Panglima dari Wajo
La Maddukelleng
[PAHLAWAN] Untuk melawan kolonial Belanda di daerah Wajo, Sulawesi Selatan, La Maddukelleng menggunakan taktik potong jalur perdagangan, yakni berusaha menguasai daerah-daerah yang mengadakan hubungan dagang dengan Belanda. Beberapa kali Belanda meminta damai namun selalu ia tolak.
La Maddukelleng seorang pejuang dari Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan. Ia dilahirkan sekitar tahun 1700. Kebiasaan generasi muda Wajo yang gemar berdagang dan merantau ke daerah lain untuk menuntut ilmu, juga muncul dalam pribadi La Maddukelleng. Di usianya yang masih muda, ia sudah melakukan pengembaraan hingga ke Selat Malaka. Di perairan itu, ia bekerja sama dengan penduduk setempat untuk membangun armada yang sering mengganggu kapal-kapal dagang Belanda. Dalam rangka membangun armada yang lebih besar lagi, La Maddukelleng bahkan pernah pindah ke Kalimantan Timur pada tahun 1726.
Keinginan atau cita-citanya adalah membebaskan daerah Wajo dan wilayah Sulawesi Selatan secara keseluruhan dari kekuasaan Belanda. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, ia memulai dengan menduduki daerah-daerah yang mengadakan hubungan dagang dengan Belanda. Maksudnya, dengan begitu jalur perdagangan Belanda dapat dilumpuhkan.
Pada bulan Februari 1736 armada La Maddukelleng mulai bergerak ke Makassar. Ketika itu, pertempuran dengan Belanda berlangsung sebanyak dua kali. Dua bulan kemudian ia mencoba merebut benteng Rotterdam di Makassar tetapi mengalami kegagalan. Setelah itu ia memboyong pasukannya ke Wajo dengan maksud untuk membuat benteng pertahanan.
Belanda kemudian mengerahkan pasukannya dalam jumlah besar dengan bantuan pasukan Bone dan pasukan kerajaan lain yang berpihak pada Belanda. Pertempuran besar pun meletus di Wajo. La Maddukelleng kemudian diangkat sebagai Arung Matoa Wajo oleh penduduk Wajo. Meskipun Belanda mendapat dukungan dari pasukan Bone, semangat masyarakat Wajo melawan Belanda tak kunjung padam. Sebaliknya perlawanan semakin ditingkatkan. Pasukan Bone menghentikan perang kemudian mengadakan perjanjian damai dengan La Maddukelleng.
Setelah berdamai dengan pasukan Bone, La Maddukelleng bersama pasukannya bergerak menuju Ujungpandang. Pada bulan Mei 1739 mereka melakukan penyerangan terhadap benteng Rotterdam, namun berakhir dengan kegagalan. Pasukan pun kembali ke Wajo, bersamaan dengan itu Belanda mengajukan ajakan berdamai. Namun La Maddukelleng menolaknya.
Pada tahun 1740, setelah gagal mengajak masyarakat Wajo untuk berdamai, Belanda kembali mengerahkan pasukan yang cukup besar untuk menyerang Wajo. Pertempuran besar pun kembali berkobar. Niat Belanda untuk merebut ibu kota Wajo, Tosora, kembali berhasil digagalkan.
Belanda tak putus asa, mereka kembali menawarkan perdamaian dan untuk kesekian kalinya niat itu ditolak La Maddukelleng. Rupanya setelah penolakan itu, Belanda tak lagi menyerang wilayah Wajo. Semangat masyarakat Wajo di bawah komando La Maddukelleng berhasil mengurungkan niat Belanda untuk menguasai wilayah Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1754, setelah berhasil mempertahankan tanah leluhurnya, La Maddukeleng mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Arung Matoa Wajo. Pada 1765, ia tutup usia. Gelar kehormatan Petta Pammadekaenggi Wajo (Tuan Yang Memerdekakan Wajo) diberikan kepadanya oleh penduduk Wajo.
Perjuangan panglima dari Wajo ini memberikan inspirasi bahwa tidak ada kata menyerah dari ancaman penjajah yang akan merebut kedaulatan Tanah Air.
Atas jasa-jasanya pada negara, La Maddukelleng diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 109/TK/Tahun 1998, tanggal 6 November 1998. e-ti