Berperan Lahirkan UU Kewarganegaraan
Dr. Saharjo, SH
Ahli hukum penggagas pohon beringin digunakan sebagai lambang Kehakiman dan Kejaksaan ini berperan besar atas lahirnya dua UU Kewarganegaraan (1947 dan 1958) dan UU Pemilihan Umum (1953). Dia pernah dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman, Menteri Kehakiman dalam kabinet Kerja I, II, dan III dan Wakil Perdana Menteri Bidang Dalam Negeri.
Ketika Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, salah satu yang harus dibenahi adalah perangkat hukumnya. Hukum merupakan “aturan main” (rules of the game) yang membuat kehidupan masyarakat menjadi teratur.
Pada saat itulah, seorang ahli hukum bernama Saharjo, SH ambil bagian demi tersedianya perangkat hukum. Ahli hukum kelahiran Solo, 26 Juni 1909 ini berupaya keras untuk melakukan pembenahan besar-besaran.
Awalnya Saharjo memiliki keinginan untuk menjadi dokter dengan belajar di STOVIA. Namun sebelum ia sempat menyelesaikan pendidikan dokter, dia memutuskan untuk pindah ke AMS (Sekolah Menengah Atas) bagian B (Ilmu Pasti dan Ilmu Alam). Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS, dia bekerja sebagai guru di Perguruan Rakyat yang merupakan perguruan nasional.
Perguruan Rakyat banyak mendapat tekanan dari pemerintah Belanda. Namun, tekanan yang datang tetap dihadapi dengan semangat juang tinggi dari para pengajar, tak terkecuali Saharjo. Memasuki tahun kelima menjadi guru, Saharjo bertemu dengan seorang gadis bernama Siti Nuraini yang kelak menjadi istrinya.
Selain mengajar, Saharjo juga dikenal sebagai sosok yang aktif dalam bidang politik. Ia tercatat pernah menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo), bahkan berkat keaktifan dan kepandaiannya, Saharjo diangkat menjadi anggota pengurus besar. Di sela-sela padatnya kegiatan sebagai guru dan aktivis partai, Saharjo masih sempat meluangkan waktu untuk belajar. Ia melihat bahwa bidang hukum memerlukan penanganan khusus, untuk itu ia memutuskan untuk mendalami Ilmu Hukum. Gelar sarjana hukum pun berhasil disandangnya pada tahun 1941. Sejak menyandang gelar tersebut, ia mulai mengalihkan perhatian pada pembangunan hukum di Indonesia.
Setamat dari Rechts Hooge School dengan gelar Meester in de rechten, Saharjo bekerja di Departement Van Justicia Pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu pendudukan Jepang, Saharjo juga pernah memegang jabatan wakil Hooki Kyokoyu atau Kepala Kantor Kehakiman. Saharjo juga sempat menjadi hakim di Pengadilan Negeri Purwakarta, tetapi hanya bertahan delapan bulan karena ia kembali ditarik ke Kantor Kehakiman di Jakarta.
Pohon beringin, pemasyarakatan, dan narapidana adalah tiga ide cemerlang Saharjo saat bekerja di Departemen Kehakiman.
Perlahan namun pasti, karier Saharjo di Depkeh terus menanjak. Pada tahun 1948, pria yang pandai memainkan biola dan bernyanyi ini dipercaya menduduki jabatan Kepala Bagian Hukum Tata Negara. Selama sepuluh tahun, Saharjo memangku jabatan ini dengan beberapa hasil kerja yang fenomenal yakni dua UU Kewarganegaraan (1947 dan 1958) dan UU Pemilihan Umum (1953).
Sementara itu, Undang-undang yang dibuat pemerintah kolonial Belanda harus diganti dan diubah karena dianggap sudah tak layak lagi diterapkan dan tidak sesuai dengan alam kemerdekaan serta kepribadian bangsa Indonesia. Pada tahun 1962 disarankan agar beberapa bagian dari undang-undang kolonial tidak dipakai lagi sebab tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Selain itu, diusulkan pula agar Dewi Yustisia yang digunakan sebagai lambang kehakiman pada zaman Belanda diganti dengan gambar pohon beringin karena dianggap lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pohon beringin melambangkan perlindungan rakyat yang mendambakan keadilan hukum. Lambang pohon beringin diterima oleh para peserta Seminar Hukum Nasional pada tahun 1963. Dilukis oleh pelukis Derachman, Lambang Pengayoman berupa pohon beringin resmi ditetapkan sebagai lambang Kehakiman dan Kejaksaan.
Tak hanya mengganti lambang kehakiman, berbagai istilah yang memiliki konotasi kurang mendidik pun turut diganti. Anak seorang Abdi Dalam Keraton Susuhunan Solo ini juga mengusulkan agar istilah penjara diganti dengan pemasyarakatan, dan orang hukuman menjadi narapidana. Alasannya, di dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana tidak disiksa untuk menebus dosa-dosanya tetapi dididik untuk mengatasi kelemahan dan kesalahannya. Dengan demikian diharapkan ia dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna setelah menjalani masa hukuman di penjara. Ide Saharjo ini diterima melalui Konferensi Kepenjaraan pada 27 April 1964, di Bandung.
Setelah menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum Tata Negara di Departemen Kehakiman, Saharjo dipercaya menjabat beberapa posisi penting seperti Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman, Menteri Kehakiman dalam kabinet Kerja I, II, dan III dan kemudian diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri Bidang Dalam Negeri. Saat menjadi pejabat pemerintah, Saharjo dikenal sebagai pribadi yang sederhana. Buktinya, dia sempat menolak diberi rumah dinas meski pada akhirnya, rumah dinas itu memang diterima Saharjo dengan pertimbangan keluarga.
DR. Saharjo, SH meninggal dunia pada 13 November 1963 dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya kepada negara, DR. Saharjo, SH diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 245 Tahun 1963, tanggal 29 November 1963. Atas jasa-jasanya pula, Fakultas Hukum Universitas Indonesia menganugerahi Saharjo gelar Doktor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Namanya juga sudah diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota di Indonesia. Salah satunya sebagai nama jalan yang menghubungkan wilayah Manggarai, Jakarta Selatan dengan Pancoran, Jakarta Selatan. Bio TokohIndonesia.com | cid, red