Perjuangan Si ‘Rencong Aceh’

Teuku Nyak Arif
 
0
822
Teuku Nyak Arif
Teuku Nyak Arif | Tokoh.ID

[PAHLAWAN] Karena kegigihan sikap dan tindakannya menentang pemerintah kolonial Belanda, Teuku Nyak Arif dijuluki “Rencong Aceh”.

Pria kelahiran Ulee Lheue, Banda Aceh 17 Juli 1899 ini di masa mudanya sudah berkecimpung dalam kegiatan berorganisasi. Ia diangkat menjadi Ketua Nationale Indische Partij (NIP) cabang Banda Aceh di tahun 1919. Setahun kemudian, ia diangkat menjadi Panglima Sagi 26 Mukim. Selain aktif dalam kepengurusan NIP, ia juga membantu kegiatan Muhammadiyah dan Taman Siswa. Delapan tahun setelah terpilih sebagai ketua NIP, tepatnya di tahun 1927, ia duduk sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) selama 4 tahun.

Dalam dewan ini ia tak segan melontarkan kritik pedas berkenaan dengan kebijakan pemerintah Belanda yang cenderung merugikan rakyat. Bahkan, dalam salah satu pidatonya, alumni OSVIA (Sekolah Pamongpraja) Serang ini dengan gagah berani menyatakan bahwa Perang Aceh sesungguhnya belum selesai. Sikapnya yang selalu memperjuangkan kepentingan rakyat itu ditonjolkan lewat tindakan-tindakan nyata selama menjadi anggota Volksraad.

Teuku Nyak Arif juga merupakan salah satu pendiri Fraksi Nasional yang dipimpin oleh Husni Thamrin dalam Volksraad yang dibentuk pada tahun 1931. Keanggotaan Nyak Arif dalam Volksraad hanya dijalani selama satu periode, di tahun yang sama dengan didirikannya Fraksi Nasional, berakhir pulalah keanggotaan Nyak Arif. Setelah itu, konsentrasinya lebih banyak tertuju untuk memimpin Sagi 26 Mukim.

Semangat dan daya juang yang tak mudah menyerah ia dapatkan dari lingkungan keluarganya yang merupakan pejuang-pejuang gigih dari Aceh. Merekalah kemudian yang memengaruhi tindak tanduk Nyak Arif dalam bermasyarakat dan bernegara.

Terlahir dalam keluarga yang menjunjung tinggi patriotisme, keprihatinan terhadap rakyat kecil dan kemerdekaan telah membentuk diri Nyak Arif menjadi seorang pejuang kemanusiaan. Teuku Nyak Arif merupakan putera sulung Teuku Nyak Banta, Panglima Sagi 26 mukmin (Aceh Besar). Dalam perjuangan menghadapi Belanda untuk mempertahankan kedaulatan, para panglima Sagi ini memiliki peran yang sangat penting.

Akhir dekade 1920-an ditandai dengan terbentuknya semangat kebangsaan sebagai antitesis dari penjajahan Belanda dan perlawanan di berbagai wilayah Indonesia. Pada penghujung tahun 1928, Teuku Nyak Arif menyatakan bahwa Indonesia telah memiliki persyaratan untuk merdeka dan mengajak semua pihak untuk mewujudkannya. Hal ini menimbulkan antipati dari pemerintah kolonial Belanda. Terlebih lagi ketika ia menuntut kekuasaan Residen Belanda di Aceh diserahkan kepadanya di tahun 1942 menjelang kedatangan Jepang.

Kolonel Gosenson yang di tahun 1942 ditugaskan menangkap Teuku Nyak Arif mengalami kegagalan. Para ulama, hulubalang, dan rakyat, bahu membahu sekuat tenaga mendukung Teuku Nyak Arif mengadakan perlawanan hingga peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang.

Di masa pendudukan Jepang, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai Ketua Dewan Rakyat Aceh (Aceh Syu Sanji Kai). Ia juga kemudian kembali terpilih sebagai Wakil Ketua Dewan Rakyat Sumatera (Sumatera Chou San In). Meski bekerja pada pemerintah Jepang, ia tak begitu saja mengikuti keinginan Jepang. Buktinya, ketika di Aceh terjadi pemberontakan melawan Jepang, ia tak berusaha menghentikannya.

Sebaliknya, ia malah mengadakan gerakan bawah tanah untuk menentang Jepang. Pasalnya, Teuku Nyak Arif menentang perlakuan pemerintah Jepang yang dianggapnya tidak wajar terhadap rakyat. Sikapnya itu membuat ia ditangkap Kempetei (Polisi Militer) Jepang meskipun pada akhirnya ia kembali dilepaskan karena Jepang mengkhawatirkan timbulnya reaksi rakyat.

Advertisement

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, Teuku Nyak Arif merupakan orang pertama yang diangkat menjadi Residen Republik Indonesia untuk daerah Aceh. Pada saat itu, pasukan negeri matahari terbit itu masih berada di daerah Aceh menunggu dilucuti tentara sekutu. Akan tetapi Teuku Nyak Arif menolak kedatangan pasukan sekutu di Aceh. Kepada pihak sekutu, ia mengatakan bahwa pemerintah daerah Aceh sanggup melucuti pasukan Jepang. Dari pihak Jepang, pengambilalihan kekuasaan oleh rakyat Indonesia selalu berusaha dihalangi tentara Jepang. Namun sebaliknya, upaya tentara Jepang itu selalu mendapat perlawanan sengit dari segenap masyarakat Aceh.

Sementara itu, golongan agama yang ingin merebut kekuasaaan pemerintah dari tangan golongan hulubalang telah merongrong Pemerintah Daerah Aceh, termasuk Teuku Nyak Arif sendiri. Laskar Mujahiddin dengan bantuan Tentara Perlawanan Rakyat (TPR) memasuki wilayah Banda Aceh. Tapi untuk menghindari pertumpahan darah, Teuku Nyak Arif membiarkan dirinya ditawan oleh Mujahidin.

Ia kemudian dibawa ke Takengon. Di sana kondisi kesehatannya semakin menurun. Teuku Nyak Arif akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir pada tanggal 4 Mei 1946 akibat penyakit diabetes yang telah lama dideritanya. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman keluarga di Lam Nyong.

Atas jasa-jasanya pada negara, Teuku Nyak Arif diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 November 1974. e-ti

Data Singkat
Teuku Nyak Arif, Ketua Dewan Rakyat Aceh / Perjuangan Si ‘Rencong Aceh’ | Pahlawan | pahlawan nasional, Pahlawan, Dewan rakyat

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini