Tegakkan Martabat Keraton
Pangeran Mangkubumi
[PAHLAWAN] Bersama belasan ribu pengikutnya, ia bertempur melawan Belanda yang suka mencampuri urusan keraton.
Pengaruh Belanda dalam lingkungan kerajaan membuat raja-raja di masa itu kesulitan dalam mengambil keputusan. Akibatnya, mereka sulit untuk mandiri. Tak jarang mereka dihadapkan dalam situasi dilematis. Antara mendahulukan kepentingan rakyat kecil dengan tetap mematuhi segala ketentuan-ketentuan Belanda. Kenyataan itulah yang kemudian menjadi dasar perjuangan Pangeran Mangkubumi.
Dengan keberanian serta kerja kerasnya, ia berusaha mengembalikan martabat serta wibawa keraton Mataram. Perjuangannya melawan kekuasaan kolonial itu memberikan inspirasi serta motivasi bagi generasi penerusnya.
Di masa kecilnya Pangeran Mangkubumi gemar berolah keprajuritan, berkuda dan mempergunakan senjata. Karena pada masa itu kemampuan keprajuritan amat diperlukan agar mendapat peran dalam masyarakat. Berkat kemampuannya, BRM Sujana, panggilan masa kecil Pangeran Mangkubumi kemudian diangkat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai Pangeran Lurah atau yang dituakan di antara para pangeran atau putra raja. Ketika dewasa, ia mendapat nama Pangeran Mangkubumi.
Mangkubumi dikenal sebagai seorang yang taat beragama. Sebagai putra daerah, ia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa yang diwariskan dari leluhurnya. Kehadiran Belanda yang pada saat itu mencampuri urusan keraton banyak mempengaruhi para pemimpin kerajaan dalam mengambil keputusan. Seperti saat Paku Buwono II melaksanakan janjinya untuk memberi tanah lungguh di daerah Sukawati (sebelah timur Bengawan Solo sampai lereng Gunung Lawu) seluas 3.000 cacah.
Realisasi itu ditentang oleh Patih Keraton Pringgalaya yang kemudian mengadukan perkara ini kepada Gubernur Jenderal VOC Gustav Baron van Imhoff. Saat melakukan kunjungan ke keraton Surakarta yang baru selesai dibangun, van Imhoff yang kurang tahu adat istiadat Jawa dalam resepsi menegur Pangeran Mangkubumi bahwa tanah lungguh-nya melampaui batas, maka diturunkan menjadi 1.000 cacah.
Tekad Pangeran Mangkubumi semakin bulat mengadakan perlawanan terhadap kompeni Belanda, maka pada pagi 19 Mei 1746 ia pergi meninggalkan keraton. Ia bukan saja terlibat perseteruan dengan Belanda tapi dengan Patih Pringgalaya. Yang menjadi pangkal perseteruan mereka adalah tanah pesisir yang disewakan kepada VOC dengan pembayaran 20.000 real setiap tahunnya.
Menurut Pangeran Mangkubumi, jumlah nominal yang merupakan usulan dari Sindhureja dan Pringgalaya itu terlalu rendah sehingga hanya akan mendatangkan keuntungan bagi satu pihak dalam hal ini Belanda.
Daerah pesisir bagi keraton merupakan bagian vital dari kerajaan sehingga penyerahannya kepada VOC menurut perjanjian tahun 1743 sangat disesalkan dan menimbulkan keresahan besar. Kenyataan itu mendorong Pangeran Mangkubumi untuk memperbaiki keadaan itu dengan berniat mendudukkan pihak keraton sejajar dengan VOC. Namun bukan dukungan yang ia dapat. Ia justru ditentang oleh sejumlah pejabat penting keraton.
Langkah awal yang dilakukannya adalah dengan membangun kekuatan perlawanan. Daerah-daerah pesisir yang jadi sasaran pasukan Mangkubumi, seperti Grobogan, Demak, Juana, dan Jipang diserang dan diduduki. Kondisi rakyat di daerah-daerah itu memudahkan pengerahan rakyat untuk menggabungkan diri pada barisan.
Pada tahun 1746 sudah ada sekitar 13.000 anak buahnya yang 2.500 diantaranya merupakan pasukan berkuda. Daerah operasi Mangkubumi meluas mulai dari Jipang ke wilayah Malang dan Pasuruan. Diharapkan, orang-orang Bali yang bermukim di daerah itu akan menggabungkan diri pada barisannya. Pada akhirnya, Jipang yang berhasil diduduki oleh pasukan Mangkubumi, kembali direbut oleh pasukan Kompeni Belanda. Kemenangan silih berganti menyebabkan jalannya perang tidak menentu. Rangkaian pertempuran besar yang dilakukan berlangsung dalam dua periode besar, yaitu periode 1746-1749 dan periode 1750-1755.
Pada 11 Desember 1749, Mangkubumi diangkat oleh para kerabat, rakyat dan para pendukungnya sebagai Susuhunan ing Mataram atau Sunan Kabanaran. Pengangkatan itu bertempat di Desa Kabanaran, Pangeran.
Setelah melakukan perlawanan selama 9 tahun (1746-1755), Pangeran Mangkubumi menandatangani Perjanjian Giyanti (sebuah desa di sebelah timur Karanganyar, Solo) pada tahun 12 Februari 1755. Ia terpaksa melakukannya karena kondisi rakyat yang sudah amat parah dan lelah karena hampir sepuluh tahun terus diganggu kekacauan dan perang.
Kasunanan Surakarta kemudian dibagi dua, menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Setelah Kasultanan Yogyakarta didirikan, Pangeran Mangkubumi bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Pangeran Mangkubumi/Sultan Hamengku Bowono I dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 85/TK/Tahun 2006, 3 November 2006. e-ti