
[DIREKTORI] Wartawan senior Kompas yang low profile ini tak hanya berpengalaman menulis dan memikul sejumlah jabatan profesi, tetapi juga dipercaya untuk memimpin Universitas Multimedia Nusantara (UMN) periode 2011-2014. Melalui lembaga pendidikan yang dipimpinnya, penyandang gelar master bidang teknologi militer dan doktor bidang ilmu politik ini punya obsesi besar yakni turut mendorong Indonesia menjadi negara berbasis industri kreatif.
Hobi menulis dan peka terhadap masalah yang tengah terjadi di masyarakat membulatkan tekad Ninok Leksono untuk menjadi seorang jurnalis. Maka setelah lulus menuntut ilmu astronomi di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1975, laki-laki bertubuh subur ini mencoba peruntungannya di harian Kompas. Bekerja di dunia pemberitaan menuntut Ninok untuk menguasai berbagai bidang ilmu termasuk ilmu politik. Untuk itu, ia mengambil kuliah S-3 jurusan ilmu politik di Universitas Indonesia. Sebelumnya, Ninok mengambil gelar master ilmu perang dari Departement of War Studies King’s College, London.
Bisa dibilang, selama belasan tahun menekuni profesi sebagai wartawan, laki-laki kelahiran Semarang, 30 Januari 1956 ini sudah kenyang berpindah-pindah posisi dan jabatan di Kompas. Ia pandai menulis soal iptek, tajuk rencana termasuk mengisi rubrik seni budaya seperti resensi musik, tari, dan drama di Kompas.
Suami dari Rini ini pernah dipercaya menduduki posisi penting yakni Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas dan Pemimpin Redaksi Kompas Cyber Media karena dianggap memiliki loyalitas serta menjunjung profesionalisme dalam bekerja. Kepekaannya sebagai wartawan yang tak segan-segan mengkritisi kebijakan pemerintah, menyumbangkan berbagai pikiran yang bermanfaat bagi orang banyak membuatnya berhasil meraih sejumlah penghargaan diantaranya penghargaan dari Unesco – Dewan Pers tahun 2009. Belum lagi sumbangannya dalam dunia ilmu pengetahuan sudah dihargai lewat penghargaan Sarwono Prawirohardjo dari LIPI. Ia juga dipercaya menjadi penasihat di kalangan TNI.
Prestasi demi prestasi yang ia ukir tak sekadar membuat namanya harum sebagai jurnalis. Nama anggota Dewan Riset Nasional (DRN) ini juga berkibar dalam dunia ilmu pengetahuan. Mungkin dengan alasan itulah, pemilik surat kabar Kompas, Jacob Oetama menunjuk Ninok untuk memimpin Universitas Multimedia Nusantara (UMN) periode 2011-2014, menggantikan ilmuwan Profesor Yohanes Surya.
Prestasi demi prestasi yang ia ukir tak sekadar membuat namanya harum sebagai jurnalis. Nama anggota Dewan Riset Nasional (DRN) ini juga berkibar dalam dunia ilmu pengetahuan. Mungkin dengan alasan itulah, pemilik surat kabar Kompas, Jacob Oetama menunjuk Ninok untuk memimpin Universitas Multimedia Nusantara (UMN) periode 2011-2014, menggantikan ilmuwan Profesor Yohanes Surya. UMN yang berdiri sejak 2007 ini merupakan universitas berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) yang didirikan oleh Kelompok Kompas Gramedia bertempat di Gading Serpong, Tangerang.
Meski berprofesi sebagai wartawan, Ninok sudah terbiasa mengajar, memberi kuliah, dan membimbing mahasiswa dalam menulis skripsi. Dia mengajar di Universitas Indonesia (UI), Universitas Pertahanan, satu perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Pertahanan, dan mengajar di UMN sejak universitas tersebut mulai menerima mahasiswa tahun 2007. “Memang disadari menjadi rektor itu tidak ringan. Dia itu berfungsi ke dalam dan ke luar. Ke dalam itu menjamin agar proses belajar mengajar menjadi lancar sedangkan ke luar harus membuat nama UMN lebih harum dan lebih dikenal,” jelasnya seperti dikutip dari Majalah UMN Insight.
Mengemban tugas sebagai rektor bukan perkara mudah bagi wartawan yang hobi menggesek alat musik biola dan pernah menulis buku Twilight Orchestra terbitan Gramedia Pustaka ini. Ia ingin mengembangkan kecerdasan multidimensi sesuai dengan misi yang dicanangkan di UMN. Sedangkan visinya adalah mendorong bangsa ini membangun industri kreatif. Hal itu cukup beralasan mengingat ekonomi Indonesia masih dikuasai oleh pola-pola ekonomi tradisional yang mengandalkan minyak bumi, menebang hutan, atau menanam kelapa sawit. “Memang ini semua oke saja dilakukan tetapi tidak seimbang. Orang yang bekerja di pola ekonomi tradisional seperti membuka warteg saja,” kata peraih penghargaan Adhiwarta Rekayasa dari PII (Persatuan Insinyur Indonesia) ini.
Menurut Ninok, devisa Indonesia sudah tembus 3 miliar dolar di tahun 2008 dan menariknya, 27 triliun rupiah setiap tahunnya teralokasi untuk membeli handphone tanpa bisa berkontribusi sedikit pun menghasilkan produk industri kreatif. Padahal bangsa ini bisa kaya tidak hanya dari sektor minyak. Ninok berkaca pada para pendiri Google, Yahoo dan Oracle yang bisa meraih kesuksesan besar. Oleh sebab itu, ia berharap, lembaga pendidikan yang dipimpinnya tersebut bisa mencetak ahlinya multimedia dan jagonya industri kreatif. bety, cid, red