Dokter Pembela NKRI

Dr. Moewardi
 
0
1859
Lama Membaca: 3 menit
Dr. Moewardi
Dr. Moewardi | Tokoh.ID

[PAHLAWAN] Ia mengerahkan anggota Barisan Pelopor untuk mengamankan pelaksanaan acara pembacaan teks proklamasi di Pegangsaan Timur, membentuk Barisan Pelopor Istimewa sebagai pengawal pribadi Presiden Soekarno dan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) untuk melawan aksi-aksi antipemerintah yang dilakukan oleh PKI. Perjuangannya terhenti setelah dia diculik dan dibunuh oleh PKI. Hingga kini, jasad dan makamnya tak tahu entah di mana.

Dr. Moewardi lahir di Pati, Jawa Tengah pada 30 Januari 1907. Setamat dari Sekolah Dokter Bumiputera atau STOVIA di Jakarta, Dr. Moewardi memperdalam ilmunya sebagai spesialis THT (telinga, hidung, dan tenggorokan). Berkat keahlian itu, ia dapat menyembuhkan para korban perang terutama pada masa kependudukan tentara Jepang yang banyak menelan korban jiwa.

Semasa hidup, ia aktif berorganisasi. Saat masih bersekolah di STOVIA, ia memasuki organisasi Jong Java. Ia pernah pula menjadi anggota Indonesia Muda. Organisasi pramuka pun dimasukinya dan pernah menjadi pimpinan umum Pandu Kebangsaan yang kemudian berganti nama menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).

Beredarnya kabar mengenai kekalahan Jepang dalam perang Pasifik menimbulkan berbagai spekulasi dan rencana dalam masyarakat. Proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan salah satu rencana yang paling santer di kalangan para pemuda dan pemimpin pergerakan.  Untuk  melaksanakan misinya, sekelompok pemuda yang tergabung dalam Barisan Pelopor kemudian melakukan pengamanan terhadap tokoh-tokoh pemimpin perjuangan seperti Soekarno dan Hatta.

Beberapa hari sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Dr. Moewardi diangkat menjadi pemimpin Barisan Pelopor seluruh Jawa. Pada 16 Agustus 1945, anggota Barisan Pelopor dikerahkannya ke Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Monas) untuk mengamankan para pemimpin perjuangan dan lapangan dari kerusuhan dan ancaman bala tentara Jepang. Sebab menurut rencana, di tempat itulah Proklamasi Kemerdekaan akan diucapkan. Sesudah proklamasi diumumkan, Moewardi membentuk Barisan Pelopor Istimewa sebagai pengawal pribadi Presiden Soekarno. Waktu Kabinet Presidensiil terbentuk, ia diminta untuk menjadi menteri pertahanan, tetapi ditolaknya sebab ingin terus berpraktik sebagai dokter.

Meskipun disibukan dengan kegiatannya dalam kepengurusan organisasi keamanan namun tak lantas membuatnya lupa pada tugas utamanya sebagai dokter. Itu pula yang melatarbelakangi penolakannya saat namanya diusulkan untuk memangku jabatan sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Presidensiil.

Situasi kota Jakarta kembali memanas saat kedatangan tentara sekutu di awal tahun 1946. Ketika masih berada di Jakarta, ia ikut dalam pertempuran melawan Inggris di Klender. Karena kondisi keamanan yang kian rawan, untuk menjaga keselamatan para pemimpin, mereka pun diungsikan ke Yogyakarta dan Barisan Pelopor dipindahkan ke Solo, namanya pun berganti menjadi Barisan Banteng. Cabang-cabang Barisan Banteng dibentuk di daerah-daerah lain.

Dalam setiap pertempuran, Dr. Moewardi setia mendampingi dan mengobati tentara yang terluka. Di tengah rutinitasnya memimpin dan menjaga kesehatan para pejuang, bersama rekan-rekannya sesama dokter, ia masih sempat mendirikan “Sekolah Kedokteran” di Jebres, Solo kemudian pindah ke Klaten.

Sesudah Persetujuan Renville ditandatangani, situasi politik di Tanah Air memanas. Pasukan RI mesti menghadapi tentara Belanda dan Sekutu dengan bekal perlengkapan tempur seadanya. Keadaan negara makin buruk saat Pemberontakan PKI Madiun di bawah komanda Muso dan Amir Syarifuddin terjadi pada tahun 1948. PKI menculik dan membunuh orang-orang yang menjadi lawan politik mereka.

Dalam perjalanan naik andong ke rumah sakit Jebres itulah Dr Moewardi diculik dan dibawa entah ke mana.

Untuk melawan aksi-aksi antipemerintah yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang merupakan anak buah Partai Komunis Indonesia (PKI), Dr. Moewardi membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada Agustus 1948. Sedangkan praktik sebagai dokter tetap dijalankannya. Pada 13 September 1948, ia berangkat ke rumah sakit Jebres untuk melakukan operasi terhadap seorang pasien, walaupun sudah dilarang oleh anggota staf Barisan Banteng.

Advertisement

Dalam perjalanan naik andong ke rumah sakit Jebres itulah Dr Moewardi diculik dan dibawa entah ke mana. Meskipun tidak jelas oleh siapa, namun menurut situasi saat itu, besar kemungkinan kalau Dr. Moewardi telah diculik orang-orang PKI seperti halnya dua orang anak buahnya, yaitu Darmosalimin dan Citromargongso. Dua orang anggota Barisan Banteng itu jenazahnya ditemukan kemudian dimakamkan di Jokotole, sebelah selatan tanggul Surakarta. Namun jenazah dan makam Dr Moewardi belum ditemukan hingga kini.

Atas jasa-jasanya pada negara, Dr. Moewardi dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.190 Tahun 1964, tanggal 4 Agustus 1964. Namanya juga diabadikan sebagai nama rumah sakit yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Moewardi di Solo, Jawa Tengah dan nama jalan di beberapa kota seperti Jakarta (daerah Grogol), Cianjur (bypass), Solo (Kota Barat), Blitar dan Denpasar (Renon).

Menikah

Dr. Moewardi menikahi istri pertamanya Suprapti saat kuliah di STOVIA pada tahun 1932. Pernikahan ini dikaruniai 2 anak bernama Sri Sejati dan Adi Sudarsoyo. Namun, tiga tahun setelah menikah, sang istri tercinta meninggal dunia karena gangguan rahim.

Pada tahun 1939, Dr. Moewardi menikah dengan Susilowati dan dikaruniai lima orang anak bernama Ataswarin Kamarijah, Kusumarita, Cipto Juwono, Banteng Witjaksono dan Happy Anandarin Wahyuningsih. Meski ditinggal mati oleh suami, Susilowati sebagai single parent berhasil mendidik dan membesarkan semua anaknya. Susilowati meninggal dunia pada 1998. Bio TokohIndonesia.com | cid, red (berbagai sumber)

Data Singkat
Dr. Moewardi, Dokter, Pahlawan Kemerdekaan Nasional / Dokter Pembela NKRI | Pahlawan | Pahlawan, dokter, proklamasi, PKI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini