Raja Jawa Nasionalis Sejati

Sri Sultan HB IX
 
0
686
Sri Sultan HB IX
Sri Sultan HB IX | Tokoh.ID

[PAHLAWAN] Seorang raja kerap kali diidentikkan dengan feodalisme. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi pria yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden RI ini. Sebagai seorang pemimpin keraton, ia adalah seorang demokrat yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada rakyat.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1912 pukul 22.30. Ibunya, R. A. Kustilah adalah putri dari Pangeran Mangkubumi yang kemudian menyandang gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom dan merupakan satu-satunya garwa padmi (permaisuri) dari Gusti Pangeran Haryo Puruboyo.

Ketika masih berusia empat tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang terlahir dengan nama Dorodjatun, diharuskan mondok (in de kost) di rumah keluarga Mulder, seorang kepala sekolah NHJJS (Neutrale Hollands Javaansche Jongen School). Hal tersebut merupakan kebijakan sang ayah dalam mendidik anak-anaknya. Kebijakan tersebut juga berlaku pada saudara-saudaranya yang lain namun mereka tidak dikumpulkan dalam satu keluarga Belanda yang sama.

Meskipun keluarga bangsawan namun Pangeran tidak menganjurkan anak-anaknya diperlakukan secara istimewa. Ia menginstruksikan agar anak-anaknya dididik layaknya rakyat biasa. Tujuannya agar suatu saat mereka dapat tumbuh sebagai pribadi yang sederhana serta penuh kedisiplinan. Mereka pun diajarkan untuk bersikap mandiri karena selama menjalani hidup di pemondokan mereka tidak diikuti pembantu (abdi dalem).

Sewaktu mondok di rumah orang Belanda, Dorodjatun mendapat nama panggilan Henkie (Henk yang kecil). Ia kemudian masuk Frobel School (semacam taman kanak-kanak). Pada saat memasuki usia 6 tahun, ia bersekolah di Eerste Europese Lagere School B di Kampemenstraat (sekarang Jl. Panebahan Senapati). Selanjutnya ia pindah ke sekolah Neutrale Europese Lagere School yang berada di Jl. Pakem yang kemudian diberi nama Jl. Kaliurang.

Ayahnya dinobatkan sebagai Sultan Hamengku Buwono VIII saat ia duduk di kelas III sekolah dasar tepatnya pada tahun 1921. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia kemudian melanjutkan studinya ke HBS (Hogere Burgerschool) di Semarang dan Bandung.

Selagi menyelesaikan pendidikannya di HBS, ia tetap dititipkan di sebuah keluarga Belanda dengan hidup disiplin dan sederhana. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan pendidikannya, Dorodjatun bersama seorang kakaknya bernama BRM Tinggarto (kelak berganti nama menjadi BPH Prabuningrat) kemudian dipindahkan ke negeri Belanda oleh ayah mereka.

Dalam perjalanan menuju Belanda, mereka didampingi oleh keluarga Hofland (seorang administrateur pabrik gula Gesika, Yogyakarta). Di sana, ia menyelesaikan Gymnasium di Harlem dan kemudian meneruskan di Rijksuniversitet di kota Leiden dan mengambil Jurusan Indologi. Salah satu mata kuliah yang menjadi kegemarannya adalah Hukum Tata Negara (Staatsrecht).

Sewaktu masih berstatus sebagai mahasiswa, ia sudah menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan politik dan ekonomi negara-negara pada umumnya. Ketika menimba ilmu di negeri kincir angin tersebut, ia juga giat mengikuti klub diskusi dalam lingkungan universitas yang dipimpin oleh guru besar yang sangat diseganinya bernama Profesor Schrieke. Hal itu yang kemudian menjadikan kehidupannya sebagai mahasiswa di negara itu lebih maju.

Beberapa hari kemudian Sultan Hamengku Buwono VIII tutup usia. Dorodjatun kemudian dilantik sebagai putra mahkota sekaligus dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Hamengku Buwono IX pada 18 Maret 1940.

Pada tahun 1939, ketika sang ayah, Hamengku Buwono VIII memintanya untuk kembali ke tanah air, ia masih duduk sebagai mahasiswa tingkat akhir. Kejadian itu juga berbarengan dengan meletusnya Perang Dunia II sehingga memaksanya untuk kembali ke tanah air. Setibanya di tanah air, ia disambut ayahnya seraya menyerahkan keris Joko Piturun kepadanya. Secara simbolis keris itu menandakan bahwa si pemegang adalah pengganti raja. Rupanya sang ayah seakan sudah memiliki firasat bahwa usianya tak lama lagi. Beberapa hari kemudian Sultan Hamengku Buwono VIII tutup usia. Dorodjatun kemudian dilantik sebagai putra mahkota sekaligus dinobatkan sebagai Sultan dengan gelar Hamengku Buwono IX pada 18 Maret 1940.

Advertisement

Dalam acara penobatannya sebagai sultan, ia memberikan pidato yang isinya menegaskan bahwa “walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa”. Meskipun sejak kecil ia telah akrab dengan lingkungan dan pendidikan bercorak Belanda namun hal tersebut tak lantas menjadikannya bersikap kebarat-baratan atau bahkan memihak kepada pemerintah kolonial Belanda.

Sebagai seorang raja yang baru saja dilantik, ia berusaha untuk mengurangi campur tangan Belanda. Ia tidak begitu saja mengikuti peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Sikap yang sama juga kembali diperlihatkannya ketika pendudukan Jepang. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang cenderung merugikan keraton membuatnya menentang Belanda. Seperti saat penandatanganan Kontrak Politik dengan Gubernur Yogyakarta Dr. Lucien Adams, khususnya tentang kedudukan pepatih dalem (dapat disamakan dengan Perdana Menteri). Pada waktu itu, seorang patih memiliki dualisme kesetiaan, yakni kepada Sultan dan Pemerintah kolonial Belanda.

Selain penandatanganan kontrak politik tersebut, ada beberapa masalah lain yang menjadi pertentangan Sultan dengan pihak pemerintah kolonial Belanda. Seperti masalah dewan penasihat kerajaan serta berlarut-larutnya perundingan soal prajurit keraton.

Sebagai sultan, ia tetap berusaha membela kepentingan bangsa dan negaranya. Dua hari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, ia mengirim telegram ucapan selamat kepada Presiden Soekarno. Kemudian, pada 5 September 1945, bersama Paku Alam VIII, ia mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa daerah Yogyakarta adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia. Selama perang kemerdekaan yang terjadi pada tahun 1945 hingga 1949, ia aktif membantu perjuangan melawan Belanda.

Kedatangan tentara Inggris dan NICA membuat situasi Jakarta sebagai ibukota RI menjadi tidak aman. Ribuan korban jiwa berjatuhan akibat insiden yang ditimbulkan kedatangan tentara asing itu. Atas dasar itu, Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946. Yogyakarta pun difungsikan sebagai ibukota RI untuk sementara waktu. Pemindahan tersebut sepenuhnya didukung oleh Sultan Hamengku Buwono IX baik secara politik maupun materi yang tidak terhitung jumlahnya.

Tanggung jawabnya semakin berat ketika Yogyakarta sebagai ibukota RI pada waktu itu diduduki Belanda pada masa Agresi Belanda II (1948-1949). Ia juga membantu dan melindungi para prajurit TNI di dalam keratonnya walaupun Belanda mengancam akan menduduki keraton. Ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk tetap memihak pada kedaulatan tanah airnya di tengah intimidasi serta tekanan yang kerap dilancarkan Belanda. Sultan Hamengku Buwono IX tetap menolak bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Meski gencar melakukan tekanan, akan tetapi pasukan Belanda tidak berani memasuki wilayah keraton yang sejak awal menjadi tempat perlindungan para pejuang.

Ketika terjadi Serangan 1 Maret 1949, ia menjadi tokoh penting yang mampu menguasai Yogyakarta selama enam jam. Andilnya dalam mempertahankan kekuasaan atas Yogyakarta itu sangat membantu perjuangan diplomasi Indonesia di dunia internasional. Selama menjadi sultan di Daerah Istimewa Yogyakarta, ia dikenal dengan program modernisasi dan demokratisasi desanya. Dalam artian, desa yang kaya harus membantu yang miskin.

Selain menjabat sebagai orang nomor satu di Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX dipercaya untuk menduduki sejumlah posisi penting dalam pemerintahan. Antara lain Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946-3 Juli 1947).

Pada 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Upacara pengakuan kedaulatan dilaksanakan di Indonesia dan di negeri Belanda. Di Indonesia, Sultan Hamengku Buwono menerima pengakuan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda untuk Indonesia.

Setelah pengakuan kedaulatan, ia kembali dipercaya untuk mengemban jabatan sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Hatta (Desember 1949 -Agustus 1950), Deputy Perdana Menteri dalam Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Menteri Pertahanan dalam Kabinet Wilopo (April 1952 – Juni 1953), Menko Ekuin (Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri), serta Wakil Presiden RI (1972-1978).

Ia juga turut berkontribusi untuk meyakinkan masyarakat dalam dan luar negeri untuk membantu perekonomian Indonesia yang sangat parah pada masa awal Orde Baru. Guna memasyarakatkan program ekonomi dan pembangunan Orde Baru, ia memimpin Koresteda (Koordinasi Rehabilitasi dan Stabiliiasi Ekonomi Daerah).

Tak hanya itu, ia juga membina kembali kepercayaan luar negeri dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara guna menyelesaikan utang-utang lama dam memperoleh kredit-kredit baru serta pembentukan lembaga IGGI (Inter-Government Group on Indonesia). Kerjasama dengan sektor swasta internasional pun digalangnya sebagai bagian dari upayanya untuk menggalakkan investasi dan lalu lintas perdagangan.

Selain di bidang pemerintahan, ia juga aktif dalam bidang kepramukaan dengan duduk sebagai Ketua Kwartir Nasional Pramuka. Selain itu, ia juga aktif dalam bidang olah raga dengan duduk sebagai Ketua KONI (Komite Olah Raga Nasional Indonesia) Pusat. Di samping di bidang kepramukaan dan olah raga, ia juga aktif mengembangkan dunia pariwisata nasional ketika menjadi Ketua Dewan Pembimbing Lembaga Pariwisata Nasional.

Meskipun segudang jasa dan berbagai jabatan tinggi pernah diembannya, tak lantas menjadikannya sebagai orang yang tinggi hati. Ia tetap berpenampilan sederhana serta murah senyum. Itulah yang membuat sosoknya senantiasa dekat di hati rakyat. Jika dibutuhkan ia pun tak segan-segan memberikan pertolongan tanpa memandang strata seseorang apakah dia bangsawan atau rakyat jelata. Seperti saat ia memberi tumpangan kepada seorang pedagang sayur mayur ke pasar. Dengan ikhlas hati ia memberikan tumpangan. Hal itu membuktikan bahwa ia bukan seorang raja yang membuat sekat pembatas dengan rakyatnya.

Raja yang sederhana dan amat dicintai rakyatnya itu kemudian jatuh sakit ketika memeriksakan kesehatannya di Amerika Serikat. Sultan Hamengku Buwono IX meninggal dunia di Washington D.C pada 2 Oktober 1988. Jenazahnya dibawa pulang ke tanah air kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman Raja-raja di Imogiri Yogyakarta.

Atas jasa-jasanya kepada negara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 053/TK/Tahun 1990, tanggal 30 Juli 1990. Bio TokohIndonesia.com

Data Singkat
Sri Sultan HB IX, Wakil Presiden RI (1972-1978) / Raja Jawa Nasionalis Sejati | Pahlawan | pahlawan nasional, Pahlawan, Wakil Presiden, Sultan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini