Motivator Pergerakan Nasional
Sri Susuhunan Pakubuwono X
[PAHLAWAN] Raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893-1939 ini berperan aktif dalam pergerakan nasional dengan membantu pergerakan Budi Oetomo dan pendirian Sarekat Islam. Ia menunjukkan dukungannya baik berupa fasilitas, materi, maupun moral. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 2011.
Putra pasangan Pakubuwono IX dan permaisuri Raden Ayu Kustiyah ini lahir di Surakarta, 29 November 1866 dengan nama Raden Mas Malikul Kusno. Konon, sebelum Raden Mas Malikul Kusno lahir, hubungan antara sang ayah dengan pujangga Ranggawarsita sedang tidak harmonis. Cerita berawal saat Ayu Kustiyah baru mengandung, Pakubuwono IX kemudian bertanya pada Ranggawarsita mengenai jenis kelamin calon anaknya itu. Ranggawarsita, pujangga yang pertama kali mempopulerkan istilah Zaman Edan itu lalu menjawab bayi Pakubuwono IX kelak akan lahir hayu.
Mendengar jawaban Ranggawarsita, Pakubuwono IX pun kecewa lantaran mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia amat berharap bisa mendapat putra mahkota dari Ayu Kustiyah untuk meneruskan tahtanya. Saking amat berharap dikaruniai anak lelaki, Pakubuwono IX yang bernama asli Raden Mas Duksino itu menjalani puasa atau tapa brata selama berbulan-bulan. Hingga akhirnya, Pakubuwono IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset karena Ayu Kustiyah melahirkan seorang putra.
Ranggawarsita kemudian menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau cantik, tetapi singkatan dari rahayu, yang artinya selamat. Mendengar jawaban tersebut, Pakubuwono IX merasa dipermainkan karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat. Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwono IX dengan pengarang sastra Jawa Serat Kalatidha itu sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwono VI dengan keluarga Yasadipura.
Pada 16 Maret 1893, Pakubuwono IX mangkat. Dua minggu kemudian, tepatnya 30 Maret 1893, Raden Mas Malikul Kusno naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Pakubuwono X. Masa pemerintahan suami Ratu Hemas itu ditandai dengan suasana politik kerajaan yang cenderung stabil serta kemegahan tradisi Kasunanan Surakarta. Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun melalui simbol budayanya, menantu Raja Hamengkubuwono VII itu tetap mampu mempertahankan wibawa kerajaan. Kepemimpinan ayahanda GKR Pembajoen itu juga merupakan penanda babak baru bagi Kasunanan Surakarta dari kerajaan tradisional menuju era modern.
Dalam hal integrasi nasional, Pakubuwono X secara rutin mengunjungi dan melakukan hubungan baik dengan berbagai lapisan masyarakat di Maluku, Nusa Tenggara Barat, Bali, Madura, Banjarmasin, Makassar, Lampung, Palembang, Riau, dan Medan. Dalam setiap kunjungannya, ia tak lupa membangkitkan semangat kebangsaan serta menekankan arti penting kesadaran multikulturalisme, toleransi, dan kebersamaan.
Dalam pergerakan nasional yang bertujuan mengusir Belanda di awal abad ke 20, Pakubuwono X berperan sebagai seorang motivator di balik layar yang turut aktif dalam mendukung perkumpulan atau organisasi politik, salah satunya Sarekat Islam cabang Solo. Pakubuwono X juga mendorong anggota dan kerabat keraton agar belajar untuk memperjuangkan kemerdekaan. Ia menyiapkan anak, para menantunya, serta sentono dalem untuk aktif berperan dalam organisasi pergerakan nasional.
Saking besarnya pengaruh seorang Pakubuwono, saat berbagai wilayah di Tanah Air mengibarkan bendera Belanda, Surakarta menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang bebas mengibarkan bendera merah putih yang saat itu mendapat sebutan bendera Gula Kelapa.
Dalam hal integrasi nasional, Pakubuwono X secara rutin mengunjungi dan melakukan hubungan baik dengan berbagai lapisan masyarakat di Maluku, Nusa Tenggara Barat, Bali, Madura, Banjarmasin, Makassar, Lampung, Palembang, Riau, dan Medan. Dalam setiap kunjungannya, ia tak lupa membangkitkan semangat kebangsaan serta menekankan arti penting kesadaran multikulturalisme, toleransi, dan kebersamaan.
Reputasinya tak hanya diakui di dalam negeri namun juga mancanegara. Hal itu ditandai dari banyaknya penghargaan yang diperolehnya dari beberapa negara asing, antara lain Bintang Grootkruis koninglijke Orde dari Raja Kamboja, Bintang Emas dari Raja Wilhelm II dari Pruisen, Bintang Commander Met de ster dari Raja Hongaria, Bintang Orde Van Leopold dari Raja Belgia, dan Bintang Grootkruis Oranye Nassau dari Ratu Belanda.
Pakubuwono X meninggal di Surakarta pada 1 Februari 1939 dan dimakamkan di pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. Pemerintahannya kemudian diteruskan oleh putranya, Raden Mas Antasena, yang bergelar Pakubuwono XI. Oleh rakyatnya, Pakubuwono mendapat sebutan sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yang terakhir. Tahun 2009, Pemerintah RI menganugerahkannya Bintang Mahaputera Adipradana. Dua tahun kemudian, ia mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Gelar tersebut diberikan di Istana Negara kepada cucu Pakubuwono X yang juga dikenal sebagai pengusaha kosmetik, Dr. BRA. Mooryati Soedibyo.
Gelar kehormatan ini sangat disyukuri dan dibanggakan oleh kerabat dan sentono dalem Karaton Surakarta Hadiningrat, masyarakat Surakarta serta Jawa Tengah pada umumnya,” kata Mooryati seperti dikutip dari situs Suara Karya. Selain itu, masih menurut Mooryati, gelar pahlawan nasional yang dianugerahkan pada kakeknya melahirkan kewajiban bagi generasi muda untuk menggali dan mempelajari apa yang sudah dikerjakan serta diperbuat oleh Pakubuwono X.
Menurut pendiri PT Mustika Ratu itu, setidaknya ada lima alasan yang membuat Pakubuwono X pantas dianggap sebagai pahlawan nasional, yakni peran aktifnya dalam perjuangan pergerakan nasional, pelopor pembangunan sosial ekonomi, pendidikan rakyat, pembentukan jati diri bangsa, serta perannya dalam integrasi nasional. Salah satu bukti kepahlawanan Pakubuwono adalah menyatukan trah Mataram yang diceraiberaikan Belanda melalui perkawinan. Diplomasi melalui perkawinan ini cukup ampuh untuk mengendorkan ketegangan keraton di Jawa yang masih dalam satu keturunan.
Pada kesempatan yang sama, praktisi kecantikan yang juga mantan Wakil Ketua MPR periode 2004-2009 ini mengatakan, pemerintahan kakeknya dalam rentang 46 tahun lamanya juga mewariskan sarana dan prasarana publik yang masih kokoh dan bisa dinikmati masyarakat hingga saat ini, seperti Stadion Sriwedari stadion terbesar dan termegah bertaraf internasional yang dibangun pada 1933, Taman Hiburan (Kebonrojo) Sriwedari, Tugu Lilin sebagai tugu peringatan pergerakan kaum muda, Jembatan Jurug, Stasiun Kereta Api Balapan, Pasar Klewer-Solo, Pasar Gede Hardjonagoro, pesangrahan, pemandian, istana dan masjid yang hingga saat ini masih berdiri kokoh.
Sementara di bidang pendidikan, ia membangun sekolah umum, madrasah Mambaul Ulum, dan Jamsaren untuk menghapus buta aksara dan kebodohan. Pembentukan jati diri bangsa dilakukan dengan memberi beasiswa untuk menyiapkan putra-putra terbaik bangsa dalam mempersiapkan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. muli, red