan. Saya pernah melihat dia menitikkan air matanya saat ia melihat sekumpulan anak-anak yang hanya bisa berlarian di kawasan yang kumuh, dengan perut yang buncit dan kaki yang telanjang,” ujar Siswono mengenang Maria.
Siswono tidak merasa heran apabila Maria kemudian mendapatkan Penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan atas pengabdian di bidang hak asasi manusia. “Maria pantas mendapat perhargaan itu karena ia menjalankan tugasnya sebagai wartawan dengan penuh dedikasi,” ujar Siswono.
Dewan Juri Yap Thiam Hien Award 2003 yang diketuai oleh Prof Soetandyo Wigjosoebroto dengan anggota Prof Dr Azyumardi Azra, Dr Harkristuti Harkrisnowo, dan Asmara Nababan SH , menjelaskan, penghargaan itu diberikan karena Maria secara konsisten melalui tulisan-tulisannya memperjuangkan ide-ide kemanusiaan dan hak asasi manusia. Maria dinilai juga secara sungguh-sungguh mendorong jurnalisme damai.
Menurut dewan juri, Maria adalah wartawan yang mampu mendayagunakan peran dan pribadinya dalam tugas mendiseminasi ide kemanusiaan dan hak manusia yang asasi.
Maria adalah seorang jurnalis yang ikut pula mendorong peace journalism yang belum banyak diikuti oleh jurnalis lainnya. Ia terbilang konsisten dalam penulisannya, bukan hanya yang berkenaan dengan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan soal dunia dan jendernya sendiri, tetapi juga hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan dunia manusia yang selalu menjadi korban kekerasan dan kerasnya hidup di dunia ini.
Maria terbilang sosok seorang profesional yang cukup konsisten dalam perjuangannya sebagai wartawan dan lewat tulisannya bahwa hak perempuan adalah hak asasi manusia. Tak hanya menulis soal kekerasan terhadap perempuan, Maria juga memiliki kepedulian terhadap perilaku remaja, HIV/ AIDS, perdagangan anak dan perempuan, kekerasan pemilu, hingga ihwal demokrasi dan civil society.
“Maria adalah seorang jurnalis yang tidak pernah lelah mengingatkan kita akan masih banyaknya kekerasan dalam kehidupan kita ini. Ia pun dapat mengajak kita untuk melihat isu yang berkaitan dengan kehidupan manusia korban. Di tengah kehidupan jurnalisme yang lebih banyak dan lebih suka menyebarluaskan tulisan mengenai kekerasan dengan bahasa yang sering jauh dari kalimat santun, jurnalisme yang dianut Maria secara konsisten ini sesungguhnya belum banyak,” kata Soetandyo.
Penghargaan Yap Thiam Hien diberikan pertama kali tahun 1992 dan diterima Haji Muhidin, Johny Simanjuntak, dan HJC Princen. Penerima lainnya adalah Marsinah (1993), Trimoelja D Soerjadi (1994), petani Jenggawah dan Ade Rostina Sitompoel (1995), Romo Sandyawan Sumardi (1996), Kontras dan Farida Hariyani (1998), Sarah Lerry Mboeik dan Mama Yosefa Alomang (1999), Urban Poor Consortium (2000), Suraiya Kamaruzzaman dan Ester Jusuf Purba (2001), dan terakhir Wiji Thukul (2002). Tahun 1997 tidak ada pemberian penghargaan.
Penetapan Maria sebagai penerima Penghargaan Yap Thiam Hien disambut positif kalangan wartawan. Maria merupakan wartawan pertama yang menerima penghargaan sejak penghargaan itu diberikan tahun 1992.
Pemimpin Redaksi Sinar Harapan Aristides Katoppo secara khusus menelepon khusus Kompas untuk menyampaikan selamat. “Dia pantas untuk mendapatkan itu. Kalau pun saya menjadi salah satu jurinya, I would vote for her,” ujar Katoppo. TI