
[PAHLAWAN] Tatkala Kerajaan Luwu memilih tunduk pada Belanda, Opu Daeng Risaju lebih memilih kehilangan gelar kebangsawanannya dan tetap pada pendirian menentang penjajahan. Aktivis Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ini ditangkap dan ditahan berulang kali bahkan disiksa hingga tuli.
Opu Daeng Risaju, puteri pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu ini lahir di Palopo pada tahun 1880. Ia sebenarnya memiliki nama kecil, Famajjah. Sedangkan Opu Daeng Risaju adalah gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang disematkan padanya setelah menikah dengan suaminya, H. Muhammad Daud.
Sebagai seorang keturunan bangsawan Luwu, dalam jiwanya telah tertanam sikap patriotisme buah didikan dari orang tua dan leluhurnya. Selain mempelajari moral yang berlandaskan adat kebangsawanan, Opu Daeng Risaju juga mempelajari peribadatan dan akidah dalam agama Islam. Sejak kecil Opu Daeng Risaju terbiasa membaca Al-Quran dan mempelajari ilmu-ilmu keagamaan seperti nahwu, syaraf dan balagah. Opu Daeng Risaju juga mempelajari fiqih dari buku karangan Khatib Sulaweman Datuk Patimang, salah seorang tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan. Sementara suami Opu Daeng Risaju, H. Muhammad Daud, merupakan seorang ulama yang pernah bermukim di Mekkah.
Ia pun tumbuh sebagai salah satu tokoh perempuan yang kharismatis terutama bagi kalangan masyarakat Luwu, baik Luwu Selatan, Utara maupun Luwu bagian Timur serta Palopo sebagai ibukota Kerajaan Luwu.
Hidup memang suatu pilihan. Sebagai wanita keluarga kerajaan, Opu Daeng Risaju sebenarnya bisa hidup tenang dan nyaman menikmati kekayaan dan kedudukannya. Namun, ia lebih memilih berjuang demi rakyat yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan akibat ulah para penjajah.
Keikutsertaannya dalam partai politik dimulai pada tahun 1927. Saat itu ia memilih untuk bergabung menjadi anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) cabang Pare-pare. Tiga tahun kemudian tepatnya 14 Januari 1930, ia terpilih sebagai Ketua PSII Wilayah Tanah Luwu Palopo.
Posisi sebagai Ketua PSII membuatnya sering mengikuti kongres PSII baik di Sulawesi Selatan maupun PSII Pusat yang berkedudukan di Batavia. Kegiatan berpolitiknya di PSII itu dipandang sebagai duri dalam daging oleh pemerintah Belanda yang menguasai tanah Luwu.
Pihak kerajaan atas kendali Belanda mencabut gelar kebangsawanan Opu Daeng Risaju pada tahun 1932 dan ia dipenjara selama 14 bulan pada tahun 1934.
Ia kemudian ditangkap bersama sekitar 70 orang anggota PSII di Malangka oleh Controleur Masamba. Opu Daeng Risaju dituduh menghasut rakyat dan melakukan tindakan provokatif agar rakyat tidak lagi percaya kepada pemerintah. Untuk membatasi peluasan anggota PSII dan menghentikan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Opu Daeng Risaju bersama para pejuang lainnya dijebloskan ke dalam penjara Masamba. Pihak kerajaan atas kendali Belanda mencabut gelar kebangsawanan Opu Daeng Risaju pada tahun 1932 dan ia dipenjara selama 14 bulan pada tahun 1934. Akibat keteguhan hatinya menolak bekerjasama dengan Belanda, Opu Daeng Risaju juga rela bercerai dengan suaminya yang sebelumnya dia anggap sebagai pendukung aktivitas politiknya. Selama dipenjara, Opu Daeng Risaju disuruh mendorong gerobak dan bekerja membersihkan jalan di tengah-tengah kota Palopo.
Pada 9 Februari 1942, tentara Jepang mendarat di Makassar dan daerah-daerah lain di Sulawesi, termasuk tanah Luwu. Kedatangan Jepang tak sedikit pun menciutkan nyali Opu Daeng Risaju. Semangat juangnya justru semakin berkobar untuk tetap melakukan perlawanan terhadap para penjajah.
Saat tentara Jepang menyerah, tentara Sekutu datang diboncengi tentara NICA. Opu Daeng Risaju membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan serangan terhadap tentara NICA di tahun 1946. Serangan itu dibalas oleh tentara NICA sebulan kemudian sehingga banyak pemuda pejuang yang gugur.
Pasca penyerangan tersebut, Opu Daeng Risaju bersembunyi. NICA mengupayakan berbagai cara untuk menangkap dan menghentikan aksi Opu Daeng Risaju. Tentara NICA bahkan berjanji akan memberikan imbalan pada siapa pun yang dapat menangkap Opu Daeng Risaju, baik dalam keadaan hidup atau pun mati.
Keberadaan Opu Daeng Risaju di Latonro akhirnya berhasil diketahui mata-mata NICA. Dalam suatu penyergapan, ia ditangkap dan dipaksa berjalan kaki hingga 40 km menuju Watampone. Di kota itu, ia dipenjara satu bulan lamanya sebelum akhirnya dibawa ke Sengkang dan dipulangkan ke Bajo.
Selama 11 bulan ia menjalani masa tahanannya tanpa diadili dan mengalami berbagai penyiksaan. Ia dibawa ke sebuah lapangan dan dipaksa untuk berdiri tegap menghadap matahari. Kepala Distrik Bajo, Ladu Kalapita menyiksanya saat itu. Pejabat Luwu yang Pro Belanda itu meletakkan laras senapannya pada pundak Opu Daeng Risaju yang kala itu berusia 67 tahun. Kalapita kemudian meletuskan senapannya dan mengakibatkan Opu Daeng Risaju jatuh tersungkur di antara kedua kaki Kalapita yang masih berusaha menendangnya. Akibat penyiksaan itu, Opu Daeng Risaju menjadi tuli seumur hidup. Setelah penyiksaan itu, Opu Daeng Risaju kembali dimasukkan ke dalam sebuah tempat yang mirip penjara darurat bawah tanah. Opu Daeng Risaju kemudian dibebaskan, kembali ke Bua lalu menetap di Belopa.
Bersama putranya H. Abdul Kadir Daud, Opu Daeng Risaju yang usianya kian senja pindah ke Pare-pare setelah kedaulatan RI mendapat pengakuan pada tahun 1949. Ketika putranya meninggal dunia, ia kembali ke Palopo hingga tutup usia pada 10 Februari 1964. Jenazah wanita pejuang itu dimakamkan di Lokke yang merupakan makam para raja Luwu.
Ketika memilih untuk berjuang bersama rakyat, ia dengan rela menerima segala risiko. Penjara, penderitaan, berbagai kesulitan hingga penyiksaan fisik dijalaninya dengan penuh ketabahan demi membela Tanah Air. Atas jasa-jasanya kepada negara, Opu Daeng Risaju dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006, tanggal 3 November 2006. Bio TokohIndonesia.com | cid, red (berbagai sumber)