Giat Syiarkan Islam di Pembuangan
Syekh Yusuf Tajul Khalwati
[PAHLAWAN] Menantu Sultan Ageng Tirtayasa ini pernah dibuang ke Sri Langka dan Afrika Selatan karena perjuangannya melawan penjajah Belanda. Selama di pembuangan, pahlawan pejuang kemerdekaan ini giat menyebarkan ajaran Islam.
Syekh Yusuf Tajul Khalwati lahir dengan nama Muhammad Yusuf di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Nama ini diberikan oleh Sultan Alauddin, Raja Gowa, yang juga adalah kerabat ibundanya. Syekh Yusuf dididik menurut tradisi Islam yang kuat. Sejak dini, ia diajarkan Bahasa Arab, fikih, tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya. Sebagai seorang putera keluarga bangsawan, Syekh Yusuf berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya. Pada usia 18 tahun saja, persisnya pada tahun 1644, dia berangkat dari Gowa dengan rencana untuk menunaikan ibadah haji.
Sebelum menuju Mekkah, Syekh Yusuf singgah di Banten. Namun karena sesuatu hal, dia menjadi tinggal di Banten dalam waktu yang agak lama. Keberangkatan menunaikan Rukun Islam yang kelima itu menjadi tertunda hingga lima tahun.
Pada saat tinggal di Banten, Syekh Yusuf bersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Saat itu, Kesultanan Banten sedang bermusuhan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Kesewenang-wenangan kolonial Belanda terhadap pribumi membuat hati Syekh Yusuf merasa terdorong membantu perjuangan. Dia mulai membangkitkan semangat rakyat untuk melawan penindasan tersebut. Itulah awal perlawanannya terhadap kolonial Belanda.
Setelah lima tahun di Banten, akhirnya Syekh Yusuf berangkat ke Mekkah. Selama lima belas tahun dia bermukim di Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam. Tapi kemudian atas permintaan Sultan Ageng Tirtayasa, dia kembali ke Banten pada tahun 1664.
Sultan Ageng mengangkat Syekh Yusuf sebagai penasihat Sultan sekaligus sebagai Mufti (penasihat spiritual) Kerajaan Banten. Bahkan, karena begitu sayangnya Sultan Ageng terhadap Syekh Yusuf, dia dijadikan menantu dengan memberikan putrinya untuk diperistri.
Berkat kedudukan itu, pengaruh Syekh Yusuf semakin besar dalam kancah politik Banten. Kedudukan itu sekaligus membuat Pemerintah Hindia Belanda merasa gerah karena Syekh Yusuf dianggap sebagai tokoh yang bisa membahayakan kedudukan Pemerintah Hindia Belanda di Banten. Apalagi hubungan Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda ketika itu sudah semakin memburuk.
Dalam sejarah perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa sendiri, Sang Sultan sering mengadakan perlawanan terhadap Belanda dengan menghalang-halangi perdagangan orang-orang kolonial tersebut. Bahkan suatu saat Sultan pernah memerintahkan pasukan Banten menyerang kedudukan Belanda di sekitar Jakarta dan Tangerang.
Sebaliknya, Belanda pun berusaha menaklukkan Banten. Dengan politik memecah-belah, Belanda berhasil menghasut Sultan Haji, putra Sultan Ageng sendiri. Akhirnya pada tahun 1682 pasukan Belanda dengan bantuan pasukan Sultan Haji berhasil menduduki istana kesultanan. Sultan Ageng kemudian ditangkap dan dipenjarakan di Jakarta.
Mengetahui pesan-pesan perjuangan tersebut akhirnya Syekh Yusuf dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah Belanda. Tapi hukuman mati tersebut kemudian diubah menjadi hukuman buangan ke Afrika Selatan.
Syekh Yusuf dibantu sebagian pengikut Sultan Ageng melanjutkan perjuangan. Namun dalam suatu kesempatan, Syekh Yusuf tertangkap kemudian dibuang ke Sri Lanka. Syekh bersama keluarganya dibuang pada September 1684.
Selaku orang buangan, Syekh Yusuf tidak boleh bepergian dari pulau pembuangannya. Walaupun begitu, Syekh Yusuf tidak mau hanya merenung dan berdiam diri. Syekh Yusuf aktif mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Bahkan kemudian murid-muridnya ada yang datang dari India Selatan.
Keharuman nama Syekh Yusuf sampai juga ke Tanah Air. Para jemaah haji Indonesia sering mengunjunginya di pulau pembuangan itu saat pelayaran pulang dari Mekkah. Lewat para jemaah haji itu, Syekh menitipkan surat kepada beberapa orang raja di Indonesia. Surat yang umumnya memuat pesan agar para raja itu berjuang membebaskan diri dari kekuasaan Belanda.
Namun tidak semua surat yang dititipkan itu berhasil sampai, sebagian ada yang tercecer bahkan malah jatuh ke tangan Belanda. Mengetahui pesan-pesan perjuangan tersebut akhirnya Syekh Yusuf dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah Belanda. Tapi hukuman mati tersebut kemudian diubah menjadi hukuman buangan ke Afrika Selatan. Syekh Yusuf dan keluarga serta para pengikutnya tiba di Afrika Selatan pada tahun 1694.
Negara Nelson Mandela itu seakan mendapat berkah atas kedatangan Syekh Yusuf sekeluarga. Afrika Selatan menjadi mengenal ajaran Islam sebab Syekh Yusuf-lah orang Indonesia pertama yang membawa dan menyebarkan agama Islam di negeri tersebut.
Lima tahun menjalani hukuman buang di Afrika Selatan, tepatnya pada 23 Mei 1699, Syekh Yusuf meninggal dunia, di Capetown, Afrika Selatan. Syekh Yusuf dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal sebagai Karamah yang berarti keajaiban atau mukjizat. Bahkan, Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, menyebut Syekh Yusuf sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik.
Beberapa tahun kemudian, Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syekh Yusuf dibawa kembali ke Indonesia. Permintaan ini dikabulkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Jasad Syekh Yusuf tiba di Gowa pada 5 April 1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada hari Selasa, 6 April 1705/12 Zulhidjah 1116 H.
Mengingat jasa-jasa yang telah dilakukannya untuk Indonesia maka pada tahun 1995, pemerintah atas nama negara menganugerahkan Syekh Yusuf gelar Pahlawan Nasional. Penganugerahan gelar kehormatan itu tertuang dalam SK Presiden RI No.071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995. Bio TokohIndonesia.com | cid, red (dari berbagai sumber)